Senin, 09 Desember 2013

hukum pajak (kepastian hukum)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Background Of The Problem
Paying taxes is a manifestation of state obligations and the role of the taxpayer to directly and jointly implement the tax obligations for financing state and national development. As per the philosophy of tax laws, paying taxes is not only an obligation, but it is the right of every citizen to participate in the form of participation to finance the state and national development. Responsibility for payment of tax liability, as a matter of state obligations in the field of taxation are the community members themselves to meet those obligations. This is in accordance with the self-assessment system adopted in the Indonesian Tax System.
The existence of tax is the main source of income of a country, because it is a strategic issue that has always been the observation of society. Especially now that the discussion has been made ​​the new tax bill that would replace Law. 16/2000 on General Provisions and Tax Procedures. Indonesia's population of 215 million people is an abundance of potential tax. Ironically, until 2004 the number of taxpayers / tax payers only reaches the soul 3.67006 million, comprising 2,622,184 individual taxpayers and other taxpayers 1047876 entity. This indicates that tax policy is not strong enough to carry in addition to extending the tax collection process taxpayer less intensively conducted.
As for taxation is required in terms of the existence of a rule of law that it should be cherished in the tax system. as will be described in this paper regarding the certainty in the tax law.

B. Formulation Of The Problem
Of the background above formulation of the problem can be drawn as follows:
1.      What is meant by the rule of law?
2.      how the Rule of Law And Justice In Tax Law?




BAB II
TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KEPASTIAN HUKUM

A.    Pengertian Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, padangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan. Barangkali juga pernah dilakukan untuk mengelola keberingasan para koboy Amerika ratusan tahun lalu.[1]
Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descarte (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat dimauti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukuman-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.
Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan dihadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law (ctt: law dalam pengertian peraturan/legal).[2]
Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar. Demikian juga dengan mekanika Newton. Bahkan Mekanika Newton pun sudah dua kali dihantukkan dalam perkembangan ilmu alam itu sendiri, yaitu Teori Relativitas dari Einstein dan Fisika Kuantum.[3]

B.     Kepastian Hukum Dan Keadilan Dalam Hukum Pajak[4]
Kepastian hukum dalam syarat-syarat pembuatan undang-undang perpajakan yaitu sebagai berikut:
1.      Asas Falsafah Hukum
Undang-undang perpajakan harus mengabdi kepada keadilan, baik dalam arti perundang-undangan, maupun pelaksanaannya. Oleh karena itu, harus memperhatikan teori-teori, seperti teori bakti, teori asuransi, teori kepentingan, teori gaya pikul, dan teori gaya beli.
2.      Asas Yuridis
Hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan bagi negara dan warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak dinegara hukum haruslah berdasarkan undang-undang agar tercapai kepastian hukum. Hal-hal yang perlu dipastikan ialah:
a.       Hak-hak aparatur perpajakan harus dijamin agar dapat dilaksanakan tugasnya dengan lancar.
b.      Wajib pajak harus mendapatkan jaminan hukum agar tidak dilakukan dengan semena-mena oleh aparatur perpajakan. Wajib pajak tidak hanya dituntut memenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi hak-hak wajib pajak juga diperhatikan.
c.       Adanya jaminan terhadap keberhasilan diri wajib pajak maupun perusahaannya.
3.      Asas Ekonomi
Kebijakan pemungutan pajak harus diusahakan agar jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan. Dengan perkataan lain, keseimbangan dalam kehidupan ekonomi harus selalu diperhatikan.
4.      Asas Finansial
Sesuai dengan fungsi budgeter, maka biaya untuk pemungutan pajak harus seminimal mungkin, dan hasil pemungutan pajak hendaknya cukup untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran negara. Harus pula diperhitungkan saat pengenaan pajak hendaknya sedekat mungkin dengan terjadinya perbuatan, peristiwa, keadaan yang menjadi dasar pengenaan pajak. Adam smith dalam teorinya “the four maxim’s” mengemukakan asas-asas yang harus diperhatikan dalam pengenaan pajak adalah sebagai berikut:
5.      Asas Equality
Dalam suatu negara tidak diperbolehkan mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Pengenaan pajak terhadap subjek pajak hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya.
6.      Asas Certainity
Pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak harus pasti untuk menjamin adanya kepastian hukum, baik mengenai subjek, objek, besarnya pajak, maupun saat pembayarannya.
7.      Asas Convenience
Biaya pemungutan pajak hendaknya seminimal mungkin, artinya biaya pemungutan pajak harus lebih kecil dari pemasukan pajaknya.
Keadilan Pajak merupakan pengertian yang sangat luas dan pelik. Dalam hubungan ini dikemukakan pengertian secara khusus, yaitu pengertian keadilan dalam hukum pajak. Salah satu sendi keadilan dalam hukum pajak adalah “perlakuan yang sama” kepada wajib pajak, yang tidak membedakan kewarganegaraan, baik pribumi, maupun asing, dan tidak membedakan agama, aliran politik, dan sebagainya. Namun, apabila ada pertentangan kepentingan antara kepastian hukum pajak dan prinsip keadilan pajak, maka dalam hal ini yang harus didahulukan adalah kepastian hukum guna menjamin pelaksanaan pajak kepada setiap wajib pajak.
1.      Sanksi Perpajakan
2.      Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi adalah sanksi yang ditetapkan oleh undang-undang kepada wajib pajak karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana ditentukan dalam undang-undang perpajakan, yaitu:
a.       Denda (Pasal 7, Undang-Undang No. 6 tahun 1983).
b.      Bunga (Pasal 8, Ayat (1), (2), (3) dan pasal 15, Ayat (1), (2), Undang-Undang No.6 Tahun 1983).
c.       Kenaikan (Pasal 13, ayat (1), (2), (3) dan Pasal 15, Ayat (1), (2), Undang-undang No.6 Tahun 1983).
3.      Sanksi Pidana
Sanksi pidana adalah sanksi yang ditetapkan oleh undang-undang kepada wajib pajak karena melakukan tindakan pidana, yaitu berupa kurungan (Pasal 38, 39, dan 41 Undang-Undang N0. 6 Tahun 1983); denda (Pasal 38, 39, dan 41 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983).








BAB III
PEMBAHASAN

A.    Potensi Gugatan Wajib Pajak
Berdasarkan Ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang KUP, hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda dan kenaikan dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan STP, SKPKB serta Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding serta Putusan Peninjauan Kembali, dengan tentu saja, mempertimbangkan hal-hal yang dapat menangguhkan daluwarsa penagihan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang KUP. Hal ini mengandung makna bahwa kewenangan Negara untuk melakukan tindakan penagihan dibatasi waktunya, yaitu hanya dalam jangka waktu  5 (lima) tahun.
Dengan statuta limitasi tersebut berarti pula bahwa Wajib Pajak memperoleh hak untuk terbebas dari kewajiban Pembayaran utang pajak atau dengan kata lain Wajib Pajak tidak dapat lagi dipaksa untuk membayar kewajiban pajaknya karena sudah daluwarsa.
Akan tetapi berdasarkan asas praduga rechmatige, yang pada dasarnya mengandung arti bahwa suatu kebijakan/keputusan yang dihasilkan pemerintah masih tetap sah dan mengikat sepanjang belum ada yang mencabut atau membatalkannya, Wajib Pajak tidak secara serta merta dapat “memanfaatkan” hak tersebut sebelum adanya keputusan tentang penghapusan piutang pajak. Artinya sepanjang Wajib Pajak belum menerima  keputusan penghapusan utang pajak dari Menteri Keuangan, ia masih berpotensi untuk dilakukan penagihan aktif. Mengenai tata cara penghapusan piutang pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2012 Tantang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Piutang Pajak. ( lihat contoh Keputusan Penghapusan Piutang Pajak). Apakah hal ini berarti bahwa dengan tidak dikeluarkannya keputusan penghapusan piutang/utang mengakibatkan hak dari Wajib Pajak yang dijamin berdasarkan Undang-undang menjadi tertunda untuk jangka waktu yang tidak terbatas?
Perlu disadari, bahwa apabila keputusan Menteri Keuangan tentang penghapusan piutang pajak karena daluwarsa  tidak segera diterbitkan, Wajib Pajak dapat saja mengajukan gugatan tata usaha negara kepada Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang PTUN yang pada dasarnya mengatur bahwa :
1.      Ayat (1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
2.      Ayat (2) Jika suatu Badan  atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan  yang dimohon, sedangkan  jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan  perundang-undangan  dimaksud telah lewat, Maka Badan  atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan dimaksud.
3.      Ayat (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu  sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Artinya bahwa keterlambatan dalam memberikan keputusan  penghapusan utang/piutang karena lewat waktu kepada Wajib Pajak bukan merupakan halangan bagi Wajib Pajak dalam memperoleh haknya untuk dibebaskan dari sejumlah utang pajak. Sehingga menurut penulis, penerbitan keputusan tentang penghapusan piutang pajak merupakan hal yang perlu kita  perhatikan untuk segera diterbitkan sedangkan penelitian mengenai penyebab terjadinya piutang pajak yang daluwarsa dapat dilakukan kemudian, karena Undang-Undang telah secara tegas menyatakan jangka waktu penagihan.
Keadaan ini akan semakin memperjelas tentang kedudukan Hak dan Kewajiban dari Negara dan Wajib Pajak, sehinga diharapkan akan menciptakan suatu kepastian hukum, terlebih lagi hal ini merupakan  perwujudan komitmen Good Governance dari Diten Pajak (Kementerian Keuangan) yang akan menggiring pada peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dengan menghormati ketentuan yang ada, yang pada akhirnya akan mewujudkan atmosphir perpajakan di Indonesia yang jauh lebih baik.

B.     Contoh Kasus




[1]http://tbn0.google.com/images?q=tbn:KesJ5pdG2y5tZM:http://docsouth.unc.edu/neh/hildreth/slave238a.jpg

[2]http://tbn0.google.com/images?q=tbn:xJyx4s5A4gtYNM:http://www.communitymx.com/contet/source/1D850/L_O_logo.jpg
[3]http://tbn0.google.com/images?q=tbn:fpDCvmzcz2UelM:http://www.royal.gov.uk/files/images/MTnew_state_law_intro.jpg
[4] Rezwan Rizki.blogspot.com

Tidak ada komentar: