Selasa, 17 Desember 2013

hukum pidana (tersangka dan terdakwa)


BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Dalam perkara pidana sebenarnay terlibat beberapa pihak. Di antara pihak-pihak yang yang saling berhadapan itu terdapat  hakim yang tidak memihak kedua belah pihak. Sistem saling berhadapan itu disebut sistem pemeriksaan akusator (accusatoir). Dahulu,  dipakai sitem inkisator (inquisitoir) yanag mana terdakwa menjadi objek pemeriksaan, sedangkan hakim dan penuntut umum beradapada pihak yang sama.
            Dalam sistem saling berhadapan (adversary system) ini, ada pihak terdakwa yang dibelakangnya terdapat penasihat hukumnya, sedangkan di pihak lain terdapat penuntut umum yang atas nama negara menuntut pidana. Di belakang penuntut umum ini ada polisi yang memberi data tentang hasil penyidikan (sebelum pemeriksaan hakim).
            Saksi-saksi yang diajukan biasanya terbagi tiga, yaitu yang memberatkan terdakwa  (a charge), biasanya diajukan oleh penuntut umum, yang meringankan terdakwa  (a de charge), biasanya diajukan terdakwa atau penasihat hukumnya; dan ada pula saksi yang tidak memberatkan dan tidak meringankan terdakwa, mestinya saksi golongan ketiga ini ialah saksi ahli.
            Yang terpenting di antara pihak ini tentulah terdakwa, karena ia yang akan menjadi fokus pemeriksaan di pengadilan.[1]
B.  TINJAUAN TEORITIS
1.        Apakah yang dimaksud tersangka atau terdakwa?
2.        Apa kedudukan tersangka dalam KUHAP?
3.        Apa perbedaan terdakwa dan terpidana?
4.        Apa sajakah yang menjadi hak-hak terdakwa dalam KUHAP?
5.        Bagaimana hubungan tersangka atau terdakwa dengan penasehat hukumnya?

C.  TUJUAN PENULISAN
1.        Untuk memenuhi tugas Hukum Acara Pidana yang dipercayakan Dosen pada kami.
2.        Agar dapat mengikuti perkuliahan secara optimal dan lancar.
3.        Dapat megembangkan wawasan penulis.
4.        Melatih diri agar cara penulisan dalam makalah optimal.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Tersangka menurut KUHP adalah seorang yang karena perbuatannya/ keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, maka ia diselidiki, di sidik dan diperisa oleh penyidik. Apabila perlu maka ia dapat dikenakan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penggeledahan sesuai dengan undang-undang.
Kedudukan tersangka dalam KUHAP adalah sebagai subjek, dimana dalam setiap pemeriksaan harus diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harag diri tersangka tidak terlihat sebagai obyek yang ditanggali hak asasi dan harkat martabat kemanusiaannya dengan sewenang-wenang. Seorang tersangka tidak dapat diperlakukan dengan sekehendak hati pemeriksa dengan alas an bahwa dia telah bersalah melakukan suatu tindak pidana, Karena sebagaimana asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang dianut dalam di dalam proses peradilan pidana di Indonesia yang tercantum dalam pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yaitu “setiap orang yang diditahan, disangka, ditangkap, dituntut, dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.












BAB III
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN TERSANGKA ATAU TERDAKWA
Ada usaha dalam KUHAP memberikan definisi “tersangka” dan “terdakwa”.  Tersangka diberi definisi sebagai berikut.
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya , berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana” (butir 14).
“Terdakwa adalah  seorang tersangka  yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilana’ (butir 15).
            Wetboek van strafvordering Belanda tidak membedakan istilah tersangka dan terdakwa (tidak lagi memakai dua istilah beklaadge dan verdachte), tetapi hanya memakai satu istilah untuk kedua macam pengertian itu, yaitu istilah verdachte sesudah penuntutan pararel dengan pengertian tersangka dalam KUHAP kita. Adapun pengertian Verdachte sesudah penentutan pararel  dengan pengertian terdakwa seperti tersebut pada butir 15 di muka. Yang sama dengan istilah KUHAP Inggris dibedakan pengertian the suspect (sebelum penuntutan) dan the accused (sesudah penuntutan).
            Dalam definisi btersebut terdapat kata-kata “...karena perbuatannya atau keadaannya...”, itu kurang tepat karena , karena kalau demikian, penyidik sudah sudah mengetahui perbuatan tersangka sebelumnya, padahal inilah yang akan disidik. Dalam hal ini kata yang dipakai oleh Ned. Sv. Untuk itu, yang tersebut pada 27 ayat (2) “ ...feiten of omstandingheden” (fakta-fakta atau keadaan-keadaan) lebih tepat karena lebih objektif.[2]
B.  KEDUDUKAN TERSANGKA DALAM KUHAP
Salah satu yang menjadi tolak ukur kemajuan hukum acara pidana dengan lahirnya KUHAP adalah, bahwa KUHAP telah mengangkat dan menempatkan seorang tersangka dalam kedudukan yang bermartabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. KUHAP menempatkan seorang tersangka dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human being). Sekalipun penegakan hukum itu memang mutlak menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar, tetapi hak-hak seorang tersangka atau terdakwa tidak boleh diabaikan atau dilanggar.
Ketegasan KUHAP dalam mengangkat harkat dan martabat manusia terlihat dari garis-garis landasan, asas dan prinsip KUHAP sebagai berikut.
1.  Landasan Filosofis
Landasan Filosofis KUHAP adalah berdasarkan Pancasila terutama yang berhubungan erat dengan Ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun tersangka adalah: Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan, semua manusia tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan, yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata adalah kehendak dan rahmat Tuhan. Mengandung arti bahwa :
a.    Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia.
b.    Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabat sebagai manusia ciptaan Tuhan.
c.    Sebagai manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali.
d.   Fungsi atau tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan amanat Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan jiwa yang terkandung dalam sila Ketuhanan, cita penegakan hukum tiada lain daripada fungsi pengabdian melaksanakan amanat Tuhan, dengan cara menempatkan setiap manusia tersangka/terdakwa sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak dan martabat kemanusiaan yang harus dilindungi dan mempunyai hak dan kedudukan untuk mempertahankan kehormatan dan martabatnya.
Fungsi penegakan hukum yang dipercayakan aparat penegak hukum berada dalam ruang lingkup amanat Tuhan, mereka harus memilliki keberanian dan kemampuan menyimak isyarat nilai keadilan yang konsisten dalam setiap penegakan hukum. Keadilan yang ditegakkan aparat penegak hukum bukanlah keadilan semaunya sendiri, tetapi merupakan wujud keadilan yang selaras dengan keinginan dan keridhoan Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap hukum, terhadap diri dan hati nurani dan terhadap masyarakat nusa dan bangsa berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, diharapkan setiap aparat penegak hukum harus terpatri semangat kesucian moral dalam setiap tindakan penegakan hukum, mereka harus dapat mewujudkan keadilan yang hakiki.
Meskipun pada prinsipnya keadilan itu tidak dapat diwujudkan secara murni dan mutlak. Manusia hanya mampu menemukan dan mewujudkan keadilan yang nisbi atau relatif. Kita menyadari bahwa untuk menegakkan keadilan menurut hukum (legal justice) adalah sangat sulit apalagi menegakkan keadilan moral (moral justice). Namun, untuk mencapai keadilan itu diperlukan adanya tolok ukur keadilan yang dicita-citakan oleh masyarakat bangsa sebagaimana halnya yang dicantumkan dalam KUHAP yaitu Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.  Asas legalitas (legality)
KUHAP sebagai Hukum Acara Pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapannya harus bersumber pada titik tolak the rule of law yang berarti semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang serta menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya sehingga terwujud kehidupan masyarakat di bawah supremasi hukum (supremacy of law) yang harus selaras dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Dengan demikian, setiap tindakan penegakan hukum harus tunduk di bawah ketentuan konstitusi undang-undang yang hidup di tengah kesadaran hukum masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum (supremacy of law), maka aparat penegak hukum dilarang atau tidak dibenarkan:
  • Bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law) maupun undue process.
  • Bertindak sewenang-wenang (abuse of law).
Setiap orang tersangka mempunyai kedudukan:
  • Sama sederajat di hadapan hukum atau equality before the law.
  • Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum atau equal protection the law.
  • Mendapat “perlakuan keadilan” yang sama dibawah hukum, equal justice under the law.
Sebagai pengecualian dari asas legalitas adalah asas “opportunitas” yang berarti meskipun seorang tersangka telah bersalah menurut pemeriksaan dan penyidikan dan kemungkinan dapat dijatuhkan hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum atau dengan kata lain bahwa jaksa penuntut umum dapat mendeponir suatu perkara atas dasar pertimbangan demi kepentingan umum.
Jika kita telusuri ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, ternyata asas “opportunitas” tidak lagi berlaku efektif karena sebagaimana yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf (a) dihubungkan dengan pasal 14 KUHAP, yang menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya di muka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Sedangkan pasal 14 huruf (h) KUHAP hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Dengan demikian, jaksa penuntut umum tidak mendeponir suatu perkara demi kepentingan umum.
Namun demikian, pasal 32 huruf (c) Undang-Undang Kejaksaan RI Nomor 5 Tahun 1991 menentukan bahwa kejaksaan masih berwenang melakukan deponiring dan hal sedemikian itu masih juga dipertegas oleh Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang menentukan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas “opportunitas”.
3.  Asas Keseimbangan (Balance)
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata-mata. Pelaksanaan KUHAP harus berdasarkan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus menempatkan diri pada keseimbangan yang serasi antara orientasi penegakan hukum dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum harus menghindari perbuatan melawan hukum yang melanggar hak-hak asasi manusia dan setiap saat harus sadar dan berkewajiban untuk mempertahankan kepentingan masyarakat sejalan dengan tugas dan kewajiban menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity) dan perlindungan individu (individual protection).
5.      Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Dalam penjelasan umum butir 3 huruf (c) KUHAP ditegaskan bahwa:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Asas praduga tak bersalah tersebut sebelumnya juga diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970.
Asas praduga tak bersalah ini jika ditinjau dari segi teknis juridis ataupun dari segi teknis penyidikan merupakan penerapan acquisitoir yaitu yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. tersangka/terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri. Sedangkan obyek pemeriksaan dalam asas acquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka ke arah itulah pemeriksaan harus ditujukan.
Sebagai lawan atau pengecualian dari asas acquisitoir adalah asas inquisitoir yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Sistim pemeriksaan seperti ini tidak dibenarkan dalam KUHAP karena tersangka/terdakwa tidak diberikan kesempatan secara wajar untuk mempertahankan hak dan kebenarannya. Mereka diperlakukan seolah-olah telah bersalah dan tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai obyek tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela martabat serta kebenaran yang dimilikinya.
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Rumusan kalimat tersebut di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.
Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang  berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu  dengan  merinci luas lingkup atas tafsir hukum  ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
  1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
  2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan;
  3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
  4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan;
  5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu;
  6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan;
  7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan;
  8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh  hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai  akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.[3]
C.  PERBEDAAN TERDAKWA ATAU TERSANGKA DAN TERPIDANA
Sebelum kita berbicara tentang hak-hak dari Tersangka / Terdakwa dan Terpidana, kita harus tahu dulu perbedaan antara seorang terdakwa dengan Terpidana.

Bahwa berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1, yang dimaksud dengan:

         Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

         Terdakwa adalah seorang Tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di persidangan.

         Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Setelah kita mengetahui difinisi dari masing-masing status seseorang barulah kita dapat berbicara tentang hak-haknya didalam melakukan proses hukum yang berlaku.
D.  HAK-HAK TERDAKWA DALAM KUHAP
Bagaimanapun baiknya suatu peraturan, ia masih akan diuji dalam praktik. Kebiasaan memaksa bahkan menyiksa tersangka agar mengaku tentu ada dan sukar sekali dihilangkan. Contoh lain yang diberikan beliau ialah cara pemeriksaan tersangka berjam-jam, terus-menerus, sehingga tersangka sangat payah, akhirnya mengaku.[4] Pemeriksaan dengan paksaan sebenarnya merupakan tindak pidana (Pasal 422 KUHP).
Kebebasan tersangka atau terdakwa  dalam hal memberikan keterangan dalam KUHAP seperti tersebut dimuka, masih perlu dihayati oleh para penegak hukum. Bukan saja pemeriksaan atau penyidik yang harus menyadari tugas yang harus dipikulkan kepundaknya, yaitu mencari kebenaran materil demi kepentingan umum yang selaras dengan kepentingan individu, tetapi juga tersangka itu sendiri harus telah dapat mengetahui dan menyadari hak-hak dan kewajibannya yang dijamin oleh undang-undang.
Kemiskinan dan kebodohan merupakan hambatan utama dalam menerapkan hukum yang telah tersusun rapi dan lengkap.
Misalnya kebebasan tersangka atau terdakwa untuk menunjuk penasihat hukumnya, baru dinikmati sepenuhnya oleh golongan kaya dan berada dalam masyarakat, sedangkan bagi golongan miskin dan bodoh masih merupakan jaminan di atas ketas.
Tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP mulai dari pasal 50 sampai dengan pasal 68. Hak-hak itu meliputi yang berikut ini.
1.        Hak untuk segara diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50 ayat (1), (2) dan (3)).
2.        Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan b).
3.        Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim seperti tersebut dimuka (Pasal 52).
4.        Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1)).
5.        Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54).
6.        Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada setiap tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma-cuma.
7.        Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2)).
8.        Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka atu terdakwa yang ditahan (Pasal 58).
9.        Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksud yang sama di atas (Pasal 59 dan60).
10.    Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan pekara tersangka atau terdakwa, untuk kepentingan pekerjaan atau kepentingan keluarga (Pasal 61).
11.    Hak tersangka tau terdakwa untuk berhubungan surat menyurat dengan penasihat hukumnya (Pasal 62).
12.    Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63).
13.    Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge (Pasal 65).
14.    Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68).
15.    Hak terdakwa (pihak yang diadili) untuk menuntut terhadap hakim yang menjadi perkaranya (Pasal 27 ayat (1), Undang-undang Pokok Kukuasaan Kehakiman).
Disamping hal tersebut di atas, masih ada hak-hak tersangka atau terdakwa yang lain, seperti di bidang penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan lain-lain.
1. Dalam Proses Penangkapan
1).Bahwa seseorang ditangkap harus ada bukti permulaan yang cukup alasan kenapa seseorang tersebut ditangkap.
2). Pada saat ditangkap, yang berhak melakukan penangkapan hanyalah :
a.  penyidik yaitu:
- Pejabat polisi Negara RI yang minimal berpangkat inspektur Dua (Ipda).
- Pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus UU, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu).
b.  penyidik pembantu, yaitu :
- Pejabat kepolisian Negara RI dengan pangkat minimal brigadier dua (Bripda)
- Pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian Negara RI yang minimal berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a atau yang disamakan dengan itu).
3). Pada saat seseorang ditangkap dia dapat melakukan
- Meminta surat tugas dari petugas kepolisian yang akan menangkap anda.
- Meminta surat perintah penangkapannya.
- Teliti surat perintahnya, mengenai identitasnya, alasan pengkapan, dan tempat diperiksa.
- Setelah sesorang ditangkap maka dia berhak untuk melakukan :
- Menghubungi dan didampingi oleh seorang penasehat hukum/pengacara.
- Segera diperiksa oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
- Minta untuk dilepaskan setelah lewat dari 1 X 24 jam.
- Diperiksa tanpa tekanan seperti ; intimidasi, ditaku-takuti dan disiksa secara fisik.
2. Dalam Proses Penahanan
Hak-hak anda jika ditahan, antara lain adalah :
1). Menghubungi dan didampingi pengacara.
2). Segera diperiksa oleh penyidik setelah 1 hari ditahan.
3). Menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapat bantuan hukum.
4). Meminta atau mengajukan pengguhan penahanan.
5). Menghubungi atau menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan.
6). Menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga.
7). Mengirim surat atau menerima surat dari penasehat hukum dan sanak keluarga tanpa diperiksa oleh penyidik/penuntut umum/hakim/pejabat rumah tahanan Negara.
8). Menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
9). Bebas dari tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik.
3. Dalam Proses Penggeledahan.
Hak-hak anda bila digeledah antara lain, adalah :
1). Sebelum digeledah, anda dan keluarga berhak ditunjukkan tanda pengenak penyidik yang akan melakukan penggeledahan.
2). Anda berhak untuk tidak menandatangi berita acara penggeledahan, hal itu akan dicatat dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya.
3). Dua (2) hari setelah rumah anda dimasuki atau digeledah, harus dicabut berita acara dan turunannya diberikan kepada anda.
4). Bila anda seorang tersangka dan ditangkap polisi yang bukan penyidik, maka anda hanya boleh digeledah (pakaian dab benda yang dibawa) bila ada dugaan keras dengan alasan yang cukup bila anda membawa benda yang dapat disita.
5). Bila anda seorang tersangka yang ditangkap oleh penyidik atau dibawa kepada penyidik, maka anda bisa digeledah baik pakaian maupun badan dan tanpa perlu ada dugaan dan alasan yang cukup. 
Dalam pemeriksaan pendahuluan maupun dalam pemeriksaan sidang pengadilan, telah berlaku asas akusator (accuastoir). Ialah adanya jaminan yang luas yang luas terutama dalam hal bantuan hukum. Dari sejak pemeriksaan dimulai, tersangka sudah dapat meminta bantuan hukum, atau disaksikan oleh penyidik atau penuntut umum. Kekecualiannya ialah kalau tersangka didakwa melakukan delik terhadap keamanan negara. Jadi, sama dengan di negara Belanda. Oleh karena itu bahwa di Indonesia dianut asas akusatorterbatas (gematigd accusatoir).[5]
E.   HUBUNGAN TERSANGKA ATAU TERDAKWA DENGAN PENASIHAT HUKUMNYA.
Mangenai hubungannya antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya ini diatur dalam pasal 69, pasal 70, pasal 71, pasal 73 dan pasal 74 KUHAP.
Dalam semua tingkat pemeriksaan antara penasihat hukum dengan tersangka atau terdakwa pada dasarnya dapat untuk mengadakan hubungan, namun demikian hubungan-hubungan tersebut ada pembatasnya, yang harus diperhatikan oleh penasihat hukum dalam mendampingi perkara tersangka atau terdakwa dalam peranannya sebagai penasihat hukum untuk dapat mengurangi sifat-sifat yang penyalah gunaan dilakukan oleh hakim, jaksa dan penyidik, yang menyebabkan harkat dan hak azasi tersangka atau terdakwa menjadi hilang dan dirugikan.
penasihat hukum bisa memberikan pembelaannya terhadap tersangka atau terdakwa, hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang penasihat hukum untuk memberikan pembelaannya kepada tersangka atau terdakwa dalam rangka mencari suatu kebenaran yang materiil dan obyektif yang mengarah pada jaminan dan perlindungan hak – hak azasi manusia terutama tersangka atau terdakwa.
Dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan, seorang penasihat hukum harus dengan cermat dan teliti melihat apakah terhadap penangkapan dan penahanannya itu sah atau tidak, apabila tidak sah maka penasihat hukum demi kepentingan dari tersangka bisa mengajukan Pra Peradilan, disamping itu apakah dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan ini tersangka diperlakukan sebagaimana mestinya seperti yang diatur dalam KUHAP.
Dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan ini demi pembelaannya kepada tersangka, maka penasihat hukum bisa untuk mengajukan penangguhan penahanan, fungsinya   adalah   apabila   pemohonan   penangguhan   penahanan   itu   dikabulkan  maka  penasihat hukum bisa mengadakan hubungan dengan bebas dengan tersangka apabila tersangka didalam penahanan. Penasihat hukum terhadap tersangka dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan bagi penyidik kehadiran seorang penasihat hukum tidak ada masalah karena dalam prakteknya dipandang membantu penyidik dalam mengungkapkan suatu kebenaran yang hakiki dan obyektif.
Suatu harapan dari penyidik agar penasihat hukum memberikan bantuan kesadaran hukum kepada tersangka mengenai hak-hak kewajibannya sehingga diharapkan penasihat hukum dapat membantu kelancaran jalannya penyidikan.
Dalam tingkat pemeriksaan di Kejaksaan, pembelaan yang dapat dilakukan oleh penasihat hukum adalah permohonan penangguhan penahanan dan ditingkat kejaksaan ini penasihat hukum harus dengan cermat dan teliti melihat surat dakwaan dari jaksa penuntut umum, setelah mengetahui surat dakwaan tersebut penasihat hukum mempersiapkan teknis dan strategi pembelaan berdasarkan pada surat dakwaan jaksa penuntut umum.
kehadiran dari penasihat hukum tidak ada masalah, justru jaksa selaku penuntut umum akan lebih senang apabila dalam menuntut suatu perkara ada penasihat hukumnya sebab dengan hadirnya penasihat hukum, maka jaksa akan berhati-hati dalam usaha bersama untuk mencari kebenaran materiil.
Kemudian pembelaan penasihat hukum terhadap terdakwa dalam pemeriksaan dipersidangan adalah sebagaiberikut :
1. Mengadakan Eksepsi atau tangkisan.
2. Mengajukan Pledoi atau pembelaan.
3. Mengajukan Duplik atas Replik Jaksa.
4. Mengajukan Banding dan Kasasi.
5. Mengajukan Grasi, Amnesti, Abolisi serta mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (herzeining) dan Rehabilitasi.
Kehadiran dari penasihat hukum dalam proses persidangan adalah untuk meluruskan persoalan-persoalan hukum yang diarahkan untuk menemukan kebenaran materiil dalam persidangan bersama-sama dengan aparat penegak hukum lainnya[6].










BAB IV
KESIMPULAN
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. “Terdakwa adalah  seorang tersangka  yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilana.
Salah satu yang menjadi tolak ukur kemajuan hukum acara pidana dengan lahirnya KUHAP adalah, bahwa KUHAP telah mengangkat dan menempatkan seorang tersangka dalam kedudukan yang bermartabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. KUHAP menempatkan seorang tersangka dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human being). Sekalipun penegakan hukum itu memang mutlak menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar, tetapi hak-hak seorang tersangka atau terdakwa tidak boleh diabaikan atau dilanggar.
            Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Terdakwa adalah seorang Tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di persidangan. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kebebasan tersangka atau terdakwa  dalam hal memberikan keterangan dalam KUHAP seperti, masih perlu dihayati oleh para penegak hukum. Bukan saja pemeriksaan atau penyidik yang harus menyadari tugas yang harus dipikulkan kepundaknya, yaitu mencari kebenaran materil demi kepentingan umum yang selaras dengan kepentingan individu, tetapi juga tersangka itu sendiri harus telah dapat mengetahui dan menyadari hak-hak dan kewajibannya yang dijamin oleh undang-undang.
Dalam semua tingkat pemeriksaan antara penasihat hukum dengan tersangka atau terdakwa pada dasarnya dapat untuk mengadakan hubungan, namun demikian hubungan-hubungan tersebut ada pembatasnya, yang harus diperhatikan oleh penasihat hukum dalam mendampingi perkara tersangka atau terdakwa dalam peranannya sebagai penasihat hukum untuk dapat mengurangi sifat-sifat yang penyalah gunaan dilakukan oleh hakim, jaksa dan penyidik, yang menyebabkan harkat dan hak azasi tersangka atau terdakwa menjadi hilang dan dirugikan.



DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2008.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta 1967.
Erni Widhayanti, SH, Hak Hak Tersangka/ Terdakwa Di Dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1988.
http://www.duniakontraktor.com/landasan-dan-asas-perlindungan-ham-dalam-kuhap/.html.



[1] Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika hal: 64
[2] Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika hal: 65
[3]http://www.duniakontraktor.com/landasan-dan-asas-perlindungan-ham-dalam-kuhap/.html
[4] Wirjono prodjodikoro. Op. Cit. Hal:27
[5] Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika hal: 71
[6] Erni Widhayanti, SH, Hak – Hak Tersangka/ Terdakwa Di Dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta,
1988.

Tidak ada komentar: