Rabu, 04 Desember 2013

Pengantar Ilmu Hukum (sub Penegakan Hukum di Indonesia)


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
            Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak lagi disebut sebagai hukum, apabila hukum tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum terkandung tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan seperti penegakan hukum. Pertanyaan logis yang muncul adalah, siapa yang akan melaksanakan tindakan tersebut? Hukum dalam wujudnya sebagai peraturan, jelas tidak dapat melakukan semuanya. Dari sinilah masuknya para penegak hukum yang tidak lain adalah manusia-manusia. Manusia yang menjalankan penegakan hukum benar-benar menempati kedudukan yang penting dan menentukan. Apa yang dikatakan dan dijanjikan oleh hukum pada akhirnya akan menajdi kenyataan melalui tangan-tangan orang tersebut, maka menjadi relevan untuk berbicara mengenai berbagai faktor yang memberikan pengaruh terhadap para penegak hukum.
            Penegakkan hukum merupakan fungsi dari bekerjanya pengaruh-pengaruh tersebut. Peraturan-peraturan hukum merupakan titik awal untuk mempelajari hukum dan sekaligus juga titik akhirnya. Orang tidak berusaha memberikan penjelasan mengenai kehadiran hukum melainkan menerimanya begitu saja. Fenomena kehadiran hukum dalam masyarakat merupakan penjelasn bagaimana hukum bekerja. Hubungan anatara penegakkan hukum dan struktur masyarakat memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap cara-cara penegakkan hukum di suatu negara. Apabila kita membicarakan penegakkan hukum di indonesia maka secara tidak langsung perbedaan pengertian hukum dan ketertiban akan muncul pada saat penegakkan hukum yang dilakukan oleh polisi. Hubungan dengan masalah tersebut tampak polisi menjalankan dua peranan sekaligus yaitu menjalankan hukum dan mencapai ketertiban dalam masyarakat. Masalah penegakkan hukum diuraikan dalam tradisi yang sudah lazim disebut yaitu Hukum dan Masyarakat.
B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara penguraian penegakan hukum?
2.      Apa sajakah organisasi yang terdapat di dalam penegakan hukum ?
3.      Apa sajakah unsur-unsur yang terdapat di dalam penegakan hukum?
4.      Bagaimana penegakan hukum dalam struktur masyarakat
5.      Bagaiman hukum dan ketertibannya?



















BAB II
Tinjauan Teoritis Tentang Penegakan Hukum

A.    Definisi Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan penjabaran ide dan cita ke dalam bentuk-bentuk konkrit  yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum harus memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan kebenaran.  Untuk mewujudkan hukum sebagai ide kedalam bentuk konkrit membutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks. Organisasi-organisasi tersebut seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian. Lembaga pemasyarakatn sebagai unsure klasik penegakan hukum yang dibentuk oleh Negara. Walaupun pada hakekatnya organisasi tersebut bertugas untuk mengantarkan kepada tujuan-tujuan hukum, namun masing-masing badan-badan berdiri sendiri dan bersifat otonom. Alih-alih menegakan hukum ternyata lembaga-lembaga tersebut sibuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan bekerjanya sebagai suatu lembaga, nilai-nilai dan pada akhirnya membentuk dunianya sendiri.
Penegakan hukum juga tidak dapat dilepaskan dari sejarah maupun struktur sosial masyarakatnya. Hukum dan masyarakat sangat terkait erat dan saling mempengaruhi. Dilihat dari segi penegakan hukum, maka ini berarti, hukum juga akan tertarik kedalam medan pengaruh dan konfigurasi kekuasaan dalam masyarakat. Akhirnya, apabila hukum dituntut untuk memperlakukan atiap anggota masyarakat secara sama, pada saat yang sama justru hukum dihadapkan padakeadaan yang tdak sama. Hukum dan penegakan hukum harus memberikan keadilan yang sama kepada rakyat dalam kerangka hukum sebagai instrument manusia dan kemanusiaan.  
Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energy dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukm. Kegagalan hukum untuk mewujudkan nilai hukum tersebut merupakan ancaman bahaya akan bangkrut nya hukum yang ada. Hukum dibuat untuk dilaksanakan maka hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak sederhana. Bukan saja karena kompleksitas system hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara system hukum dengan system social, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum progresif bertolak dari pilar utamanya yaitu determinasi dan komitmen kuat dari sekalian subsistem peradilan untuk memerangi korupsi. Penegakan hukum progresif meliputi para hakim, polisi, jaksa, advokat dan birokrasi. Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam putih dari peraturan, melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam dari undang-undang atau hukum.
B.     Hukum dan Ketertiban 
   Sekalipun hukum dan ketertiban sering diucapkan dalam satu rangkaian, seolah-olah yang satu merupakan sinonim bagi yang lain namun pada pemahaman yang lebih jauh muncul perbedaan yang bersifat hakiki. Perbedaan dalam hakekat tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat besar, khususnya hubungan penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi. Hubungan dengan masalah tersebut, Weber membuat perbedaan antara penglihatan dari sudut hukum (legal) dan sosiologis[1] (Weber, 1954: 11). Sudut hukum mempermasalahkan kesahan secara intrinsik dari yang disebut sebagai hukum. Pemahaman yuridis tersebut ditujukan kepada pengajian terhadap kaidah-kaidah mengenai tingkah laku yang disebut hukum. Secara singkat berurusan dengan hukum adalah melihat dan menilai masyarakat serta tingkah laku orang dari sudut kaidah-kaidah yang tersusun dalam suatu system yang logis konsisten. Hukum menekankan pada segi prosedur. Pembedaan dari Weber tersebut dapat dijadikan pangkal untuk mengamati kelanjutan dari adanya dua kategori pengertian tersebut. Kelanjutan yang paling dekat adalah mengamati tindakan-tindakan orang dalam masyarakat.
Yang menarik dalam hal tersebut adalah masing-masing orang sebetulnya menghendaki pencapaian suatu kondisi tertentu yaitu ‘ketertiban’. Ketertiban ditafsirkan dari segi dipenuhinya prosedur-prosedur normative tertentu, sedangkan di pihak lain ketertiban ditafsirkan dari segi hasil yang wajar dari hubungan antar orang-orang dalam masyarakat. Ketertiban tidak dibentuk oleh kemauan dari preskripsi-preskripsi di luar hubungan antar manusia, melainkan oleh pertimbangan kerjasama yang bersifat wajar (reasonable). Salah satu contoh mengenai hal tersebut adalah ketertiban dalam penggunaan jalan raya oleh pengendara mobil. Ada kemungkinan, lalu lintas berjalan dengan tertib dan teratur, sekalipun mobil satu per satu melanggar batas minimum kecepatan yang diizinkan. Dari contoh tersebut ditemukan dengan jelas tentang ketertiban menurut hukum dan ketertiban dalam artian sosiologis [2](Rahardjo, 1977: 63).
Skolnick melihat pertentangan antara hukum dan ketertiban dalam kerangka bekerjanya hukum dalam masyarakat [3](Skolnick, 1966: 7-9). Berlakunya hukum berlangsung didalam suatu tatanan sosial tertentu. Dalam keadaan tersebut maka hukum tidak hanya merupakan alat dari ketertiban (order), melainkan hukum lebih sering bertentangan dengan ketertiban.
Selain itu, Chambliss dan Seidman juga berpendapat mengenai masalah antara hukum dan ketertiban. Menurut mereka, suatu masyarakat yang secara murni diatur oleh hukum adalah suatu ideal yang tidak dapat dicapai. Pengaturan secara murni yang dimaksud adalah seluruh masyarakat diatur oleh hukum yang dirumuskan secara jelas tanpa dibutuhkan adanya diskresi oleh para pejabat dalam penerapannya. Keadaan atau ideal tersebut samma tidak mungkinnya dengan suatu masyarakat yang didasarkan semata-mata pada kebebasan, kelonggaran atau diskresi yang dimiliki oleh para penegak hukumnya[4] (Chambliss & Seidman, 1971: 187).
Dari pengertian tersebutdapat dilihat bahwa ketertiban hukum yang murni dipakai sebagai penggambaran dari “hukum”, sedangkan diskresi menggambarkan “ketertiban”. Menurut mereka sekalipun diskresi sama sekali tidak dapat dihindari sama sekali namun diskresi dapat dibatasi. Suatu kompromi antara keduanya diperoleh melalui dua perangkat kaidah yang saling mengisi yaitu: (1) kaidah hukum pidana substansial (di Indonesia di sebut materiel) dan (2) hukum acara pidana. Kaidah-kaidah pidana materil berisi ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan oleh para penegak hukum (sinonim bagi ketertiban). Kaidah hukum acara pidana menentukan batas-batas yang harus diindahkan oleh para penegak hukum dalam memperlakukan warga Negara (sinonim untuk hukum) (Chambliss & Seidman, 1971: 188).
Lebih jauh lagi Chambliss dan Seidman menghubungkan persoalan tersebut dengan suatu kultur hukum tertentu, yaitu kultur hukum dari kelas menengah. Kultur hukum kelas menengah menghendaki kepastian melalui penegakan system hukum diatas semuanya. Hal tersebut tercermin pada Azas Nulla Poena yang mengehendaki agar diskresi oleh para penegak hukum ditekan serendah-rendahnya. Kultur hukum kelas menengah lebuh menghendaki hukum daripada ketertiban [5](Chambliss & Seidman, 1971: 220).









BAB III
PEMBAHASAN

A.    Cara Penguraian Penegakan Hukum
            Penegakkan hukum selalu melibatkan manusia didalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia.hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum. Janji dan kehendak tersebut, misalnya untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya. Bagaimana hukum dijalankan, persepsi mengenai penegakkan hukum, motif-motif apakah yang sebenarnya melatarbelakangi tingkah laku tingkah laku para pelaku penegakkan hukum, seperti hakim, polisi, dan sebagainya. Proses-proses penegakkan hukum dikaitkan pada tingkah laku orang yang menjalankannya sehingga aspek tingkah laku sosial dari penegakkan hukum tampak jelas. Tingkah laku sosial bukan merupakan perbuatan manusia yang tidak terkendali. Tingkah laku sosial tidak sekedar merupakan gerakan-gerakan badaniah yang dituntun oleh kemauan yang tidak terkendali dari orang-orang dalam masyarakat. Oleh karena tingkah laku sosial tidak dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan manusia secara perseorangan begitu saja, melainkan merupakan bagian dari suatu jaringan yang luas yang membatasi perbuatan tersebut,. maka kita bicarakan tentang[6] system perbuatan (Parsons, 1952: 27). System perbuatan terdiri dari: (1) pelaku perbuatan itu sendiri; (2) interaksinya dengan orang lain dan (3) pola budayanya. Secara singkat dapat diuraikan bahwa dalam persepsi tersebut tingkah laku sosial dimulai dari perbuatan manusia secara perseorangan, yang merupakan ekspresi baik dari organism biologisnya maupun kepribadiannya. Tingkah laku orang-orang dalam masyarakat sekarang terjadi dalam wadah suatu [7]system ekspektasi (Parsons, 1952:5) Oleh karena tingkah laku orang-orang berlangsung dalam jaringan system ekspektasi maka dapat dijumpai adanya suatu pola interaksi tertentu dan bukan suatu interaksi yang semerawut. Terjadinya system ekspektasi tersebut dimungkinkan oleh tampilnya pola budaya sebagai unsure system perbuatan.
Pola budaya menciptakan landasan bagi berlangsungnya interaksi tersebut, sehingga tercapai suatu integrasi yang relative stabil dalam hubungan di antara para anggota masyarakat. Perspektif penguraian masalah penegakkan hukum akan di amati sebagai suatu proses, atau sebagai suatu proses sosial. Apabila penegakkan hukum dilihat sebagai proses, penegakkan hukum dilihat sebagi suatu proses yang tersendiri dalam masyarakat yang bertujuan mempertahankan hukum dan ketertiban. Oleh karena itu nanti akan dilihat betapa penegakkan hukum akan bertukar aksi dengan lingkungannya. Yang dapat disebut sebagai pertukaran aksi dengan unsure manusia, sosial, budaya, politik dan lain-lain. Dalam konteks tersebut, sebetulnya tidak dapat ditentukan kapan penegakkan hukum mencapai titik akhirnya, karena proses tersebut berputar secara terus-menerus.      

B.      Penegakkan Hukum: Ide dan Pengorganisasiannya
            Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial [8](Radbruch,1961:36). Apabila berbicara tentang penegakkan hukum, maka pada hakekatnya berbicara tentang penegakkan ide-ide serta konsep-konsep yang nota bene adalah abstrak tersebut. Penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan suatu ide-ide menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari penegakkan hukum.
            Sekarang ini organisasi dijumpai hampir pada semua bidang kehidupan, seperti pendidikan, perdagangan, pemerintahan, militer dan hukum. Karena problem-problem sudah menjadi makin besar, melibatkan sejumlah orang, tugas-tugas yang harus dilaksanakan semakin menggunung, maka dibutuhkan suatu penanganan bersama. Kalau suatu kegiatan sudah meklibatkan kompleksitas yang begitu tinggi dan jumlah orang begitu banyak, maka kita harus menjalankannya dalam konteks organisasi. Untuk mewujudkan hukum sebagai suatu ide-ide ternyata dibutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks.negara yang harus campur tangan dalam perwujudan hukum yang abstrak ternyata harus mengadakan berbagai macam badan untuk mencapai keperluan tersebut. Kita mengenal adanya jawatan hukum dan kantor hukum, melainkan: pengadilan, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan dan juga badan perundang-undangan. Badan-badan yang tampak sebagai organisasi yang berdiri sendiri tersebut pada hakekatnya mengemban tugas yang sam, yaitu mewujudkan hukum atau menegakkan hukum dalam masyarakat.
            Untuk mencapai tujuan hukum diperlukan berbagai organisasi sekalipun pada hakekatnya bertugas untuk mengantarkan orang kepada tujuan-tujuan hukum, namun masing-masing tetap berdiri sendiri-sendiri sebagai badan yang bersifat otonom. Melalui organisasi serta proses-proses yang berlangsung didalamnya, masyarakat menerima perwujudan dari tujuan-tujuan hukum. Keadilan misalnya kini tidaklagi merupakan konsep yang abstrak, melainkan benar-benar diberikan kepada anggota masyarakat dalam bentuk pensahan suatu aksi tertentu. Kepastian hukum menjadi terwujud melalui keputusan-keputusan hakim yang menolak tindakan-tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat. Ketertiban dan keamanan menjadi sesuatu yang nyata melalui tindakan-tindakan polisi yang diorganisir oleh badan kepolisian. Tujuan hukum melalui organisasi diwujudkan dengan perumusan Undang-Undang, keputusan-keputusan pengadilan, kondisi ketertiban keamanan, dan sebagainya.
            Untuk dapat menjalankan tugasnya, organisasi yang ditunjuk untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum perlu mempunyai suatu tingkat otonomi tertentu. Otonomi tersebut dibutuhkan untuk dapat mengelola sumber daya yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Sumber daya tersebut berupa:
a.       Sumber daya manusia, seperti hakim, polisi, jaksa, panitera.
b.      Sumber daya fisik, seperti gedung, perlengkapan, kendaraan.
c.       Sumber daya keuangan, seperti belanja Negara dan sumber-sumber lain.
d.      Sumber daya selebihnya yang dibutuhkan untuk menggerakkan organisasi dalam usahanya mencapai tujuannya.
Pemberian otonom kepada organisasi merupakan syarat bagi organisasi tersebut untuk dapat menjalankan tugasnya. Suatu fenomena menarik yang berhubungan dengan keadaaan tersebut adalah dengan pemberian otonomi, maka organisasi menjalani kehidupannya sendiri-sendiri. Dalam rangka mnejalani kehidupannya sendiri, organisasi tidak selalu dapat diikat oleh prosedur-prosedur formal yang ditentukan bagi organisasi tersebut, tetapi cenderung membuat kebijakan sendiri. Pengorganisasian ide-ide abstrak yang hendak dicapai oleh hukum merupakan bagian penting bagi perwujudan hukum dalam masyarakat. Tanpa pengorganisasian tersebut, apalagi dalam suatu masyarakat dan tingkat peradaban yang kompleks seperti sekarang ini, ide-ide hukum tidak dapat diwujudkan dalam masyarakat. Hukum dalam konteks organisasi membuka pintu bagi pengkajian tentang bagaimana lembaga hukum yang diserahi tugas untuk mewujudkan dan menegakkan hukum itu bekerja. Dilihat dari aspek keorganisasian lembaga hukum tidak statis tetapi dinamis.lembaga penegak hukum yang harus menjalankan tugas dan pekerjaannya di tengah-tengah  masyarakat, tidak dapat mengabaikan peranan dari lingkungan tersebut, baik berupa manusia maupun sumber-sumber daya lainnya. Sekalipun tujuan organisasi telah ditetapkan tetapi ditengah-tengah hubungan tukar-menukar dengan masyarakatnya,tujuan tersebut mengalami pergantian atau pergeseran.

C.     Unsur-unsur penegakkan hukum
            Dalam membicarakan serta menginverisasi unsure-unsur penegakkan hukum, tidak dapat diabaikan factor lingkungan sosial tempat penegakan hukum tersebut dijalankan. Unsur-unsur yang terlibat dalam penegakkan hukum dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu: unsure-unsur yang mempunyai tingkat keterlibatan yang agak jauh dan yang dekat. Dengan mengambil badan-badan pembuat undang-undang dan polisi sebagai wakil. Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakkan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakkan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah oikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakkan hukum itu dijalankan. Dalam kenyataannya, proses penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum. Masalah ini berhubungan dengan soal limgkungan dari proses penegak hukum. Penekanan pada pengaruh lingkungan terhadap pribadi penegak hukum sama sekali tidak dapat ditinggalkan. Pemahaman secara normative terhadap organisasi penegakkan hukum cenderung menerima bentuk-bentuk formaldari organisasi tersebut sebagai satu-satunya kemungkinanyang dapat dilihat dan dipelajari. Bekerjanya lembaga penegak hukum pertama-tama memang di tentukan dan dibatasi oleh patokan-patokan formal yang dapat diketahui dari perumusan-perumusan dalam berbagai peraturan hukum. Tetapi berpegangan pada desain formal itu saja adalah jauh dari cukup untuk dapat memahami dan menjelaskan tingkah laku keorganisasian dari lembaga-lembaga tersebut.

D.     Penegakan hukum dan struktur masyarakat
            Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam membicarakan penegakan hukum, sebaiknya tidak diabaikan pembahasan mengenai struktur masyarakat yang ada di balakangnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan kendala, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum di jalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan penegakan hukum tidak dapat dijalankan atau.
            Hukum sebagaimana diterima dan di jalankan di Indonesia termasuk k dalam katagori hukum yang modern. Modernitas tersebut tampak dalam cirri-cirinya yang berikut:
a.       Dikehendaki adanya bentuk yang tertulis, seperti tampak pasa Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia hendaknya disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar.
b.      Hukum berlaku untuk seluruh wilayah Negara, suatu pernyataan dapat juga disimpulkan dari kata-kata dalam Undang-Undang Dasar yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar tersebut disusun untuk “melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Pernyataan tersebut sesuai dengan salah satu karakteristrik hukum modern yang dibuat oleh Marc Galanter, yaitu bahwa hukum modern terdiri dari peraturan-peraturan yang bersifat uniform serta diterapkan tanpa mengenai variasi. Peraturan-peraturan tersebut lebih bersifat territorial daripada pribadi, artinya peraturan yang sama diterapkan terhadap anggota-anggota dari semua agama, suku, kelas, daerah dan kelamin.
c.       Hukum merupakan sarana yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat pada rumusan dari Repelita-Repelita terdahulu.
Pembentukan Negara modern merupakan suatu proses yang banyak memberikan pelajaran tentang bagaimana masyarakat diorganisir dan mendapat banyak informasi tentang bagaimana keadaan serta peranan hukumanya, termasuk di dalamnya masalah penegakannya. Proses tersebut dapat dilihat sebagai suatu peristiwa diferensiasi kelembagaan, yang menunjukkan, bagaimana fungsi-fungsi utama dalam masyarakat tampil ke depan sepanjang berlangsungnya proses pembentukan tersebut. Di situ akan terlihat terjadinya pengorganisasian masyarakat yang semakin meningkat, melalui berbagai elaborasi terhadap fungsi-fungsi tersebut di atas [9](Poggi, 1978: 13).
            Gianfranco Poggi membagi proses pembentukan tersebut ke dalam tahap-tahap sebagai berikut:
1.      Feodalisme
2.      Standestaat
3.      Absolutisme
4.      Masyarakat Perdata (civil society)
5.      Negara konstitusional
Feodalisme atau masyarakat feodal dapat dilukiskan sebagai suatu komunitas yang bersendikan hubungan khusus antara yang dipertuan dan abdinya. Feodalisme timbul karena terjadinya kekosongan dalam struktur kekuasaan di eropa barat dan pada gilirannya menimbulkan kekacauan. Tumbuhnya feodalisme dalam konteks tatanan masyarakat yang ada pada waktu itu di eropa barat dapat dikatakan bersifat merusak. Berbeda dengan ciri tersebut, standestaat lebih memiliki acuan territorial. Standestaat merupakan suatu unit dalam perlapisan sosial, yaitu sebagai suatu golongan penduduk yang mempunyai status sama. Golongan tersebut terdiri dari bangsawan, agamawan dan penduduk biasa. Stelah itu kemudian muncul masyarakat sipil (civil society) berhubungan erat dengan munculnya borjuis eropa dalam masa absolute. Kelas borjuis terdiri dari para usahawan kapitalis yang mengalami kemajuan-kemajuan pada masa itu.kelas borjuis menghendaki adanya kompetensi di antara anggotanya, yaitu perorangan dengan kepentingan-kepentingannya sendiri.kerangka acuan tersebut maka kelas borjuis tidak menghendaki adanya sebuah kekuasaan. Adanya kekuasaan tersebut menyebabbkan di dalam kelas akan dijumpai suatu golongan dengan kekuasaan berhadapan dengan golongan lain yang tidak mempunyainya. Keadaan tersebut berlainan dengan pengertian system hukum yang dipakai pada tahap Negara konstitusional sekarang. Tahap tersenut yang diterima sebagai hukum adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan formal, sesuatu yang mengatasi hukum-hukum yang diajukan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam suatu sengketa yang di ambil dari suatu tradisi masing-masing secara berbeda-beda. System hukum terdiri dari ketentuan-ketentuan yang bersifat umum dan abstrak yang bersumber dari satu pusat kekuasaan yang berdaulat. System tersebut merupakan kesatuan yang padu, homogeny, dan dianggap tidak mengenal kekosongan-kekosongan.
     Pola penyelenggaraan hukum dalam hubungan dengan taha-tahap perkembangan hukum sebagaimana dikemukakan oleh [10]Max Weber (Hunt, 1978: 93-133; Weber, 1954). Menurut Weber, kecenderungan umum dalam perkembangan hukum modern adalah untuk menjadi makin rasional. Secara teoritis, perkembangan tersebut melalui tahap-tahap sebagai berikut [11] (Weber, 1954: 303):
1)      Pengaduan hukum melalui pewahyuan (revelation) secara kharismatis.
2)      Penciptaan dan penemuan hukum secara empiris oleh para legal honoratiores, yaitu penciptaan hukum oleh para kauteraly jurisprudensi.
3)      Pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan secular atau teokratis.
4)      Tahap yang terakhir adalah penggarapan hukum secara sistematis dan penyelenggaraan hukum yang dijalankan secara profesionaloleh orang-orang yang mendapat pendidikan hukum.
Pola penegakkan hukum modern dan sederhana pada suatu masa dapat berbeda. Bukan tanpa sebab melainkan karena keadaan masyarakatnya tang berbeda pula.hukum modern yang memilikik ciri-ciri formal rasional hanya dapat terjadi karena dukungan dari mesin administrasi yang menjadi semakin rasional. Dengan kata lain perkembangan tersebut tidak akan terjadi apabila masyarakat masih hidup dibawah bentuk dominasi yang tradisional atau kharismatis. Apabila cara-cara penegakan hukum akan diterapkan pada masyarakat yang memiliki jangkauan wilayah dan permasalahan sosial, ekonomi, politik yang luas dan besar maka tentunya justru kekacauanlah yang akan terjadi. Salah satu penegakan hukum dalam masyarakat modern yang dianggap menonjol adalah sifat birokrasinya. Birokratisasi penegakan hukum sebagai cirri dari pola hukum modern yang menonjol menimbulkan hal-hal yang menarik untuk diamati. Penegakan hukum pada masyarakat sederhana akan sangat kurang dijumpai karena belum dikelola secara rasional dengan menggunakan hukum tersebut.
Lain halnya dengan Penegakan hukum dinegara-negara berkembang. Tipe hukum yang diterapkan yaitu tipe hukum Refresif. Tipe hukum ini merupakan fungsi dari proses-proses dan kondisi-kondisi yang terjadi dinegara berkembang. Perikehidupan kehidupan dinegara berkembang juga merupakan fungsi dari proses-proses penataan kehidupan politik di Negara-negara tersebut. Tipe hukum refresif di kebanyakan Negara-negara berkembang adalah merupakan kelanjutan dari kondisi-kondisi yang dihadapi oleh Negara-negara tersebut.
















BAB III
SIMPULAN

Penegakkan hukum selalu melibatkan manusia didalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia.hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum. Proses-proses penegakkan hukum dikaitkan pada tingkah laku orang yang menjalankannya sehingga aspek tingkah laku sosial dari penegakkan hukum tampak jelas. Tingkah laku sosial bukan merupakan perbuatan manusia yang tidak terkendali. Tingkah laku sosial tidak sekedar merupakan gerakan-gerakan badaniah yang dituntun oleh kemauan yang tidak terkendali dari orang-orang dalam masyarakat.
Oleh karena tingkah laku sosial tidak dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan manusia secara perseorangan begitu saja, melainkan merupakan bagian dari suatu jaringan yang luas yang membatasi perbuatan tersebut. maka kita bicarakan tentang system perbuatanSystem perbuatan terdiri dari: (1) pelaku perbuatan itu sendiri; (2) interaksinya dengan orang lain dan (3) pola budayanya. Secara singkat dapat diuraikan bahwa dalam persepsi tersebut tingkah laku sosial dimulai dari perbuatan manusia secara perseorangan, yang merupakan ekspresi baik dari organism biologisnya maupun kepribadiannya. Tingkah laku orang-orang dalam masyarakat sekarang terjadi dalam wadah suatu [12]system ekspektasi (Parsons, 1952:5). Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan social. Sekarang ini organisasi dijumpai hampir pada semua bidang kehidupan, seperti pendidikan, perdagangan, pemerintahan, militer dan hukum. Karena problem-problem sudah menjadi makin besar, melibatkan sejumlah orang, tugas-tugas yang harus dilaksanakan semakin menggunung, maka dibutuhkan suatu penanganan bersama. Kalau suatu kegiatan sudah meklibatkan kompleksitas yang begitu tinggi dan jumlah orang begitu banyak, maka kita harus menjalankannya dalam konteks organisasi.
Untuk mewujudkan hukum sebagai suatu ide-ide ternyata dibutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks.negara yang harus campur tangan dalam perwujudan hukum yang abstrak ternyata harus mengadakan berbagai macam badan untuk mencapai keperluan tersebut. Kita mengenal adanya jawatan hukum dan kantor hukum, melainkan: pengadilan, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan dan juga badan perundang-undangan. Unsur-unsur yang terlibat dalam penegakkan hukum dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu: unsure-unsur yang mempunyai tingkat keterlibatan yang agak jauh dan yang dekat.
Dengan mengambil badan-badan pembuat undang-undang dan polisi sebagai wakil. Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakkan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan kendala, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum di jalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan penegakan hukum tidak dapat dijalankan atau.









Daftar Pustaka


Chambliss & Seidman, Law order and power, Reading mass, Addison-Westley,1971.
Rahardjo, satjipto, Penegakan HUKUM, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
Rahardjo, satjipto, hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1979.
Weber, max, On Law in Economy and Society, New York, A Clarion Book, 1954.
Weber, max, The Theory of Social and Economic Organization, New York, The Free         Press, 1969.
www. Google.com, Penegakan Hukum Di Indonesia.
       .







[1] Weber, On law in Economy and Society, A Clarion Book, New York, 1954, hlm. 11
[2] Rahardjo, 1977, hlm. 63

[3] Skolnick, Justice Without Trial-Law Enforcement in Democratic Socilety, John Willey & Sons, New York, 1966, hlm. 7-9
[4] Chambliss & Seidman, Law Order and Power, Addison-Westley, Reading Mass, 1971, hlm. 187
[5] Chambliss & Seidman, Law Order and Power, Addison-Westley, Reading Mass, 1971, hlm. 220
[6] Parsons, System perbuatan, The Free Press, New York, 1952, hlm. 27
[7] Parsons, The Social System, The Free Press, New York, 1952, hlm.
[8] Radbruch, Penegakan Hukum, 1961, hlm. 36
[9] Poggi, Gianfranco, The Development Of The Modern State A Sociologikal Introduction, London, 1978, hlm. 13
[10] Max Weber Hunt, On Law In Economy and Society, A Clarion Book, New York, 1978, hlm. 93-133
[11] Weber, On Law In Economy and Society, A Clarion Book, New York, 1954, hlm. 303

Tidak ada komentar: