BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum dibuat untuk
dilaksanakan. Hukum tidak lagi disebut sebagai hukum, apabila hukum tidak
pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut konsisten dengan
pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Hukum terutama dapat
dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di
dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum terkandung tindakan-tindakan
yang harus dilaksanakan seperti penegakan hukum. Pertanyaan logis yang muncul
adalah, siapa yang akan melaksanakan tindakan tersebut? Hukum dalam wujudnya
sebagai peraturan, jelas tidak dapat melakukan semuanya. Dari sinilah masuknya
para penegak hukum yang tidak lain adalah manusia-manusia. Manusia yang menjalankan
penegakan hukum benar-benar menempati kedudukan yang penting dan menentukan.
Apa yang dikatakan dan dijanjikan oleh hukum pada akhirnya akan menajdi
kenyataan melalui tangan-tangan orang tersebut, maka menjadi relevan untuk
berbicara mengenai berbagai faktor yang memberikan pengaruh terhadap para penegak
hukum.
Penegakkan hukum merupakan
fungsi dari bekerjanya pengaruh-pengaruh tersebut. Peraturan-peraturan hukum
merupakan titik awal untuk mempelajari hukum dan sekaligus juga titik akhirnya.
Orang tidak berusaha memberikan penjelasan mengenai kehadiran hukum melainkan
menerimanya begitu saja. Fenomena kehadiran hukum dalam masyarakat merupakan
penjelasn bagaimana hukum bekerja. Hubungan anatara penegakkan hukum dan
struktur masyarakat memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap cara-cara
penegakkan hukum di suatu negara. Apabila kita membicarakan penegakkan hukum di
indonesia maka secara tidak langsung perbedaan pengertian hukum dan ketertiban akan
muncul pada saat penegakkan hukum yang dilakukan oleh polisi. Hubungan dengan
masalah tersebut tampak polisi menjalankan dua peranan sekaligus yaitu
menjalankan hukum dan mencapai ketertiban dalam masyarakat. Masalah penegakkan
hukum diuraikan dalam tradisi yang sudah lazim disebut yaitu Hukum dan
Masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana cara penguraian penegakan
hukum?
2.
Apa sajakah organisasi yang terdapat di
dalam penegakan hukum ?
3.
Apa sajakah unsur-unsur yang terdapat di
dalam penegakan hukum?
4.
Bagaimana penegakan hukum dalam struktur
masyarakat
5.
Bagaiman hukum dan ketertibannya?
BAB
II
Tinjauan
Teoritis Tentang Penegakan Hukum
A. Definisi Penegakan Hukum
Penegakan
hukum merupakan penjabaran ide dan cita ke dalam bentuk-bentuk konkrit yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau
cita hukum harus memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan kebenaran. Untuk mewujudkan hukum sebagai ide kedalam
bentuk konkrit membutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks.
Organisasi-organisasi tersebut seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian.
Lembaga pemasyarakatn sebagai unsure klasik penegakan hukum yang dibentuk oleh
Negara. Walaupun pada hakekatnya organisasi tersebut bertugas untuk
mengantarkan kepada tujuan-tujuan hukum, namun masing-masing badan-badan
berdiri sendiri dan bersifat otonom. Alih-alih menegakan hukum ternyata
lembaga-lembaga tersebut sibuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan
bekerjanya sebagai suatu lembaga, nilai-nilai dan pada akhirnya membentuk
dunianya sendiri.
Penegakan
hukum juga tidak dapat dilepaskan dari sejarah maupun struktur sosial
masyarakatnya. Hukum dan masyarakat sangat terkait erat dan saling
mempengaruhi. Dilihat dari segi penegakan hukum, maka ini berarti, hukum juga
akan tertarik kedalam medan pengaruh dan konfigurasi kekuasaan dalam
masyarakat. Akhirnya, apabila hukum dituntut untuk memperlakukan atiap anggota
masyarakat secara sama, pada saat yang sama justru hukum dihadapkan padakeadaan
yang tdak sama. Hukum dan penegakan hukum harus memberikan keadilan yang sama
kepada rakyat dalam kerangka hukum sebagai instrument manusia dan kemanusiaan.
Penegakan
hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh
energy dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral
dalam hukm. Kegagalan hukum untuk mewujudkan nilai hukum tersebut merupakan
ancaman bahaya akan bangkrut nya hukum yang ada. Hukum dibuat untuk
dilaksanakan maka hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis
bekerjanya hukum. Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak
sederhana. Bukan saja karena kompleksitas system hukum itu sendiri, tetapi juga
rumitnya jalinan hubungan antara system hukum dengan system social, politik,
ekonomi, dan budaya masyarakat. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum
progresif bertolak dari pilar utamanya yaitu determinasi dan komitmen kuat dari
sekalian subsistem peradilan untuk memerangi korupsi. Penegakan hukum progresif
meliputi para hakim, polisi, jaksa, advokat dan birokrasi. Penegakan hukum
progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam putih
dari peraturan, melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam dari
undang-undang atau hukum.
B. Hukum dan Ketertiban
Sekalipun hukum dan ketertiban sering diucapkan dalam
satu rangkaian, seolah-olah yang satu merupakan sinonim bagi yang lain namun
pada pemahaman yang lebih jauh muncul perbedaan yang bersifat hakiki. Perbedaan
dalam hakekat tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat besar, khususnya
hubungan penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi. Hubungan dengan masalah
tersebut, Weber membuat perbedaan antara penglihatan dari sudut hukum (legal) dan sosiologis[1]
(Weber, 1954: 11). Sudut hukum mempermasalahkan kesahan secara intrinsik dari
yang disebut sebagai hukum. Pemahaman yuridis tersebut ditujukan kepada
pengajian terhadap kaidah-kaidah mengenai tingkah laku yang disebut hukum.
Secara singkat berurusan dengan hukum adalah melihat dan menilai masyarakat
serta tingkah laku orang dari sudut kaidah-kaidah yang tersusun dalam suatu
system yang logis konsisten. Hukum menekankan pada segi prosedur. Pembedaan
dari Weber tersebut dapat dijadikan pangkal untuk mengamati kelanjutan dari
adanya dua kategori pengertian tersebut. Kelanjutan yang paling dekat adalah mengamati
tindakan-tindakan orang dalam masyarakat.
Yang menarik dalam hal tersebut adalah masing-masing orang sebetulnya
menghendaki pencapaian suatu kondisi tertentu yaitu ‘ketertiban’. Ketertiban
ditafsirkan dari segi dipenuhinya prosedur-prosedur normative tertentu,
sedangkan di pihak lain ketertiban ditafsirkan dari segi hasil yang wajar dari
hubungan antar orang-orang dalam masyarakat. Ketertiban tidak dibentuk oleh
kemauan dari preskripsi-preskripsi di luar hubungan antar manusia, melainkan
oleh pertimbangan kerjasama yang bersifat wajar (reasonable). Salah satu contoh mengenai hal tersebut adalah
ketertiban dalam penggunaan jalan raya oleh pengendara mobil. Ada kemungkinan,
lalu lintas berjalan dengan tertib dan teratur, sekalipun mobil satu per satu melanggar
batas minimum kecepatan yang diizinkan. Dari contoh tersebut ditemukan dengan
jelas tentang ketertiban menurut hukum dan ketertiban dalam artian sosiologis [2](Rahardjo,
1977: 63).
Skolnick melihat pertentangan antara hukum dan ketertiban dalam kerangka
bekerjanya hukum dalam masyarakat [3](Skolnick,
1966: 7-9). Berlakunya hukum berlangsung didalam suatu tatanan sosial tertentu.
Dalam keadaan tersebut maka hukum tidak hanya merupakan alat dari ketertiban (order), melainkan hukum lebih sering
bertentangan dengan ketertiban.
Selain itu, Chambliss dan Seidman juga berpendapat mengenai masalah antara
hukum dan ketertiban. Menurut mereka, suatu masyarakat yang secara murni diatur
oleh hukum adalah suatu ideal yang tidak dapat dicapai. Pengaturan secara murni
yang dimaksud adalah seluruh masyarakat diatur oleh hukum yang dirumuskan
secara jelas tanpa dibutuhkan adanya diskresi oleh para pejabat dalam
penerapannya. Keadaan atau ideal tersebut samma tidak mungkinnya dengan suatu
masyarakat yang didasarkan semata-mata pada kebebasan, kelonggaran atau
diskresi yang dimiliki oleh para penegak hukumnya[4]
(Chambliss & Seidman, 1971: 187).
Dari pengertian tersebutdapat dilihat bahwa ketertiban hukum yang murni
dipakai sebagai penggambaran dari “hukum”, sedangkan diskresi menggambarkan
“ketertiban”. Menurut mereka sekalipun diskresi sama sekali tidak dapat
dihindari sama sekali namun diskresi dapat dibatasi. Suatu kompromi antara
keduanya diperoleh melalui dua perangkat kaidah yang saling mengisi yaitu: (1)
kaidah hukum pidana substansial (di Indonesia di sebut materiel) dan (2) hukum
acara pidana. Kaidah-kaidah pidana materil berisi ketentuan-ketentuan yang
harus dijalankan oleh para penegak hukum (sinonim bagi ketertiban). Kaidah
hukum acara pidana menentukan batas-batas yang harus diindahkan oleh para
penegak hukum dalam memperlakukan warga Negara (sinonim untuk hukum) (Chambliss
& Seidman, 1971: 188).
Lebih jauh lagi Chambliss dan Seidman menghubungkan persoalan tersebut
dengan suatu kultur hukum tertentu, yaitu kultur hukum dari kelas menengah.
Kultur hukum kelas menengah menghendaki kepastian melalui penegakan system
hukum diatas semuanya. Hal tersebut tercermin pada Azas Nulla Poena yang
mengehendaki agar diskresi oleh para penegak hukum ditekan serendah-rendahnya.
Kultur hukum kelas menengah lebuh menghendaki hukum daripada ketertiban [5](Chambliss
& Seidman, 1971: 220).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Cara Penguraian Penegakan Hukum
Penegakkan
hukum selalu melibatkan manusia didalamnya dan melibatkan juga tingkah laku
manusia.hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya artinya hukum tidak mampu
mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam
peraturan-peraturan hukum. Janji dan kehendak tersebut, misalnya untuk
memberikan hak kepada seseorang, memberikan perlindungan kepada seseorang,
mengenakan pidana kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan
sebagainya. Bagaimana hukum dijalankan, persepsi mengenai penegakkan hukum,
motif-motif apakah yang sebenarnya melatarbelakangi tingkah laku tingkah laku
para pelaku penegakkan hukum, seperti hakim, polisi, dan sebagainya.
Proses-proses penegakkan hukum dikaitkan pada tingkah laku orang yang
menjalankannya sehingga aspek tingkah laku sosial dari penegakkan hukum tampak
jelas. Tingkah laku sosial bukan merupakan perbuatan manusia yang tidak
terkendali. Tingkah laku sosial tidak sekedar merupakan gerakan-gerakan
badaniah yang dituntun oleh kemauan yang tidak terkendali dari orang-orang
dalam masyarakat. Oleh karena tingkah laku sosial tidak dapat diidentifikasikan
sebagai perbuatan manusia secara perseorangan begitu saja, melainkan merupakan
bagian dari suatu jaringan yang luas yang membatasi perbuatan tersebut,. maka
kita bicarakan tentang[6]
system perbuatan (Parsons, 1952: 27).
System perbuatan terdiri dari: (1) pelaku perbuatan itu sendiri; (2)
interaksinya dengan orang lain dan (3) pola budayanya. Secara singkat dapat
diuraikan bahwa dalam persepsi tersebut tingkah laku sosial dimulai dari
perbuatan manusia secara perseorangan, yang merupakan ekspresi baik dari
organism biologisnya maupun kepribadiannya. Tingkah laku orang-orang dalam
masyarakat sekarang terjadi dalam wadah suatu [7]system
ekspektasi (Parsons, 1952:5) Oleh karena tingkah laku orang-orang berlangsung
dalam jaringan system ekspektasi maka dapat dijumpai adanya suatu pola
interaksi tertentu dan bukan suatu interaksi yang semerawut. Terjadinya system
ekspektasi tersebut dimungkinkan oleh tampilnya pola budaya sebagai unsure
system perbuatan.
Pola budaya menciptakan landasan bagi
berlangsungnya interaksi tersebut, sehingga tercapai suatu integrasi yang
relative stabil dalam hubungan di antara para anggota masyarakat. Perspektif
penguraian masalah penegakkan hukum akan di amati sebagai suatu proses, atau
sebagai suatu proses sosial. Apabila penegakkan hukum dilihat sebagai proses,
penegakkan hukum dilihat sebagi suatu proses yang tersendiri dalam masyarakat
yang bertujuan mempertahankan hukum dan ketertiban. Oleh karena itu nanti akan
dilihat betapa penegakkan hukum akan bertukar aksi dengan lingkungannya. Yang
dapat disebut sebagai pertukaran aksi dengan unsure manusia, sosial, budaya,
politik dan lain-lain. Dalam konteks tersebut, sebetulnya tidak dapat
ditentukan kapan penegakkan hukum mencapai titik akhirnya, karena proses
tersebut berputar secara terus-menerus.
B.
Penegakkan Hukum: Ide dan Pengorganisasiannya
Pada hakekatnya hukum mengandung ide
atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Ke
dalam kelompok yang abstrak termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan sosial [8](Radbruch,1961:36).
Apabila berbicara tentang penegakkan hukum, maka pada hakekatnya berbicara
tentang penegakkan ide-ide serta konsep-konsep yang nota bene adalah abstrak tersebut. Penegakkan hukum merupakan suatu
usaha untuk mewujudkan suatu ide-ide menjadi kenyataan. Proses perwujudan
ide-ide tersebut merupakan hakekat dari penegakkan hukum.
Sekarang ini organisasi dijumpai
hampir pada semua bidang kehidupan, seperti pendidikan, perdagangan,
pemerintahan, militer dan hukum. Karena problem-problem sudah menjadi makin
besar, melibatkan sejumlah orang, tugas-tugas yang harus dilaksanakan semakin
menggunung, maka dibutuhkan suatu penanganan bersama. Kalau suatu kegiatan
sudah meklibatkan kompleksitas yang begitu tinggi dan jumlah orang begitu
banyak, maka kita harus menjalankannya dalam konteks organisasi. Untuk
mewujudkan hukum sebagai suatu ide-ide ternyata dibutuhkan suatu organisasi
yang cukup kompleks.negara yang harus campur tangan dalam perwujudan hukum yang
abstrak ternyata harus mengadakan berbagai macam badan untuk mencapai keperluan
tersebut. Kita mengenal adanya jawatan hukum dan kantor hukum, melainkan:
pengadilan, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan dan juga badan
perundang-undangan. Badan-badan yang tampak sebagai organisasi yang berdiri
sendiri tersebut pada hakekatnya mengemban tugas yang sam, yaitu mewujudkan
hukum atau menegakkan hukum dalam masyarakat.
Untuk
mencapai tujuan hukum diperlukan berbagai organisasi sekalipun pada hakekatnya
bertugas untuk mengantarkan orang kepada tujuan-tujuan hukum, namun
masing-masing tetap berdiri sendiri-sendiri sebagai badan yang bersifat otonom.
Melalui organisasi serta proses-proses yang berlangsung didalamnya, masyarakat
menerima perwujudan dari tujuan-tujuan hukum. Keadilan misalnya kini tidaklagi
merupakan konsep yang abstrak, melainkan benar-benar diberikan kepada anggota
masyarakat dalam bentuk pensahan suatu aksi tertentu. Kepastian hukum menjadi
terwujud melalui keputusan-keputusan hakim yang menolak tindakan-tindakan main
hakim sendiri yang dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat. Ketertiban dan
keamanan menjadi sesuatu yang nyata melalui tindakan-tindakan polisi yang
diorganisir oleh badan kepolisian. Tujuan hukum melalui organisasi diwujudkan
dengan perumusan Undang-Undang, keputusan-keputusan pengadilan, kondisi
ketertiban keamanan, dan sebagainya.
Untuk dapat menjalankan tugasnya,
organisasi yang ditunjuk untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum perlu mempunyai
suatu tingkat otonomi tertentu. Otonomi tersebut dibutuhkan untuk dapat
mengelola sumber daya yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Sumber daya tersebut berupa:
a.
Sumber daya manusia, seperti hakim,
polisi, jaksa, panitera.
b.
Sumber daya fisik, seperti gedung,
perlengkapan, kendaraan.
c.
Sumber daya keuangan, seperti belanja
Negara dan sumber-sumber lain.
d.
Sumber daya selebihnya yang dibutuhkan
untuk menggerakkan organisasi dalam usahanya mencapai tujuannya.
Pemberian otonom
kepada organisasi merupakan syarat bagi organisasi tersebut untuk dapat
menjalankan tugasnya. Suatu fenomena menarik yang berhubungan dengan keadaaan
tersebut adalah dengan pemberian otonomi, maka organisasi menjalani
kehidupannya sendiri-sendiri. Dalam rangka mnejalani kehidupannya sendiri,
organisasi tidak selalu dapat diikat oleh prosedur-prosedur formal yang
ditentukan bagi organisasi tersebut, tetapi cenderung membuat kebijakan
sendiri. Pengorganisasian ide-ide abstrak yang hendak dicapai oleh hukum
merupakan bagian penting bagi perwujudan hukum dalam masyarakat. Tanpa
pengorganisasian tersebut, apalagi dalam suatu masyarakat dan tingkat peradaban
yang kompleks seperti sekarang ini, ide-ide hukum tidak dapat diwujudkan dalam
masyarakat. Hukum dalam konteks organisasi membuka pintu bagi pengkajian
tentang bagaimana lembaga hukum yang diserahi tugas untuk mewujudkan dan menegakkan
hukum itu bekerja. Dilihat dari aspek keorganisasian lembaga hukum tidak statis
tetapi dinamis.lembaga penegak hukum yang harus menjalankan tugas dan
pekerjaannya di tengah-tengah
masyarakat, tidak dapat mengabaikan peranan dari lingkungan tersebut,
baik berupa manusia maupun sumber-sumber daya lainnya. Sekalipun tujuan
organisasi telah ditetapkan tetapi ditengah-tengah hubungan tukar-menukar
dengan masyarakatnya,tujuan tersebut mengalami pergantian atau pergeseran.
C. Unsur-unsur
penegakkan hukum
Dalam membicarakan serta
menginverisasi unsure-unsur penegakkan hukum, tidak dapat diabaikan factor
lingkungan sosial tempat penegakan hukum tersebut dijalankan. Unsur-unsur yang
terlibat dalam penegakkan hukum dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu:
unsure-unsur yang mempunyai tingkat keterlibatan yang agak jauh dan yang dekat.
Dengan mengambil badan-badan pembuat undang-undang dan polisi sebagai wakil.
Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakkan hukum sudah dimulai pada saat
peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakkan hukum adalah suatu proses
untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.
Keinginan-keinginan hukum adalah oikiran-pikiran badan pembuat undang-undang
yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan hukum
menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum
yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakkan
hukum itu dijalankan. Dalam kenyataannya, proses penegakan hukum memuncak pada
pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum. Masalah ini berhubungan dengan
soal limgkungan dari proses penegak hukum. Penekanan pada pengaruh lingkungan
terhadap pribadi penegak hukum sama sekali tidak dapat ditinggalkan. Pemahaman
secara normative terhadap organisasi penegakkan hukum cenderung menerima
bentuk-bentuk formaldari organisasi tersebut sebagai satu-satunya
kemungkinanyang dapat dilihat dan dipelajari. Bekerjanya lembaga penegak hukum
pertama-tama memang di tentukan dan dibatasi oleh patokan-patokan formal yang
dapat diketahui dari perumusan-perumusan dalam berbagai peraturan hukum. Tetapi
berpegangan pada desain formal itu saja adalah jauh dari cukup untuk dapat
memahami dan menjelaskan tingkah laku keorganisasian dari lembaga-lembaga
tersebut.
D.
Penegakan hukum dan struktur masyarakat
Penegakan hukum bukanlah merupakan
suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan hubungan timbal balik yang erat
dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam membicarakan penegakan hukum,
sebaiknya tidak diabaikan pembahasan mengenai struktur masyarakat yang ada di
balakangnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai
kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur
masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan kendala, baik berupa
penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum di jalankan, maupun
memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan penegakan hukum tidak dapat dijalankan
atau.
Hukum sebagaimana diterima dan di
jalankan di Indonesia termasuk k dalam katagori hukum yang modern. Modernitas
tersebut tampak dalam cirri-cirinya yang berikut:
a.
Dikehendaki
adanya bentuk yang tertulis, seperti tampak pasa Undang-Undang Dasar 1945 yang
mengatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia hendaknya disusun dalam suatu
Undang-Undang Dasar.
b.
Hukum berlaku
untuk seluruh wilayah Negara, suatu pernyataan dapat juga disimpulkan dari
kata-kata dalam Undang-Undang Dasar yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar
tersebut disusun untuk “melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia”. Pernyataan tersebut sesuai dengan salah satu karakteristrik
hukum modern yang dibuat oleh Marc Galanter, yaitu bahwa hukum modern terdiri
dari peraturan-peraturan yang bersifat uniform serta diterapkan tanpa mengenai
variasi. Peraturan-peraturan tersebut lebih bersifat territorial daripada
pribadi, artinya peraturan yang sama diterapkan terhadap anggota-anggota dari
semua agama, suku, kelas, daerah dan kelamin.
c.
Hukum merupakan
sarana yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik
masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat pada rumusan dari Repelita-Repelita
terdahulu.
Pembentukan Negara modern merupakan suatu proses yang banyak memberikan
pelajaran tentang bagaimana masyarakat diorganisir dan mendapat banyak
informasi tentang bagaimana keadaan serta peranan hukumanya, termasuk di
dalamnya masalah penegakannya. Proses tersebut dapat dilihat sebagai suatu
peristiwa diferensiasi kelembagaan, yang
menunjukkan, bagaimana fungsi-fungsi utama dalam masyarakat tampil ke depan
sepanjang berlangsungnya proses pembentukan tersebut. Di situ akan terlihat
terjadinya pengorganisasian masyarakat yang semakin meningkat, melalui berbagai
elaborasi terhadap fungsi-fungsi tersebut di atas [9](Poggi,
1978: 13).
Gianfranco Poggi membagi
proses pembentukan tersebut ke dalam tahap-tahap sebagai berikut:
1. Feodalisme
2. Standestaat
3. Absolutisme
4. Masyarakat Perdata (civil society)
5. Negara konstitusional
Feodalisme atau masyarakat feodal dapat dilukiskan
sebagai suatu komunitas yang bersendikan hubungan khusus antara yang dipertuan
dan abdinya. Feodalisme timbul karena terjadinya kekosongan dalam struktur
kekuasaan di eropa barat dan pada gilirannya menimbulkan kekacauan. Tumbuhnya
feodalisme dalam konteks tatanan masyarakat yang ada pada waktu itu di eropa
barat dapat dikatakan bersifat merusak. Berbeda dengan ciri tersebut, standestaat
lebih memiliki acuan territorial. Standestaat merupakan suatu unit dalam
perlapisan sosial, yaitu sebagai suatu golongan penduduk yang mempunyai status
sama. Golongan tersebut terdiri dari bangsawan, agamawan dan penduduk biasa. Stelah
itu kemudian muncul masyarakat sipil (civil
society) berhubungan erat dengan munculnya borjuis eropa dalam masa
absolute. Kelas borjuis terdiri dari para usahawan kapitalis yang mengalami
kemajuan-kemajuan pada masa itu.kelas borjuis menghendaki adanya kompetensi di
antara anggotanya, yaitu perorangan dengan kepentingan-kepentingannya
sendiri.kerangka acuan tersebut maka kelas borjuis tidak menghendaki adanya sebuah
kekuasaan. Adanya kekuasaan tersebut menyebabbkan di dalam kelas akan dijumpai
suatu golongan dengan kekuasaan berhadapan dengan golongan lain yang tidak
mempunyainya. Keadaan tersebut berlainan dengan pengertian system hukum yang
dipakai pada tahap Negara konstitusional sekarang. Tahap tersenut yang diterima
sebagai hukum adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan formal, sesuatu yang
mengatasi hukum-hukum yang diajukan oleh masing-masing pihak yang terlibat
dalam suatu sengketa yang di ambil dari suatu tradisi masing-masing secara
berbeda-beda. System hukum terdiri dari ketentuan-ketentuan yang bersifat umum
dan abstrak yang bersumber dari satu pusat kekuasaan yang berdaulat. System
tersebut merupakan kesatuan yang padu, homogeny, dan dianggap tidak mengenal
kekosongan-kekosongan.
Pola
penyelenggaraan hukum dalam hubungan dengan taha-tahap perkembangan hukum
sebagaimana dikemukakan oleh [10]Max
Weber (Hunt, 1978: 93-133; Weber, 1954). Menurut Weber, kecenderungan umum
dalam perkembangan hukum modern adalah untuk menjadi makin rasional. Secara
teoritis, perkembangan tersebut melalui tahap-tahap sebagai berikut [11]
(Weber, 1954: 303):
1) Pengaduan hukum melalui pewahyuan (revelation) secara kharismatis.
2) Penciptaan dan penemuan hukum secara empiris oleh para
legal honoratiores, yaitu penciptaan hukum oleh para kauteraly jurisprudensi.
3) Pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan secular atau
teokratis.
4) Tahap yang terakhir adalah penggarapan hukum secara
sistematis dan penyelenggaraan hukum yang dijalankan secara profesionaloleh
orang-orang yang mendapat pendidikan hukum.
Pola penegakkan hukum modern dan sederhana pada suatu
masa dapat berbeda. Bukan tanpa sebab melainkan karena keadaan masyarakatnya
tang berbeda pula.hukum modern yang memilikik ciri-ciri formal rasional hanya
dapat terjadi karena dukungan dari mesin administrasi yang menjadi semakin
rasional. Dengan kata lain perkembangan tersebut tidak akan terjadi apabila
masyarakat masih hidup dibawah bentuk dominasi yang tradisional atau
kharismatis. Apabila cara-cara penegakan hukum akan diterapkan pada masyarakat
yang memiliki jangkauan wilayah dan permasalahan sosial, ekonomi, politik yang
luas dan besar maka tentunya justru kekacauanlah yang akan terjadi. Salah satu
penegakan hukum dalam masyarakat modern yang dianggap menonjol adalah sifat
birokrasinya. Birokratisasi penegakan hukum sebagai cirri dari pola hukum modern
yang menonjol menimbulkan hal-hal yang menarik untuk diamati. Penegakan hukum
pada masyarakat sederhana akan sangat kurang dijumpai karena belum dikelola
secara rasional dengan menggunakan hukum tersebut.
Lain halnya dengan Penegakan hukum dinegara-negara berkembang. Tipe hukum
yang diterapkan yaitu tipe hukum Refresif. Tipe hukum ini merupakan fungsi dari
proses-proses dan kondisi-kondisi yang terjadi dinegara berkembang.
Perikehidupan kehidupan dinegara berkembang juga merupakan fungsi dari proses-proses
penataan kehidupan politik di Negara-negara tersebut. Tipe hukum refresif di
kebanyakan Negara-negara berkembang adalah merupakan kelanjutan dari
kondisi-kondisi yang dihadapi oleh Negara-negara tersebut.
BAB
III
SIMPULAN
Penegakkan hukum selalu
melibatkan manusia didalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia.hukum
tidak dapat tegak dengan sendirinya artinya hukum tidak mampu mewujudkan
sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam
peraturan-peraturan hukum. Proses-proses penegakkan hukum dikaitkan pada
tingkah laku orang yang menjalankannya sehingga aspek tingkah laku sosial dari
penegakkan hukum tampak jelas. Tingkah laku sosial bukan merupakan perbuatan
manusia yang tidak terkendali. Tingkah laku sosial tidak sekedar merupakan
gerakan-gerakan badaniah yang dituntun oleh kemauan yang tidak terkendali dari
orang-orang dalam masyarakat.
Oleh karena tingkah
laku sosial tidak dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan manusia secara
perseorangan begitu saja, melainkan merupakan bagian dari suatu jaringan yang
luas yang membatasi perbuatan tersebut. maka kita bicarakan tentang system perbuatanSystem perbuatan terdiri
dari: (1) pelaku perbuatan itu sendiri; (2) interaksinya dengan orang lain dan
(3) pola budayanya. Secara singkat dapat diuraikan bahwa dalam persepsi
tersebut tingkah laku sosial dimulai dari perbuatan manusia secara
perseorangan, yang merupakan ekspresi baik dari organism biologisnya maupun
kepribadiannya. Tingkah laku orang-orang dalam masyarakat sekarang terjadi
dalam wadah suatu [12]system
ekspektasi (Parsons, 1952:5). Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau
konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Ke dalam
kelompok yang abstrak termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan social. Sekarang ini organisasi dijumpai hampir pada semua bidang
kehidupan, seperti pendidikan, perdagangan, pemerintahan, militer dan hukum.
Karena problem-problem sudah menjadi makin besar, melibatkan sejumlah orang,
tugas-tugas yang harus dilaksanakan semakin menggunung, maka dibutuhkan suatu
penanganan bersama. Kalau suatu kegiatan sudah meklibatkan kompleksitas yang
begitu tinggi dan jumlah orang begitu banyak, maka kita harus menjalankannya
dalam konteks organisasi.
Untuk mewujudkan hukum
sebagai suatu ide-ide ternyata dibutuhkan suatu organisasi yang cukup
kompleks.negara yang harus campur tangan dalam perwujudan hukum yang abstrak
ternyata harus mengadakan berbagai macam badan untuk mencapai keperluan
tersebut. Kita mengenal adanya jawatan hukum dan kantor hukum, melainkan:
pengadilan, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan dan juga badan
perundang-undangan. Unsur-unsur yang
terlibat dalam penegakkan hukum dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu:
unsure-unsur yang mempunyai tingkat keterlibatan yang agak jauh dan yang dekat.
Dengan mengambil badan-badan pembuat undang-undang dan polisi sebagai
wakil. Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakkan hukum sudah dimulai pada
saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum dalam suatu
masyarakat mempunyai kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan
oleh struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan kendala,
baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum di jalankan,
maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan penegakan hukum tidak
dapat dijalankan atau.
Daftar
Pustaka
Chambliss & Seidman, Law order and power, Reading mass,
Addison-Westley,1971.
Rahardjo, satjipto, Penegakan HUKUM, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
Rahardjo, satjipto, hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1979.
Weber, max, On Law in Economy and Society, New York, A Clarion Book, 1954.
Weber, max, The Theory of Social and Economic Organization, New York, The Free Press, 1969.
www. Google.com, Penegakan Hukum Di
Indonesia.
.
[1]
Weber, On law in Economy and Society, A
Clarion Book, New York, 1954,
hlm. 11
[2]
Rahardjo, 1977, hlm. 63
[3]
Skolnick, Justice Without Trial-Law
Enforcement in Democratic Socilety, John Willey & Sons, New York, 1966,
hlm. 7-9
[4]
Chambliss & Seidman, Law Order and
Power, Addison-Westley, Reading Mass, 1971, hlm. 187
[5]
Chambliss & Seidman, Law Order and
Power, Addison-Westley, Reading Mass, 1971, hlm. 220
[6]
Parsons, System perbuatan, The Free
Press, New York, 1952, hlm. 27
[7]
Parsons, The Social System, The Free
Press, New York, 1952, hlm.
[8]
Radbruch, Penegakan Hukum, 1961, hlm.
36
[9]
Poggi, Gianfranco, The Development Of The
Modern State A Sociologikal Introduction, London, 1978, hlm. 13
[10]
Max Weber Hunt, On Law In Economy and
Society, A Clarion Book, New York, 1978, hlm. 93-133
[11]
Weber, On Law In Economy and Society, A
Clarion Book, New York, 1954, hlm. 303
Tidak ada komentar:
Posting Komentar