Rabu, 04 Desember 2013

hukum HAM (anak)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakng Masalah
Anak-anak yang telah terlibat secara aktif dalam kegiatan ekonomi untuk menjalankan peranannya sebagai pekerja, bukanlah suat fenomena baru di indonesia. Meskipun di satu sisi di akui adanya upaya-upaya dari berbagai pihak yang bermaksud untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang terpaksa bekerja, akan tetapi tidaklah dapat dipungkiri bahwa usaha itu beumlah mencapai hasil yang maksimal. Pada kenyataannya masih saja banyak anak-anak yang bekerja, mengarah pada bentuk pengeksploitasian anak dan berbagai insiden perlakuan salah pada anak. Salah satu hal yang seringkali dianggap sebagai kurang berhasilnya uay tersebut adalah kurang tepatnya titik pandang yang dipergunakan oleh masing-masing pihak di dalam menangani persoalan pekerja anak.
Sebagaimana secara tegas dicantumkan di dalam Psal 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 1948 yang membahas mengenai adanya larangan bagi anak-anak untuk bekerja. Akan tetapi berdasarkan Peraturan Mentri Tenga Kerja Nomor Per-01/MEN/1987 tentang perlindungan bagi anak yang terpka bekerja, larangan tersebut tidak lagi bersifat absolut tetapi ada pengecualian-pengecualian tertentu yang membuka kesempatan dipekerjakannya seorang anak.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah hak pekerja anak sebagai anak di atur dalam Undang-Undang?
2.      Bagaimana hak anak untuk bekerja menurut pandangan Hak Asasi Manusia?










BAB II
TNJAUAN TEORITIS

A.    Hak Anak
Anak adalah amanah dan karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada seorang pria dan seorang wanita yang telah melakukan perkawinan yang sah, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPE/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Menurut Konvensi Hak Anak bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun bahkan UUPA No. 23 Tahun 2002 mendefinisikan anak sejak di dalam kandungan untuk lebih memberikan perlindungan yang menyeluruh terhadap anak.
Hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan dalam suatu perkawinan yang sah, merupakan hak asasi manusia. Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia memberikan defenisi tentang hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Lembaga keluarga yang dibentuk melalui perkawinan yang sah menciptakan subjek hukum baru yang disebut “orangtua”, yaitu individu yang mendapatkan tanggungjawab sebagai seorang Ayah dan seorang Ibu. Tujuan mulia dibentuknya sebuah keluarga dari hasil perkawinan yang sah yaitu untuk melanjutkan keturunan, yang disebut dengan “anak”. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga mengatur kewajiban orangtua terhadap anak, yaitu dinyatakan dalam pasal 26 bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.”
Pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya. Dalam hal orangtua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Ketentuan pasal 26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sesuai dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orangtuanya sendiri. Ketentuan pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sesuai dengan ketentuan Pasal 58 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orangtua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggungjawab atas pengasuh anak tersebut (ayat 1). Dalam hal orangtua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman ayat (2).
Akan tetapi apabila orangtua menyalahgunakan kewenangannya terhadap anaknya sehingga melakukan kezaliman terhadap anaknya yaitu melakukan segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual; maka terhadap orangtua tersebut dikenakan pemberatan hukuman sesuai dengan Pasal 26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia[1].
Adapun beberapa hak-hak anak diantaranya :
1.       Hak & kebebasan sipil.
2.       Hak atas lingkungan keluarga.
3.       Hak atas kesehatan & kesejahteraan dasar.
4.       Hak atas pendidikan, waktu luang & kegiatan budaya.
5.       Hak atas perlindungan khusus.
Orangtua/wali bertanggungjawab untuk memenuhi hak anak. Negara (Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, DPR termasuk DPRD, dan Mahkamah Agung/pengadilan) berkewajiban memenuhi, melindungi dan menghormati hak anak).

B.     Prinsip Perlindungan Hak Anak Dalam CRC
Pada tanggal 28 November 1989 Majelis Umum PBB telah mensahkan Konvensi Hak Anak (KHA) atau CRC (Convention on the Right of the Child). Setahun setelah itu Konvensi Hak Anak disahkan maka pada tanggal 25 Agustus 1990 dan pemerintah Indonesia meratifiikasi Konvensi tersebut melalui keputusan presiden No. 36 tahun 1990 dan mulai berlaku sejak 5 Okober 1990. Dengan ikutnya Indonesia dalam mensahkan konvensi tersebut maka Indonesia terikat dengan Konvensi Hak Anak dengan segala konsukuensinya. Artinya setiap yang menyangkut tentang kehidupan anak harus mengacu kepada Konvensi Hak Anak dan tak ada pilihan lain kecuali melaksanakan dan menghormati Konvensi Hak Anak. Dan apabila Indonesia tidak melaksanakan dan menghormatinya maka akan memiliki pengaruh negatif dalam hubungan internasional.
Dalam mewujudkan pelaksanaan dari Konvensi Hak Anak tersebut maka pemerintah Indonesia telah juga membuat aturan dalam upaya melindungi anak. Aturan hukum tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002.
Ada 3 prinsip dasar dalam CRC yaitu:
1.      Non Discrimination.
Prinsip dasar yang pertama ini dimaksudkan bahwa penyelenggaraan dan kesejahteraan serta perlindungan terhadap anak adalah tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang suku, ras, adat budaya, status, jenis kelamin, agama dan golongan. Dalam UU KPA No. 23 Tahun 2002 pasal 13 dan 17, bahwa perlindungan anak dari diskriminasi adalah hak yang dilindungi hukum dan bagi yang melanggar hak tersebut akan dipidana, khususnya dalam bidang pengasuhan anak.
2.      The Best of Interest of Child
Prinsip dasar yang kedua dimaksudkan bahwa asas kepentingan terbaik bagi anak adalah harus dijadikan pertimbangan utama. Hal ini termaktub dalam pasal 3 ayat 1 KHA. Konsekwensinya adalah apapun bentuk tindakan, perbuatan yang menyangkut anak harus dilakukan oleh kita sebagai warga Negara Indonesia termasuk badan eksekutif, yudikatif maupun legislative.

3.      Survival and Development of Child
Prinsip dasar ketiga adalah hak asasi untuk hidup, kelangsungan hidup dan hak untuk berkembang bagi anak. Dalam CRC atau dalam KHA ditegaskan adanya jaminan bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Setiap anak memiliki hak kehidupan yang melekat (inherent right of life) yang secara maksimal akan dijamin. Hak asasi mendasar inilah hak untuk hidup dan kelangsungan hidup; yaitu hak akan identitas dan kewarganegaraan (KHA pasal 7). Pemberian hak identitas di negeri kita dikenal dengan akte kelahiran. Akte kelahiran menjadi bukti otentik yang memiliki kekuatan hukum atas jati diri seseorang.

























BAB III
PEMBAHASAN

A.    Hak Pekerja Anak Sebagai Anak
Dalam hubungannya dengan pihak lain (orang tua maupun pemerintah) anak-anak seringkali ditempatkan didalam posisi yang subordinat, sebagai suatu makhluk yang di pandang belum mempunyai kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, anak-anak harus selalu dilindungi dan diarahkan serta dibimbing sehingga mereka dapat tumbuh secara wajar. Kondisi seperti ini meskipun tidak dapat diabaikan seringkali mendatangkan kebaikan-kebaikan tertentu di dalam perkembangan anak. Namun dapat juga memposisikan anak rentan tehadap pelanggaran haknya. Hal ini di dukung dengan adanya patrenalistik yang seolah-olah anak hanya mempunyai kewajiban saja tanpa mempunyai hak. Apabila sedang berhadapan dengan orang tua atau pemerintah, maka hanya memandang merekalah yang tahu apa yang terbaik bagi anak-anaknya.
Masa anak-anak merupakan hadiah terbaik bagi anak-anak. Masa dimana mereka dapat bermain dan bercanda secara bebas dan berkesempatan untuk belajar semaksimal mungkin. Dalam konteks perkembangan anak, terlibat dalam suatu permainan bukanlah sekedar bermain, justru dengan bermain itulah sebenarnya anak belajar untuk menjadi pintar dalam berbagai macam hal. Selama ini seringkali diyakini bahwa masa anak-anak adalah masa untuk pematangan fisik, kecerdasan, emosional, sosial dan pematangan susila. Waktu mereka seharusya dilewatkan dengan kegembiraan dan permainan, belajar dan tumbuh sehat. Hidup mereka harus memperluas wawasan dan menerima pengalaman baru. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Menurut para psikolog, sekitar 20% dari perkembangan kognitif anak diukur dengan tingkat kecerdasan mereka berkembang pada usia 1 tahun, 50% pada usia 4 tahun, 80% pada usi 8 tahun, 92%pada usia 13 tahun. Dengan demikian, lingkungan awal termasuk sekolah, mempunyai peran yang lebih penting bagi perkembangan mental anak daripada lingkungan akhir dlam proses perkembangan. Hal iniah yang sepertinya dicoba untuk direalisir melalui UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang tersebut berusaha memberikan jaminan atau hak terhadap anak, yang meliputi:
1.      Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam kelarganya maupun didalam asuhan, khususnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
2.      Anak berhak atas pelayanan untuk mengebangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dn kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
3.      Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4.      Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Pemberian jaminan dan hak-hak diatas adalah dalam rangka perwujudan kesejahteraan anak. Pihak yang pertama kali mempunyai tanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial adalah orang tua (Pasal 9 UU Kesejahteraan Anak).
Pengakuan dan perlindungn hak-hak anak bertujuan agar mereka daat tumbuh dan berkembang secara wajar sebagai anak, serta menghindari sejauh mungkin anak-anak dari berbagai ancaman dan gangguan. Meskipun undang-undang tersebut bermaksud untuk menjamin, memelihara dan mengamankan kepentingan anak secara wajar, namun sepertinya belumlah mengakui eksistensi pekerja anak, sebagai suatu kelompok anak-anak yang sebenarnya mengalami hambatan.

B.     Hak Anak Untuk Bekerja Menurut Pandangan Hak Asasi Manusia
Di indonesia, perhatian dari berbagai pihak terhadap pekerja anak, memperlihatkan tendensi yang semakin meningkat. Hal ini antara lain nampak dengan diratifikasinya konvensi hak-hak anak pada tahun 1990 melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, ikut sertanya indonesia dalam konferensi ILO tentang pekerja anak yang menghsilkan konvensi No. 138 Tahun 1973, dan dengan diundangkannya bebagai macam peraturan perundang-undangan yang bermaksud memberikan perlindungn terhadap anak-anak yang terpaksa bekerja.
Hanya saja hal tersebut seringkali mengabaikan satu pertanyaan awal yang sehausnya terlontar, yaitu apakah anak memang mempunyai hak untuk bekerja? Menurut UU No. 12 Tahun 1948 disebutkan, bahwa pemerintah melarang secara mutlak tanpa pengecualian apapun bagi anak-anak untuk bekerja. Akan tetapi, meskipun telah diperkuat dengan sanksi-sanksi pidana, adanya larangan tersebut tidaklah dapat berlaku secara efektif. Pada tataran normatif, ketidakefektifan tersebut ialah disebabkan sikap ambivalen atau tidak serius dari pemerintah sendiri. Sikap ini tercermin dalam aspek penegakan hukumnya. Ketentuan diatas dimaksudkan akan diberlakukan secara bertahap dengan peraturan pemerintah. Peraturan tersebut adalah Ordonansi tahun 1925 tentang Maatregelen ter Beperking van de Kinderbeid en de Nachtarbeid van de Vrowen (Peraturan Tentang Pembatasan Pekerjaan Anak dan Pekerja Wanita pada Malam Hari), sebagaimana tercantum didalam staatblaad Tahun 1925 Nomor 647 dan Ordonansi Tahun 1926 tentang peraturan pekerjaan anak dan orang muda di kapal (tercantum dalam Staatblaad Tahun 1926 Nomor 87).
Pada tataran sosiologis empiris, di sebagian masyarakat sendiri, munculnya pekerja anak seringkali tidak menimbulkan reaksi sosial yang negatif. Hal ini disebabkan karena adanya suatu aksiom kutural yang memandang bahwa memperkerjakan anak pada usia dini bukanlah ssemata-mata bentuk eksploitasi terhadap anak, akan tetapi justru merupakan suatu rangkaian proses yang memang harus dilalui oleh seorang anak untuk belajar bertanggung jawab, menimba pengalaman sebagai persiapan mereka, agar mempunyai bekal untuk kehiduannya kelak.
Munculnya pekerja anak disebabkan karena adaya tekaan ekonomi yang memeksa mereka untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan ekonomi. Sebagian orang tua mengirimkan anaknya untuk bekerja, dalam kenyataannya mereka tidak menghendaki anak mereka untuk bekerja dalam usia dini. Keikutsertaan anak dalam pendidikan merupakan hal yang relatif lebih penting dan sebagai hal yang penting untuk hidup yang lebih baik bagi anak-anak mereka daripada bekerja.
Dapat diketahui bahwa yang menyebabkan munculnya pekerja anak adalah kebutuhan akan pekerja anak yang bagi para pengusaha dipandang mempunyai produktifitas tinggi dan upah rendah serta mudah diatur pekerjaan-pekerjaan yang didominasi oleh pekerja dewasa, merupakan daya tarik yang luar biasa bagi anak untuk terjun kedalam pasaran tenaga kerja.
Kondisi empiris tersebut mendorong pemerintah untuk lebih bersikap tidak konsisten dalam melarang anak unuk bekerja. Sikap ini terlefleksi di Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-C1/MEN/1987 tentang Perlindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja, yang tidak lagi melarang secara absolut bagi anak-anak untuk bekerja, akan tetapi hanya melakukan pembatasan-pembatasan dalam keadaan apa dan untuk pekerjaan apa saja anak-anak itu dilarang bekerja. Pemikiran yang demikian pulalah yang kemudian tercermin di dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Dengan adanya prinsip survival, anak-anak yang dalam keadaan sulit harus memperoleh bantuan terbaik untuk dapat melangsungkan hidup mereka. Meskipun demikian, hak anak dalam mencari nafkah untuk hidupnya sendiri maupun untuk keluarganya dapat dijadikan alasan yang kuat untuk mempertanyakan berbagai kebijakan penghapusan pekerja anak, karena tidak semua pemerintah mampu memberikan bantuan kepada semua keluarga yang mengalami kesulitan.

C.    Contoh Kasus
PRT ABG Disiksa Majikan Sabtu, 25 Februari 2006
Bogor, Warta Kota
Seorang pembantu rumah tangga (PRT), Ratna Maryati (13), melarikan diri dari rumah majikannya di Kampung Ciheuleut RT 06/08, Baranangsiang, Bogor Timur, setelah disiksa di kamar mandi. Anak baru gede (ABG) itu kemudian diselamatkan para tetangga, sedangkan majikannya, Rosyati alias Iyet ditangkap polisi, Jumat (24/2). Penyiksaan yang dilakukan Iyet terhadap Ratna, kemarin, adalah untuk kesekian kalinya. Selama 7 bulan bekerja, sudah tak terhitung lagi siksaan yang diterima Ratna. Perempuan bertubuh mungil itu pernah dipukuli dengan wajan, dihajar dengan gayung, hingga disundut rokok.
Penyiksaan terakhir terjadi kemarin. Ketika itu, ada seseorang yang ingin membeli es batu, lalu dia mengambilkannya di lemari es. Karena kesulitan mengambil, Ratna berupaya dengan mencongkelnya menggunakan obeng. Ternyata upaya itu mengakibatkan goresan di bagian pendingin lemari es. Mengetahui hal itu, Iyet murka. Saat itu juga sang majikan menyeret Ratna ke kamar mandi. Di sana ia menghantam kepala Ratna dengan gayung berkali-kali. Belum puas melampiaskan emosinya, Iyet lalu menyiram tubuh gadis ABG tersebut dengan air bak mandi. Tak hanya itu. Ratna juga didorong hingga jatuh terlungkup di kloset duduk. Tanpa ampun, kepala Ratna dibenamkan ke lubang kloset sambil dipukuli tubuhnya.
Setelah puas, Iyet meninggalkan Ratna di kamar mandi. Ia membiarkan pembantunya menangis meraung-meraung sambil menahan sakit. Saat sang majikan naik ke lantai dua rumahnya, Ratna pun kabur dan melaporkannya ke warga Kampung Ciheuleut.
Warga yang mendengar cerita Ratna menjadi gusar dan berencana untuk mengepung serta merusak rumah Iyet yang juga membuka usaha fotokopi. Tetapi niat itu dibatalkan. Warga lalu menyembunyikan Ratna di sebuah warung sambil membuat strategi untuk menangkap Iyet.
Seorang tetangga Iyet yaitu Suciwati melaporkan peristiwa tragis itu ke Mapolsekta Bogor Timur, Jalan Pajajaran. Tidak lama kemudian polisi datang ke lokasi dan menangkap Iyet. Bersama Ratna, ia dibawa ke Mapolresta Bogor, Jalan Kedunghalang, Bogor Utara[2].
Dari contoh kasus di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa hak pekerja ank dala hal ini telah dilanggar. Meskipun Undang-undang telah mengatur mengenai hak pekerja anak serta hak-hak anak, namun masih saja ada pelanggaran hak asasi manusia di dalamnya.

























BAB IV
PENUTUP
Simpulan

Dalam hubungannya dengan pihak lain (orang tua maupun pemerintah) anak-anak seringkali ditempatkan didalam posisi yang subordinat, sebagai suatu makhluk yang di pandang belum mempunyai kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, anak-anak harus selalu dilindungi dan diarahkan serta dibimbing sehingga mereka dapat tumbuh secara wajar. Kondisi seperti ini meskipun tidak dapat diabaikan seringkali mendatangkan kebaikan-kebaikan tertentu di dalam perkembangan anak. Namun dapat juga memposisikan anak rentan tehadap pelanggaran haknya. Hal ini di dukung dengan adanya patrenalistik yang seolah-olah anak hanya mempunyai kewajiban saja tanpa mempunyai hak. Apabila sedang berhadapan dengan orang tua atau pemerintah, maka hanya memandang merekalah yang tahu apa yang terbaik bagi anak-anaknya.
Di indonesia, perhatian dari berbagai pihak terhadap pekerja anak, memperlihatkan tendensi yang semakin meningkat. Hal ini antara lain nampak dengan diratifikasinya konvensi hak-hak anak pada tahun 1990 melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, ikut sertanya indonesia dalam konferensi ILO tentang pekerja anak yang menghsilkan konvensi No. 138 Tahun 1973, dan dengan diundangkannya bebagai macam peraturan perundang-undangan yang bermaksud memberikan perlindungn terhadap anak-anak yang terpaksa bekerja.












DAFTAR PUSTAKA

Muladi, Hak Asasi Manusia-Hkikat, Konsep, dan Implikasinya dalam Persfektif Hukum dan Masyarakat,  PT. Refika Aditama, Bandung, 2009.
Perlindungan-hak-asasi-anak-dalam-perundang-undangan-indonesia-bagian-2-489319.html.
                                                                                                              


[1] Perlindungan-hak-asasi-anak-dalam-perundang-undangan-indonesia-bagian-2-489319.html, di unduh pada 13 Mei 2012, pukul 16.30.

Tidak ada komentar: