Rabu, 04 Desember 2013

hukum organisasi internasional (OPEC)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan Undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan.
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan: “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.
Dalam suatu perikatan akan timbul suatu wanprestasi, overmacht dan resiko. Inilah yang menyebabkan masalah di dalam suatu perjanjian tersebut sehingga tidak sedikit kreditur yang merasa dirugikan oleh perlakuan yang dibuat debitur tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat ditarik suatu rumusan masalah yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan wanprestasi, overmacht dan resiko?
2.      Kapan terjadinya wanprestasi?
3.      Bagaimana pengaturan resiko didalam BW?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Wanprestasi
Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian. Hal inilah yang disebut dengan wanprestasi.
Dalam hal wujud prestasinya “memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.

1.      Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang artinya pestasi buruk. Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia dikatakan melakukan wanprestasi. Ia alpa atau lalai atau ingkar  janji atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.[1] Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :
a.       Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian;
b.      Karena keadaan memaksa, force majeure artinya diuar kemampuan debitur;
Wanprestasi (atau ingkar janji) adalah berhubungan erat dengan adanya perkaitan atau perjanjian antara pihak. Baik perkaitan itu di dasarkan perjanjian sesuai Pasal 1338 sampai dengan 1431 KUH PERDATA maupun perjanjian yang bersumber pada Undang-undang seperti di atur dalam Pasal 1352 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata. Apabila salah satu pihak ingkar janji maka itu menjadi alasan bagi pihak lainya untuk mengajukan gugatan. Demikian juga tidak terpenuhinya Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat syarat sahnya suatu perjanjian menjadi alasan untuk batal atau di batalkan suatu persetujuan perjanjian melalui suatu gugatan. Salah satu alasan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan adalah karena adanya wanprestasi atau ingkar janji dari debitur. Wanprestasi itu dapat berupa tidak memenuhi kewajiban sama sekali, atasu terlambat memenuhi kewajiban, atau memenuhi kewajibanya tetapi tidak seperti apa yang telah di perjanjikan.




2.      Macam-Macam Wanprestasi
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam yakni:[2]
a.       Tidak melakukan apa yang disanggupi akan yang dilakukannya;
b.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.       Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ada  pendapat lain mengenai syarat-syarat terjadinya wanprestasi, yaitu:
a.       Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu berprestasi;
b.      Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya;
c.       Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini debitur masih mampu memenuhi prestasi namun terlambat dalam memenuhi prestasi tersebut.
3.      Mulai Terjadinya Wanprestasi
Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Menurut R.Subekti, melakukan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya juga dinamakan wanprestasi. Yang menjadi persoalan adalah sejak kapan debitur dapat dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi.
Dalam hal wujud prestasinya “memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi. Wanprestasi tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan.

4.      Akibat Adanya Wanprestasi
Debitur yang melakukan wanpretasi berdasarkan pada ketentuam perikatan akan menerima akibat hukum atau sanksi hukum. Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang (si berutang atau debitur sebagai pihak yang wajib meakukan sesuatu) diancamkan beberapa sanksi atau hukuman yaitu diantaranya:[3]
a.       Menurut ketetuan Pasal 1234 BW bahwa debitur  wajib membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi;
b.      Menurut ketentuan Pasal 1266 BW, apabila perikatan tersebut bersifat timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
c.       Dalam Pasal 1237 ayat (2) BW yaitu peralihan resiko dari kreditur kepada debitur;
d.      Dalam Pasal 1267 BW dinyatakan bahwa debitru diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian.
e.       Debitur wajib membayar niaya perkara jika debitur dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri. 
Sehubungan dengan kemungkinan pembatalan lewat hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1267 KUHPerdata tersebut, maka timbul persoalan apakah perjanjian tersebut sudah batal karena kelalaian pihak debitur atau apakah harus dibatalkan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim bersifat declaratoir ataukah bersifat constitutive.
R. Subekti mengemukakan bahwa “menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukannya kelalaian debitur, tetapi putusan hakimlah yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan hakim itu bersifat constitutive dan bukannya declanatoir.
Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau itu disangkal olehnya, harus dibuktikn dimuka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Dalam jual beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantar ke rumah si pembeli, atau kaan si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus membayar uang harga barang tadi. Dalam hal seorang meminjam uang sering juga tidak ditentukan kapan uang itu harus dikembalikan. Yang paling mudah untuk menetapkan seorang melakukan wanprestasi ialah dalam perjnajian yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Apabila orang itu melakukan maka ia melanggar perjanjian. Ia melakukan wanprestasi. Begitu pula, kalau saya memesan pakaian untuk saya pakai pada perayaan Hari Kemerdekaan maka teranglah penjahit tersebut lalai, jika pada tanggal 17 Agustus pakaian tersebut tidak selesai maka ia  dapat dikatakan wanprestasi.

B.     Overmacht
Hal yang dalam hakekatnya mendekati faktor kejujuran dalan hukum adalah faktor yang dinamakan keadaan memaksa dalam hukum (overmacht in het recht). Ada hubungan erat antara dua faktor itu, bahwa kejujuran dalam hukum mengakibatkan apabila ada keadaan memaksa, maka ini mempengaruhi hal berlangsung atau tidaknya pelaksanaan hak-hak dan kewajiban pada suatu perhubungan hukum. Ada tiga hal yang menyebabkan debitur tidak melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga yaitu:[4]
1.      Adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya.
2.      Terjadinya secara kebetulan.
3.      Keadaan memaksa.
Ketentuan tentang keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244-1245 KUHPerdata. Pasal 1244 KUH Perdata berbunyi: “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Selanjutnya Pasal 1245 KUH Perdata berbunyi: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang.

1.      Pengertian Overmacht
Istilah keadaan memaksa (overmacht) berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa atau overmacht adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan.
Overmacht adalah keadaan dimana debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan bunga. Dalam pengertian lain overmacht adalah suatu keadaan yang dialami oleh debitur yang berada diluar kekuasaan dan kekuatannya sehingga ia tidak mampu melaksanakan prestasinya, misalnya karena terjadi gema bumi. Karena peristiwa yang dialami oleh debitur prestasinya tidak dapat dipenuhi.[5]  Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam keadaan memaksa yaitu:
a.       Tidak memenuhi prestasi.
b.      Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur.
c.       Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dipertanggungjawabkan kepada debitur.

2.      Macam-macam Overmacht
Macam-macam overmacht dapat terbagi kedalam:
a.       Keadaan Memaksa Absolut
Keadaan memaksa absolut adalah suatu keaaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka si A sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada si B. Kalau keadaan memaksa mengakibatkan, bahwa suatu hak atau kewajiban dalam perhubungan hukum sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga dan bagaimanapun juga, maka keadaan memaksa itu dinamakan “absolut”.
Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam).

b.      Keadaan Memaksa yang Relatif
Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contohnya, A telah meminjam, kredit usaha tani dari KUD, dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar pada musim panen mendatang. Keadaan memaksa dinamakan “relatif”, apabila keadaan itu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suatu perhubungan hukum tidak dapat dibilangkan sama sekali tidak dapat terjadi bagaimanapun juga, akan tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari yang harus melaksanakan, sedemikian rupa, sehingga patutlah, bahwa keharusan untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dianggap lenyap. Adanya keadaan memaksa yang relatif ini, sangat tergantung dari pada isi, maksud, dan tujuan dari perhubungan hukum yang bersangkutan. Misalnya, seorang tukang berjanji akan membikin rumah untuk orang lain, kemudian pada waktu pembikinan rumah itu sedang berjalan segenap buruh-buruhnya bersama-sama mogok. Apakah oleh karena keadaan ini keharusan untuk menyelesaikan pembikinan rumah adalah lenyap? Kalau dapat dikatakan, bahwa tukang pembikin rumah harus mempekerjakan lain-lain buruh, bagaimanapun mahalnya upah buruh-buruh itu, maka dalam hal ini boleh dikatakan tidak ada keadaan memaksa. Akan tetapi, kalau berhubungan dengan isi, maksud, dan tujuan dari persetujuan anatara kedua belah pihak, dapat dikatakan bahwa pengorbanan yang sedemikian besarnya, tidak patut dibebankan kepada si tukang pembikin rumah, maka kini boleh dikatakan bahwa adalah keadaan memaksa.
Kalau terjadinya keadaan memaksa dapat dikira-kirakan oleh siapapun juga secara objektif, dan tidak dapat dihindarkan dengan usaha apapun juga, maka dapat dikatakan bahwa dari pihak yang berkewajiban itu sama sekali tidak ada kesalahan, dan seharusnya ia dibebaskan sama sekali dari pertanggung jawaban. Sebaliknya, kalau keadaan memaksa itu secara objektif dapat dikira-kiranya lebih dulu untuk menjaga seberapa boleh jangan sampai keadaan memaksa itu terjadi, maka dapatlah si berwajib itu dipertanggungjawabkan. Misalnya, suatu perusahaan mengangkut barang-barang berjanji akan mengangkut barang-barang dari suatu kota ke lain kota, dan sudah diketahui oleh umum, bahwa di perjalanan antar dua kota itu sudah beberapa kali terjadi perampokan atas barang-barang angkutan, maka patutlah apabila si pengangkut barang itu seberapa boleh berusaha untuk menghidarkan perampokan itu misalnya mengadakan pengaawal yang bersenjata ap i. Kalau usaha ini sama sekali tidak dilakukan, maka kalau kemudian betul terjadi perampokan atas barang-barang yang diangkut itu, si pengangkut dapatlah dipertangunggjawabkan atas keadaan memaksa yang menyebabkan barang-barang itu tidak sampai di tempat yang dimaksudkan.

3.      Teori-teori yang Berhubungan Dengan Overmacht
Ada dua teori yang membahas tentang keadaan memaksa yaitu:
a.       Teori ketidakmungkinan (onmogelijkeheid).
Teori ini berpendapat bahwa keadan memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan.
Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1)      Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolut onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk melakukan prestasinya pada kreditur.
2)      Ketidakmungkinan relatif atau ketidakmungkinan subjektif (relative onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya.
b.      Teori Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).
Teori ini berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau overmacht peniadaan kesalahan.

4.      Akibat Hukum Overmacht
Macam-macam akibat hukum yang ditimbulkan oleh Overmacht:
a.       Akibat Keadaan Memaksa Absolut
1)      Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata).
2)      Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
b.      Akibat Keadaan Memaksa Relatif
Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara.

C.    Resiko
Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak.[6] Barang yang diperjualbelikan musnah diperjalanan karena perahu yang mengangkutnya karam. Barang yang dipersewakan terbakar habis selama waktu dipersewakannya. Lalu siapa yang memikul kerugiannya? Inilah persoalan yang dinamakan resiko. Seseorang menjanjikan akan memberikan seekor kuda (schenking) dan kuda ini sebelum diserahkan mati karena disambar petir. Dari contoh peristiwa tersebut dapat  dilihat bahwa persoalan risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum perjanjian dinamakan keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari wanprestasi.
Resiko termasuk kedalam bagian keadaan memaksa, artinya beban harus diterima oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan. Resiko adalah suatu ajaran tentang pemikul atau penanggung ganti rugi apabila debitur tidak memenuhi prestasi dalam keadaan overmacht. Pembayaran ganti rugi sebesar kerugian yang ditanggung oleh kreditur, artinya suatu kerugian yang nyata dan pasti (1246).
Kerugian yang nyata dan pasti akan ditanggung sepenuhnya oleh debitur sehingga ia harus membayar penggantian biaya kerugian kreditur dan bunga. Kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan dari kreditur sedangkan bunga adalah suatu yang harus diperoleh kreditur.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulan bahwa resiko adalah segala sesuatu yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang melakukan perikatan. Resiko terdapat dalam perjanjian sepihak dan perjanjian timbale balik. Kerugian yang harus ditanggung oleh debitur karena keadaan memaksa adalah berbentuk hal-hal:
a.       Pembayaran kerugian materil.
b.      Pembayaran kerugian immaterial.
c.       Pembayaran utang pokok.
d.      Pembayaran kerugian debitur.
e.       Pembayaran bunga dari utang pokok.
f.       Penanggung seluruh biaya.
Dalam bagian umum Buku ke III KUHPdt, sebenarnya kita hanya dapat menemukan satu Pasal yang mengatur mengenai resiko yaitu Pasal 1237 BW yakni “dalam hal danya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.” Arti tanggungan dalam Pasal ini adalah sama dengan Resiko. Oleh karena itu, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum diserahkan musnahkarena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh si berpiutang, yaitu pihak yang berhak menerima barang itu.





BAB III
KESIMPULAN

1.      Wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
2.      Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
3.      Overmacht adalah keadaan dimana debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan bunga. Dalam pengertian lain overmacht adalah suatu keadaan yang dialami oleh debitur yang berada diluar kekuasaan dan kekuatannya sehingga ia tidak mampu melaksanakan prestasinya, misalnya karena terjadi gema bumi.
4.      Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak.












DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata.
Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 2005.
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan di lengkapi Hukum Perikatan Dalam Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011.

Sumber elektronik:
Pengertian Prestasi dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak _ Science Booth.html. diunduh pada Minggu, 15 September 2013 pukul 10.00 Am.
WANPRESTASI, OVERMACHT DAN HAPUSNYA PERJANJIAN   (Pengabdian Masyarakat) Lathifah Hanim,SH.M.Hum.M.Kn.html di unduh pada Minggu, 15 September 2013. Pukul 10.00  Am.



[1] Pengertian Prestasi dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak _ Science Booth.html. diunduh pada Minggu, 15 September 2013 pukul 10.00 Am.
[2] WANPRESTASI, OVERMACHT DAN HAPUSNYA PERJANJIAN   (Pengabdian Masyarakat) Lathifah Hanim,SH.M.Hum.M.Kn.html di unduh pada Minggu, 15 September 2013. Pukul 10.00  Am.
[3] Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan di lengkapi Hukum Perikatan Dalam Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011. Hlm. 106.
[4] Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata, hlm, 183.
[5]
[6] Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 59.

Tidak ada komentar: