BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perikatan dan perjanjian adalah suatu
hal yang berbeda. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan
Undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya
perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan
adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda “verbintenis”. Istilah perikatan
ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya
hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat
itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan.
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa
“tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan:
“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban
si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya
sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.
Dalam suatu perikatan akan timbul suatu
wanprestasi, overmacht dan resiko. Inilah yang menyebabkan masalah di dalam
suatu perjanjian tersebut sehingga tidak sedikit kreditur yang merasa dirugikan
oleh perlakuan yang dibuat debitur tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut
diatas maka dapat ditarik suatu rumusan masalah yaitu:
1. Apa
yang dimaksud dengan wanprestasi, overmacht dan resiko?
2. Kapan
terjadinya wanprestasi?
3. Bagaimana
pengaturan resiko didalam BW?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Wanprestasi
Wujud prestasi yang lainnya
adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah
melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan
tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga
yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan
prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa
menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak
bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang
telah ditentukan dalam perjanjian. Hal inilah yang disebut dengan wanprestasi.
Dalam hal wujud prestasinya “memberikan
sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian telah
ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila
tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian,
maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi
dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila
tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu
untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi
kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.
1. Pengertian
Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda
yang artinya pestasi buruk. Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa
yang dijanjikannya, maka ia dikatakan melakukan wanprestasi. Ia alpa atau lalai
atau ingkar janji atau juga ia melanggar
perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya.
wanprestasi (breach of contract)
adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang
dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan
dalam kontrak yang bersangkutan.[1] Tindakan
wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan
untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti
rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang
dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi
karena :
a. Karena
kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena
kelalaian;
b. Karena
keadaan memaksa, force majeure artinya
diuar kemampuan debitur;
Wanprestasi (atau ingkar janji) adalah
berhubungan erat dengan adanya perkaitan atau perjanjian antara pihak. Baik
perkaitan itu di dasarkan perjanjian sesuai Pasal 1338 sampai dengan 1431 KUH
PERDATA maupun perjanjian yang bersumber pada Undang-undang seperti di atur
dalam Pasal 1352 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata. Apabila salah satu pihak
ingkar janji maka itu menjadi alasan bagi pihak lainya untuk mengajukan
gugatan. Demikian juga tidak terpenuhinya Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat
syarat sahnya suatu perjanjian menjadi alasan untuk batal atau di batalkan
suatu persetujuan perjanjian melalui suatu gugatan. Salah satu alasan untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan adalah karena adanya wanprestasi atau ingkar
janji dari debitur. Wanprestasi itu dapat berupa tidak memenuhi kewajiban sama
sekali, atasu terlambat memenuhi kewajiban, atau memenuhi kewajibanya tetapi
tidak seperti apa yang telah di perjanjikan.
2. Macam-Macam
Wanprestasi
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan)
seorang debitur dapat berupa empat macam yakni:[2]
a. Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan yang dilakukannya;
b. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan
apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ada pendapat lain mengenai
syarat-syarat terjadinya wanprestasi, yaitu:
a. Debitur
sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu
menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma sebab debitur
memang tidak mampu berprestasi;
b. Debitur
berprestasi tidak sebagaimana mestinya, dalam hal ini debitur sudah
beritikad baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia salah dalam melakukan
pemenuhannya;
c. Debitur
terlambat berprestasi, dalam hal ini debitur masih mampu memenuhi prestasi
namun terlambat dalam memenuhi prestasi tersebut.
3. Mulai
Terjadinya Wanprestasi
Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi
manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi,
atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk
dilakukan. Menurut R.Subekti, melakukan prestasi tetapi tidak
sebagaimana mestinya juga dinamakan wanprestasi. Yang menjadi
persoalan adalah sejak kapan debitur dapat dikatakan wanprestasi.
Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya. Sebab
bentuk prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seorang debitur
dapat dikatakan telah wanprestasi.
Dalam hal wujud prestasinya “memberikan
sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian telah
ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila
tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam perjanjian,
maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi
dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila
tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk
terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan
jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi. Wanprestasi
tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan.
4. Akibat
Adanya Wanprestasi
Debitur yang melakukan wanpretasi
berdasarkan pada ketentuam perikatan akan menerima akibat hukum atau sanksi
hukum. Terhadap kelalaian atau kealpaan si berutang (si berutang atau debitur
sebagai pihak yang wajib meakukan sesuatu) diancamkan beberapa sanksi atau hukuman
yaitu diantaranya:[3]
a. Menurut
ketetuan Pasal 1234 BW bahwa debitur
wajib membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti rugi;
b. Menurut
ketentuan Pasal 1266 BW, apabila perikatan tersebut bersifat timbal balik,
kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perjanjian atau juga
dinamakan pemecahan perjanjian;
c. Dalam
Pasal 1237 ayat (2) BW yaitu peralihan resiko dari kreditur kepada debitur;
d. Dalam
Pasal 1267 BW dinyatakan bahwa debitru diwajibkan memenuhi perikatan jika masih
dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian.
e. Debitur
wajib membayar niaya perkara jika debitur dinyatakan bersalah oleh Majelis
Hakim di Pengadilan Negeri.
Sehubungan dengan kemungkinan pembatalan
lewat hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1267 KUHPerdata tersebut, maka
timbul persoalan apakah perjanjian tersebut sudah batal karena kelalaian pihak debitur
atau apakah harus dibatalkan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim
bersifat declaratoir ataukah bersifat constitutive.
R. Subekti mengemukakan bahwa “menurut
pendapat yang paling banyak dianut, bukannya kelalaian debitur, tetapi
putusan hakimlah yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan hakim itu
bersifat constitutive dan bukannya declanatoir.
Karena wanprestasi mempunyai
akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si
berutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau itu disangkal olehnya,
harus dibuktikn dimuka hakim. Kadang-kadang juga tidak mudah untuk mengatakan
bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan
tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Dalam
jual beli barang misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantar ke
rumah si pembeli, atau kaan si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus
membayar uang harga barang tadi. Dalam hal seorang meminjam uang sering juga
tidak ditentukan kapan uang itu harus dikembalikan. Yang paling mudah untuk
menetapkan seorang melakukan wanprestasi ialah dalam perjnajian yang bertujuan
untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Apabila orang itu melakukan maka ia
melanggar perjanjian. Ia melakukan wanprestasi. Begitu pula, kalau saya memesan
pakaian untuk saya pakai pada perayaan Hari Kemerdekaan maka teranglah penjahit
tersebut lalai, jika pada tanggal 17 Agustus pakaian tersebut tidak selesai
maka ia dapat dikatakan wanprestasi.
B.
Overmacht
Hal yang dalam hakekatnya mendekati
faktor kejujuran dalan hukum adalah faktor yang dinamakan keadaan memaksa dalam
hukum (overmacht in het recht). Ada hubungan erat antara dua faktor itu, bahwa
kejujuran dalam hukum mengakibatkan apabila ada keadaan memaksa, maka ini
mempengaruhi hal berlangsung atau tidaknya pelaksanaan hak-hak dan kewajiban
pada suatu perhubungan hukum. Ada tiga hal yang menyebabkan debitur tidak
melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga yaitu:[4]
1. Adanya
suatu hal yang tak terduga sebelumnya.
2. Terjadinya
secara kebetulan.
3. Keadaan
memaksa.
Ketentuan tentang keadaan memaksa diatur
dalam Pasal 1244-1245 KUHPerdata. Pasal 1244 KUH Perdata berbunyi: “Jika ada
alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga
apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang
tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun
tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk
tidaklah ada pada pihaknya”. Selanjutnya Pasal 1245 KUH Perdata berbunyi:
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan
memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang
sama telah melakukan perbuatanyang terlarang.
1. Pengertian
Overmacht
Istilah keadaan memaksa (overmacht)
berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan dalam bahasa
Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa atau overmacht adalah suatu
keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada, yang
disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti gempa
bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro
S.H. keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang menyebabkan bahwa suatu
hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat
dilaksanakan.
Overmacht
adalah keadaan dimana debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya
karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi
dan bunga. Dalam pengertian lain overmacht adalah suatu keadaan yang dialami
oleh debitur yang berada diluar kekuasaan dan kekuatannya sehingga ia tidak
mampu melaksanakan prestasinya, misalnya karena terjadi gema bumi. Karena
peristiwa yang dialami oleh debitur prestasinya tidak dapat dipenuhi.[5] Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam
keadaan memaksa yaitu:
a. Tidak
memenuhi prestasi.
b. Ada
sebab yang terletak diluar kesalahan debitur.
c. Faktor
penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dipertanggungjawabkan kepada
debitur.
2. Macam-macam
Overmacht
Macam-macam
overmacht dapat terbagi kedalam:
a. Keadaan
Memaksa Absolut
Keadaan memaksa absolut adalah suatu
keaaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada
kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar.
Contohnya, si A ingin membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si
A ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka si A sama sekali
tidak dapat membayar utangnya pada si B. Kalau keadaan memaksa mengakibatkan,
bahwa suatu hak atau kewajiban dalam perhubungan hukum sama sekali tidak dapat
dilaksanakan oleh siapapun juga dan bagaimanapun juga, maka keadaan memaksa itu
dinamakan “absolut”.
Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam).
Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam).
b. Keadaan
Memaksa yang Relatif
Keadaan memaksa yang relatif adalah
suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya.
Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang
besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan
manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contohnya,
A telah meminjam, kredit usaha tani dari KUD, dengan janji akan dibayar pada
musim panen. Tetapi sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian,
pada saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi
ia akan membayar pada musim panen mendatang. Keadaan memaksa dinamakan
“relatif”, apabila keadaan itu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada
suatu perhubungan hukum tidak dapat dibilangkan sama sekali tidak dapat terjadi
bagaimanapun juga, akan tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari
yang harus melaksanakan, sedemikian rupa, sehingga patutlah, bahwa keharusan
untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dianggap
lenyap. Adanya keadaan memaksa yang relatif ini, sangat tergantung dari pada
isi, maksud, dan tujuan dari perhubungan hukum yang bersangkutan. Misalnya,
seorang tukang berjanji akan membikin rumah untuk orang lain, kemudian pada
waktu pembikinan rumah itu sedang berjalan segenap buruh-buruhnya bersama-sama
mogok. Apakah oleh karena keadaan ini keharusan untuk menyelesaikan pembikinan
rumah adalah lenyap? Kalau dapat dikatakan, bahwa tukang pembikin rumah harus
mempekerjakan lain-lain buruh, bagaimanapun mahalnya upah buruh-buruh itu, maka
dalam hal ini boleh dikatakan tidak ada keadaan memaksa. Akan tetapi, kalau
berhubungan dengan isi, maksud, dan tujuan dari persetujuan anatara kedua belah
pihak, dapat dikatakan bahwa pengorbanan yang sedemikian besarnya, tidak patut
dibebankan kepada si tukang pembikin rumah, maka kini boleh dikatakan bahwa
adalah keadaan memaksa.
Kalau terjadinya keadaan memaksa dapat
dikira-kirakan oleh siapapun juga secara objektif, dan tidak dapat dihindarkan
dengan usaha apapun juga, maka dapat dikatakan bahwa dari pihak yang
berkewajiban itu sama sekali tidak ada kesalahan, dan seharusnya ia dibebaskan
sama sekali dari pertanggung jawaban. Sebaliknya, kalau keadaan memaksa itu
secara objektif dapat dikira-kiranya lebih dulu untuk menjaga seberapa boleh
jangan sampai keadaan memaksa itu terjadi, maka dapatlah si berwajib itu
dipertanggungjawabkan. Misalnya, suatu perusahaan mengangkut barang-barang
berjanji akan mengangkut barang-barang dari suatu kota ke lain kota, dan sudah
diketahui oleh umum, bahwa di perjalanan antar dua kota itu sudah beberapa kali
terjadi perampokan atas barang-barang angkutan, maka patutlah apabila si
pengangkut barang itu seberapa boleh berusaha untuk menghidarkan perampokan itu
misalnya mengadakan pengaawal yang bersenjata ap i. Kalau usaha ini sama sekali
tidak dilakukan, maka kalau kemudian betul terjadi perampokan atas
barang-barang yang diangkut itu, si pengangkut dapatlah dipertangunggjawabkan
atas keadaan memaksa yang menyebabkan barang-barang itu tidak sampai di tempat
yang dimaksudkan.
3. Teori-teori
yang Berhubungan Dengan Overmacht
Ada dua teori yang membahas tentang
keadaan memaksa yaitu:
a. Teori
ketidakmungkinan (onmogelijkeheid).
Teori ini berpendapat bahwa keadan
memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang
diperjanjikan.
Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1) Ketidakmungkinan
absolut atau objektif (absolut onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan
sama sekali dari debitur untuk melakukan prestasinya pada kreditur.
2) Ketidakmungkinan
relatif atau ketidakmungkinan subjektif (relative onmogelijkheid), yaitu suatu
ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya.
b. Teori
Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).
Teori ini berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau overmacht peniadaan kesalahan.
Teori ini berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau overmacht peniadaan kesalahan.
4. Akibat
Hukum Overmacht
Macam-macam akibat
hukum yang ditimbulkan oleh Overmacht:
a. Akibat
Keadaan Memaksa Absolut
1) Debitur
tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata).
2) Kreditur
tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari
kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam
Pasal 1460 KUH Perdata.
b. Akibat
Keadaan Memaksa Relatif
Beban risiko tidak berubah, terutama pada
keadaan memaksa sementara.
C.
Resiko
Resiko adalah kewajiban
memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah
satu pihak.[6]
Barang yang diperjualbelikan musnah diperjalanan karena perahu yang
mengangkutnya karam. Barang yang dipersewakan terbakar habis selama waktu
dipersewakannya. Lalu siapa yang memikul kerugiannya? Inilah persoalan yang
dinamakan resiko. Seseorang menjanjikan akan memberikan seekor kuda (schenking)
dan kuda ini sebelum diserahkan mati karena disambar petir. Dari contoh
peristiwa tersebut dapat dilihat bahwa persoalan risiko itu
berpokok pangkal pada terjadinya perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal
pada kejadian yang dalam hukum perjanjian dinamakan keadaan memaksa. Persoalan risiko
adalah buntut dari wanprestasi.
Resiko termasuk kedalam
bagian keadaan memaksa, artinya beban harus diterima oleh pihak-pihak yang
terkait dalam perikatan. Resiko adalah suatu ajaran tentang pemikul atau
penanggung ganti rugi apabila debitur tidak memenuhi prestasi dalam keadaan
overmacht. Pembayaran ganti rugi sebesar kerugian yang ditanggung oleh
kreditur, artinya suatu kerugian yang nyata dan pasti (1246).
Kerugian yang nyata dan
pasti akan ditanggung sepenuhnya oleh debitur sehingga ia harus membayar
penggantian biaya kerugian kreditur dan bunga. Kerugian adalah berkurangnya
harta kekayaan dari kreditur sedangkan bunga adalah suatu yang harus diperoleh
kreditur.
Dari penjelasan
tersebut, dapat disimpulan bahwa resiko adalah segala sesuatu yang harus
ditanggung oleh pihak-pihak yang melakukan perikatan. Resiko terdapat dalam
perjanjian sepihak dan perjanjian timbale balik. Kerugian yang harus ditanggung
oleh debitur karena keadaan memaksa adalah berbentuk hal-hal:
a. Pembayaran
kerugian materil.
b. Pembayaran
kerugian immaterial.
c. Pembayaran
utang pokok.
d. Pembayaran
kerugian debitur.
e. Pembayaran
bunga dari utang pokok.
f. Penanggung
seluruh biaya.
Dalam bagian umum Buku
ke III KUHPdt, sebenarnya kita hanya dapat menemukan satu Pasal yang mengatur
mengenai resiko yaitu Pasal 1237 BW yakni “dalam
hal danya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu
semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.” Arti
tanggungan dalam Pasal ini adalah sama dengan Resiko. Oleh karena itu, dalam
perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum
diserahkan musnahkarena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak,
kerugian ini harus dipikul oleh si berpiutang, yaitu pihak yang berhak menerima
barang itu.
BAB III
KESIMPULAN
1. Wanprestasi
(breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau
kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak
tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
2. Pada
umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena
kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
3. Overmacht
adalah keadaan dimana debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya
karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi
dan bunga. Dalam pengertian lain overmacht adalah suatu keadaan yang dialami
oleh debitur yang berada diluar kekuasaan dan kekuatannya sehingga ia tidak
mampu melaksanakan prestasinya, misalnya karena terjadi gema bumi.
4. Resiko
adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar
kesalahan salah satu pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata.
Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta,
2005.
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan di lengkapi Hukum Perikatan
Dalam Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011.
Sumber elektronik:
Pengertian Prestasi dan Wanprestasi
Dalam Hukum Kontrak _ Science Booth.html. diunduh pada Minggu, 15 September
2013 pukul 10.00 Am.
WANPRESTASI, OVERMACHT DAN HAPUSNYA
PERJANJIAN (Pengabdian Masyarakat)
Lathifah Hanim,SH.M.Hum.M.Kn.html di unduh pada Minggu, 15 September 2013.
Pukul 10.00 Am.
[1]
Pengertian Prestasi dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak _ Science Booth.html.
diunduh pada Minggu, 15 September 2013 pukul 10.00 Am.
[2]
WANPRESTASI, OVERMACHT DAN HAPUSNYA PERJANJIAN
(Pengabdian Masyarakat) Lathifah Hanim,SH.M.Hum.M.Kn.html di unduh pada
Minggu, 15 September 2013. Pukul 10.00 Am.
[3]
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan di
lengkapi Hukum Perikatan Dalam Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2011. Hlm.
106.
[4]
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata, hlm,
183.
[6]
Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa,
Jakarta, 2005, hlm. 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar