Senin, 09 Desember 2013

haptun (pemeriksaan cepat, singkat, biasa)

BAB I
PENDAHULUN

A.    Latar Belakang Masalah
Terjadinya peningkatan peranan pemerintah baik dalam kuantitatif maupun kualitatif merupakan konsekuensi eksistensi sebuah Negara hukum modern. Factor terpenting untuk mendukung efektivitas peranan pemerintah adalah factor control yuridis yang efektif untuk mencegah terjadinya mal administrasi maupun berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Hal tersebut mendasari konsepsi keberadaan PTUN yang merupakan pelembagaan control terhadap tindakan pemerintahan. PTUN diciptakan untuk menyelesaikan sengketa anatara pemerintah dan warga negaranya yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak warga negaranya.
Dengan demikian fungsi dari PTUN sebenarnya adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah dengan rakyat sebagai akibat dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara
Adapun dalam proses pengajuan gugatan oleh penggugat kepada tergugat melalui PTUN di sini ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan dengan acara biasa, pemeriksaan dengan acara singkat, pemeriksaan dengan acara cepat.

B.     Identifikasi Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat ditarik identifikasi masalah yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan pemeriksaan acara biasa, pemeriksaan acara cepat dan pemeriksaan dengan acara singkat?
2.      Berikan contoh kasusu dan analisisnya!



BAB II
DESKRIPSI MATERI

A.    Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pemeriksaan dengan acara biasa diatur mulai Pasal 108 UU PTUN. Jika tidak terdapat alasan khusus yang memenuhi criteria Pasal 98-99 UU PTUN. Sengketa di PTUN akan diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa. Batas waktu pemeriksaan acara biasa tidak boleh lewat waktu enam bulan sejak tanggal registrasi sengketa tata usaha negara oleh kepaniteraan PTUN.
1.      Perihal ketidakhadiran penggugat dan tergugat di persidangan
Apabila penggugat atau kuasanya tidak hadir pada persidangan pada panggilan kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil secara patut sangsinya adalah:
a.       Gugatan dinyatakan gugur.
b.      Penggugat harus membayar biaya perkara.
Namun hal tersebut tidak memungkinkan penggugat untuk memasukkan gugatannya sekali lagi setelah membayar uang muka biaya perkara. Jika tergugat atau kuasanya tidak hadir dalam persidangan dua kali sidang berturtu-turut atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil secara patut hakim ketua sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir atau menanggapi gugatan. Setelah lewat dua bulan sesudah penetapan itu dikirimkan dengan surat tercatat, tidak diterima berita baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat maka hakim ketua sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan dengan acara pemeriksaan biasa. Putusan terhadap pokok gugatan data dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan menyangkut segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
2.      Pencabutan/perubahan gugatan dan perubahan jawaban
Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai ada tahap replik, asalkan disertai dengan alasan yang cukup, tidak merugikan kepentingan tergugat, hal tersebut harus dipertimbangkan secara seksama oleh hakim. Perubahan yang diperkenankan disini adalah[1]:
a.       Perubahan gugatan hanya dalam arti menambah alasan yang menjadi dasar gugatan sampai dengan tingkat replik.
b.      Penggugat tidak boleh menambah tuntutannya yang akan merugikan penggugat dalam pembelaannya.
c.       Perubahan yang diperkenankan adalah perubahan yang bersifat megurangi tuntutan semula.
Sebaliknya tergugat juga dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya pada tahap duplik dengan syarat disertai alasan yang ckup, tidak merugikan kepentingan penggugat, hal tersebut dipertimbangkan dengan seksama oleh hakim.
3.      Masuknya pihak ketiga dalam pemeriksaan
Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentinga dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan dalam masuk dalam sengketa dan bertindak sebagai:
a.       Pihak yang membela haknya.
b.      Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
Kemungkinan masuknya pihak ketiga dalam sengketa TUN tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Masuknya pihak ketiga pada sengketa yang sedang berjalan dilakukan atas dasar kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh keputusan pengadilan.
b.      Masuknya pihak ketiga dalam sengketa TUN yang sedang berjalan karena permintaan salah satu pihak dengan maksud agar pihak ketiga itu selama peruses bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukumnya dalam sengketa TUN tersebut.
c.       Masuknya pidak ketiga dalam sengketa TUN yang sedang berjalan atau prakarsa hakim yang memeriksa sengketa TUN tersebut.
Permohonan untuk masuknya pihak ketiga tersebut dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang.
4.      Hukum acara PTUN tidak mengenal rekonvensi
Sehubungan dengan gugatan yang diajukan penggugat dalam HAPTUN tidak dikenal adanya rekonvensi dengan alasan sebagai berikut:[2]
a.       Negara memiliki exorbitante rechten (hak istimewa) sedangkan penggugat tidak.
b.      Negara memiliki paksaan secara fisik sedangkan peggugat tidak.
c.       Perkara administrasi Negara pada hakikatnya tidak menunda kegiatan pelaksanaan administrasi Negara yang tindakannya dipersoalkan.
d.      Tidak adanya sita jaminan dan pelaksanaan yang dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun masih ada upaya hukum lain.
Sengan demikian, jawaban tergugat sifatnya hanya untuk menggapai dalil-dalil gugatan penggugat, tidak diperkenankan melakukan rekonvensi.
5.      Eksepsi
Eksepsi tentang kewenangan absolute pengadilan dapat dianjukan setiap waktu selama pemeriksaan. Eksepsi tentang kewenangan relative pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. Eksepsi yang dapat dilakukan dalam sengketa TUN oleh tergugat ada dua kelompok yaitu:[3]
a.       Eksepsi prosesual ialah eksepsi yang didasarkan atas hukum acara.
b.      Eksepsi yang didasarkan atas hukum materil.


6.      Pemeriksaan sengketa
Dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat jawaban oleh hakim ketua sidang. Demi kelancaran pemeriksaan hakim ketua sidang berhak memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum yang dapat digunakan oleh mereka. Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu hari sidanga, pemeriksaan dilanjutkan pada hari sidang berikutnya. Apabila selama sengketa pemeriksaan ada tindakan yang harus dilakukan dan memerlukan  biaya, biaya tersebut harus dibayar terlebih dahulu oleh pihak yang mengajukan permohonan untuk dilakukkanya tindakan tersebut.
7.      Pembuktian
Pembuktian merupakan tahapan yang sangat menentukan putusan dalam proses peradilan. Hukum pembuktia mengenal beberapa teori system pembuktian yaitu:[4]
a.       Conviction-in time yaitu menentukan sah atau tidaknya KTUN semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim.
b.      Conviction raisonee yaitu keyakinan hakim dibatasi dan harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas.
c.       Pembuktian menurut Undang-undang secara positif.
d.      Pembuktian menurut Undang-undang secara negative.
8.      Kesimpulan para pihak
Jika pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing. Suatu kesimpulan biasanya berisi hal seperti kesimpulan jawab-menjawab, kesimpulan dan bukti-bukti tertulis, kesimpulan dan saksi, dan lain-lain.
9.      Asas keaktifan hakim
Eksistensi TUN merupakan syarat mutlak dalam konsep Negara hukum karena menjadi indicator kualitas demokrasi dalam pembagian kekuasaan Negara. Salah satu asas yang problematic dalam system PTUN adalah asas keaktifan hakim. Dalam implementasinya ternyata justru seringkali dalam pembuktian beban pembuktian lebih cenderung dibebankan kepada penggugat dalam hal dalil-dalil gugatan disangkal oleh tergugat.
Visi asas keaktifan hakim untuk menempatkan hukum acara pembuktian dalam keseimbangan kedudukan antara para pihak menjadi gagak manakala asas keaktifan hakim ini tidak di implementasikan secara konsisten. Asas keaktifan hakim seharusnya merupakan instrument vital dalam pelaksanaan fungsi PTUN untuk menjangkau aspek kebenaran materiil substani keputusan TUN baik dari sisi produserial maupun kewenangan.

B.     Pemeriksaan Dengan Acara Cepat Dan Acara Singkat
1.      Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU PTUN. Apabila terdapat kepentingan penggugat yang mendesak maka penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. Prosedur pemeriksaan cepat dalam peradilan TUN yaitu:
a.       Ketua pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan tersebut, mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
b.      Dalam hal permohonan tersebut dikabulkan ketua pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan tersebut menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui proses peeriksaan persiapan.
c.       Terhadap penetapan perihal dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pemeriksaan dengan acar cepat dilakukan oleh hakim tunggal. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak ditentukan tidak melebihi 14 hari.
2.      Pemeriksaan Dengan Acara Singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat adalah prosedur acara yang dipergunakan untuk memeriksa perlawanan dari penggugat terhadap penetapan ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan. Acara singkat ini digunakan untuk pemeriksaan perlawanan dan pemutusan terhadap upaya perlawanan. Jika perlawanan dibenarkan oleh pengadilan maka penetapan yang mendismis gugatan penggugat gugur demi hukum.
























BAB III
PEMBAHASAN

A.    Pemeriksaan Acara Biasa, Pemeriksaan Acara Cepat Dan Pemeriksaan Dengan Acara Singkat
1.      Pemeriksaan Acara Biasa
Apabila gugatan telah dip roses melalui 3 tahap pemeriksaan pra-persidangan di atas dan ditetapkan dapat diperiksa dengan acara biasa, barulah gugatan akan diperiksa melalui persidangan dengan acara biasa. Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa tata usaha Negara dengan 3 orang hakim. Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan. Panggilan terhadap para pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirmkan dengan surat tercatat. Jika salah satu pihak berkedudukan atau berada diluar wilayah Republik Indonesia, ketua pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri RI.
a.       Pengajuan Gugatan
Ketika Pasal 53 ayat (1) belum diadakan perubahan dengan UU No. 9 Tahun 2004, dengan SEMA Nomor 2 Tahun 1991 telah diberikan petunjuk lebih lanjut bahwa gugatan dapat juga diajukan melalui pos[5].  Dengan demikian pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut[6]:
1)      Gugatan diajukan langsung oleh penggugat
Gugatan yang diajukan langsung oleh penggugat diterima oleh panitera, tetapi tidak langsung dimasukkan ke dalam daftar perkara sebelum penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh Panitera yaitu sekurang-kurangnya sebesar Rp 50.00,00.
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan uang muka biaya perkara adalah biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai uang panjar oleh pihak penggugat terhadap perkiraan biaya yang diperlukan dalam proses berperkara seperti biaya kepaniteraan, biaya materai, biaya sanksi, biaya ahli, biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan ditempat lain dari ruang siding, dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutuan sengketa atas perintah hakim.
Setelah uang muka biaya perkara dibayar, gugatan dimasukkan dalam daftar perkara untuk mendapatkan nomor perkara dan gugatan baru diproses untuk selanjutnya[7].
Jadi, dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara melalui gugatan pembayaran uang muka biaya perkara sifatnya adalah imperative. Tanpa adanya pembayaran uang muka biaya perkara, gugatan tidak akan diproses lebih lanjut.
2)      Gugatan diajukan melalui pos oleh penggugat
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991 ditentukan bahwa dalam hal gugatan diajukan melalui pos, panitera harus memberitahu tentang pembayaran uang muka biaya perkara kepada penggugat dengan diberi waktu paling lama 6 bulan bagi penggugat itu untuk memenuhinya dan kemudian diterima di Kepaniteraan terhitung sejak tanggal dikirimnya surat pemberitahuan tersebut.
Setelah lewat tenggang waktu enam bulan tersebut dan uang muka biaya perkara belum diterima dikeaniteraan, maka gugatan tidak akan didaftar. Gugatan yang dikirim melali pos yang belum dipenuhi pembayaran uang muka biaya perkara tersebut, dianggap sebagai surat biasa, akan tetapi kalau sudha jelas merupakan suatu surat gugat, maka haruslah tetap disimpan di Panitera Muda Bidang Perkara dan harus dicatat dalam Buku Pembantu Register dengan mendasarkan pada tangga diterimanya gugatan tersebut, agar dengan demikian ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55 tidak terlampaui.
Dengan demikian gugatan yang diajukan penggugat melalui pos baru akan diperoses lebih lanjut jika telah dibayar uang muka biaya perkara yang ditafsir oleh panitera.
Apabila penggugat tidak mampu membayar uang muka biaya perkara maka sesuai dengan Pasal 60 ayat (1) menentukan bahwa penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa secara Cuma-Cuma. Permhonn untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma oleh penggugat diajukan bersama-sama engan surat gugatan kepada Ketua Pengadilan dengan dilampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa atau Lurah di tempat kediaman penggugat. Permohonan ini tidak ada upaya hukum yang dapat diambil atau dipergunakan.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Pengadilan yang Berwenang dalam perumusan Pasal 53 ayat (1) tersebut, disamping harus memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang kompetensi relative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, juga harus memperhatikan ketentuan tentang sengketa Tata Usaha Negara yang harus diselesaikan melalui upaya administrative yang tersedia.
b.      Penelitian Administrative
Ketentuan mengenai penelitian administrative secara tegas tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Oleh Mahkamah Agung telah diberi petunjuk mengenai yang mempunyai wewenang untuk melakukan penelitian administrative adalah panitera, wakil panitera, dan panitera muda perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan. Adapun yang menajadi odjek dari penelitian administrative hanya segi formalnya saja, missal segi formal dari surat kuasa apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 56, tetapi tidak sampai menyangkut segi materiil dari gugatan.
Dalam tahap penelitian administrative ini panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya dan dapat meminta kepada penggugat untuk memperbaiki yang dipandang perlu.  Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara dengan dalil apapun juga yang berkaitan dengan masalah gugatan. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya, maka setelah perkara dimasukkan dalam daftar perkara dn memperoleh nomor perkara oleh staf Kepaniteraan dibuatkan resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukn kepada Ketua Pengadiln dengan bentuk formal dan isinya pada pokoknya adalah sebagai berikut[8]:
1)      Siapa subjek gugatan dan apakah penggugat maju sendiri ataukah diwakili oleh kuasa;
2)      Apa yang menjadi objek gugatan dan apakah objek gugatan tersebut termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi unsure-unsur Pasal 1 butir 3;
3)      Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan dan apakah alas an tersebut memenuhi unsure Pasal 53 ayat (2) butir a dan b;
4)      Apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan yaitu hanya pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara saja, ataukah ditambah pula dengan tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi.
c.       Rapat Permusyawaratan
Setelah surat gugatan dan resume gugatan diterima oleh ketua pengadilan dari panitera, maka oleh ketua pengadilan surat gugatan tersebut diperiksa dalam rapat permusyawaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1): “dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan berwenang untuk menentukan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal:
1)      Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;
2)      Syarta-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
3)      Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan yang layak;
4)      Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara;
5)      Gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Pelaksanaan rapat  permusyawaratan  keputusan TUN menentukan bahwa pemeriksaan dismissal dilakukan oleh ketua pengadilan dan ketua dapat menunjuk seorang hakim sebgai Raportir. Pemeriksaan dalam rapat permusywaratan hanya terpusat pada apakah gugatan memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan yang disebut dalam Pasal 62 ayat (1). Apabila dipandang perlu, pada waktu dilakukan pemeriksaan dalam rapat permusyawaratan, ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dismissal. Jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua pengadilan tersebut menunjukkan bahwa gugatan tidak memenuhi satu atau beberapa atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan yang menunjuk hakim untuk memeriksa gugatan dengan acara biasa.
d.      Pemeriksaan Persiapan
Sesuai dengan Pasal 63 ayat (1) sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimuka umum dimulai, Majelis Hakim yang telah ditetapkan oelh Ketua Pengadilan wajib mengadakan oemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas atau untuk mematangkan perkara. Pemeriksaan persiapan ini dapat pula dilakukan oleh Hakim anggota yang ditunjuk oleh Ketua Majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Ketua Majelis. Oleh karena pemeriksaan persiapan dilakukan sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, maka pemeriksaan persiapan dapat dilakukan di ruangan musyawarah dalam siding tertutup untuk umum.
Dalam pemeriksaan persiapan, memanggil penggugat untuk menyempurnakan gugatanya atau tergugat untuk dimintai keterangan tentang keputusan yang digugat tidak selalu harus didengar dengan terpisah. Setelah hakim merasa bahwa gugatan sudah lengkap dan sudah pula memperoleh kejelasan tentang duduk perkaranya maka hakim baru akan menentukan hari siding untuk memeriksa gugatan di muka umum.

2.      Acara Pemeriksaan Singkat
Sebagaimana dalam acara pemeriksaan biasa, jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan menunjukkan bahwa gugatan tidak memenuhi semua ketentuan dari Pasal 62 ayat (1) maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan yang menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa gugatan dengan acara biasa. Sebaliknya jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua pengadilan tersebut menunjukkan bahwa gugatan memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan maka dengan menunjuk pada ketentuan yang terapat dalam Pasal 62 ayat (1) ketua pengadilan lalu mengeluarkan penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar yang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dan Panitera Kepala. Sebagaimana menurut Martiman Prodjohamidjojo yaitu:[9]
a.       Jika pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
b.      Jika syarat dalam Pasal 56 ayat (1) tidak dipenuhi oleh penggugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima dan jika syarat materiilnya tidak dipenuhi maka gugatan dinyatakan tidak berdasar.
c.       Jika gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak maka gugatan dinyatakan tidak berdasar.
d.      Jika apa yang dituntut sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
e.       Jika gugatan yang diajukan sebelumnya waktunya atau lewat waktu, maka gugatan dunyatakan tidak dapat diterima.
Penetapan tersebut bisa dikenal dengan penetapan dismissal disamping merupakan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar. Terhadap penetapan dismissal tersebut penggugat dapat mengajukan upaya hukum berupa perlawanan ke pengadilan dalam tenggang waktu 14 hari setelah penetapan dismissal diucapkan. Dengan demikian penggugat yang mengajukan perlawanan sama halnya dengan penggugat ketika mengajukan gugatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada ketentuan yang harus diikuti oleh pengadilan dalam menyelesaikan gugatan perlawanan dengan acara pemeriksaan singkat, kecuali Pasal 62 ayat (6) yang menentukan bahwa terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum. Oleh karena itu, Mahkamah Agung kemudian memberikan beberapa pendapat sebagai berikut:
a.       Yang memeriksa gugatan perlawanan adalah Majelis Hakim.
b.      Pemeriksaan gugatan perlawanan oleh Majelis Hakim tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan persiapan.
c.       Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara tertutup, akan tetapi putusannya harus diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum.
d.      Dalam memeriksa gugatan perlawanan setidak-tidaknya baik penggugat atau tergugat didengar dalam persidangan tanpa memeriksa pokok gugatan seperti memeriksa bukti-bukti, saksi ahli, dan sebagainya.
e.       Terhadap putusan gugatan perlawanan tidak tersedia upaya hukum apapun baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
f.       Dalam hal pihak pelawan mengajukan permohonan banding atau upaya hukum lainnya maka panitera berkewajiban membuat akta penolakan banding.
Jika setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata perlawanan yang diajukan oleh penggugat tersebut dibenarkan oleh hakim, maka hakim menjatuhkan putusan bahwa perlawanan diterima atau berdasar. Sebaliknya jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata perlawanan yang diajukan oleh penggugat tersebut tidak dibenarkan oleh hakim , maka hakim menjatuhkan putusan bahwa perlawanan tidak diterima atau ditolak. Penetapan dismissal yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut dengan sendirinya berlaku pula untuk pokok sengketa Tata Usaha Negara yang disebutkan dalam gugatan. Walaupun adanya penetapan dismissal yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap penggugat masih dapat mengajukan gugatan lagi dengan syarat dasar gugatannya baru yang berbeda dengan dasar gugatan pada gugatan yang telah mendapatkan penetapan dismissal tersebut.

3.      Acara Pemeriksaan Cepat
Cara pemeriksaan dengan acara cepat yaitu sebagai berikut:
a.       Pengajuan Gugatan
Pengajuan gugatan dalam pemeriksaan dengan acara cepat adalah sama dengan pengajuan gugatan dalam pemeriksaan dengan acara biasa dengan perbedaan bahwa dalam gugatan yang diajukan oleh penggugat disebutkan adanya alasan-alasan agar pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara dipercepat yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1). Dalam Pasal tersebut diatas dapat diketahui bahwa agar dapat dilakukan pemeriksaan dengan acara cepat, pengajuan gugatan harus memenuhi syarat-syarat:
1)      Dalam surat gugat harus sudah dimuat atau disebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar dari penggugat untuk mengajukan permohonan agar pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara.
2)      Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh penggugat tersebut dapat ditarik kesimpulan adanya kepentingan dari penggugat yang cukup mendesak bahwa pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara tersebut memang perlu dipercepat.
Perlu diketahui bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh penggugat tersebut tidak hanya sekedar kepentingan dari penggugat bahwa pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan perlu dipercepat, tetapi kepentingan dari penggugat yang dimaksud harus merupakan kepentingan yang cukup mendesak. Kepentingan penggugat  dianggap cukup mendesak apabila kepentingan itu menyangkut keputusan Tata Usaha Negara yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat. Kepentingan penggugat yang cukup mendesak mempunyai sifat kasuistis sehingga Ketua Pengadila diberikan kebebasan untuk membuat penilaian terhadap alasan-alasan yang diajukan oleh penggugat dalam permohonannya agar sengketa TUN dapat dipercepat pemeriksaannya.
b.      Penelitian Administratif
Seperti halnya pada pemeriksaan dengan acara pemeriksaan biasa, pada pemeriksaan acara cepat juga dilakukan penelitian admiistratif. Penelitian administartif yang dilakukan pada pemeriksaan dengan acara cepat samma dengan penelitian administrative yang dilakukan pada acara pemeriksaan dengan acara biasa.
c.       Rapat Permusyawaratan
Pasal 98 ayat (2) menentukan bahwa Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan supaya pemeriksaan sengketa TUN dipercepat, mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
Ketua Pengadilan adalah yang berwenang untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan supaya pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dipercepat. Selain oleh Ketua pengadiln penetapan tentang permohonan penggugat dipercepat dapat pula dikeluarkan oleh hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan sebelum pokok perkara diperiksa.
Sebelum ketua pengadilan mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan penggugat, ketua pengadilan akan melakukan pemeriksaan dalam rapat permusyawaratan terhadap gugatan yang sudah diadakan penelitian administrative oleh staf kepaniteraan. Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan tersebut dapat berupa:
1)      Permohonan dari penggugat tidak dikabulkan
Jika permohonan dari penggugat tidak dikabulkan ketua pengadilan akan mengeluarkan penetapan bahwa permohonan dari penggugat tersebut ditolak atau tidak dikabulkan. Terhadap penetapan ketua Pengadilan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum.
2)      Permohonan dari penggugat dikabulkan
Jika permohonan dari penggugat dikabulkan, Ketua Pengadilan akan mengeluarkan penetapan berupa permohonan dari penggugat diterima dan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan tersebut ketua pengadilan menetapkan tentang hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan. Dengan penetapan, Ketua Pengadilan menunjuk hakim tunggal untuk melakukan pemeriksaan dengan acara pemeriksaan cepat (Pasal 99 ayat (1)).

B.     Contoh Kasus dan Analisisnya
Masalah Kepegawaian, antara lain: pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1979, hukuman disiplin PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun 1980 (dahulu), sedangkan untuk saat ini masalah hukuman disiplin PNS akan mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 yang telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, mutasi PNS yang dilatarbelakangi ketidakharmonisan hubungan antara atasan-bawahan, pengisian jabatan struktural, pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS , penolakan terhadap penyandang cacat untuk mengikuti tes CPNS , masalah poligami PNS atau perceraian PNS dan Pemberhentian PNS karena menjadi anggota/pengurus partai politik.
Untuk masalah pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007, persoalan yang diperiksa di PTUN pada umumnya meliputi 2 (dua) hal yaitu : pertama, sekretaris desa yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PNS tetapi tidak mau menjadi PNS sehingga menggugat SK PNS nya dengan perhitungan secara matematis jika ia tetap sebagai sekretaris desa non PNS maka usia pensiunnya akan lebih lama dan penghasilannya dari bengkok lebih besar dibandingkan dengan PNS golongan II/a. Alasan kedua yaitu sekretaris desa yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi PNS, akan tetapi tidak memperoleh hak berupa tunjangan kompensasi dari Bupati/Walikota yang pada umumnya karena ketiadaan dana didalam APBD. Hal tersebut diakibatkan adanya ketentuan didalam Pasal 10 ayat (2) dan (3) PP Nomor 45 Tahun 2007 yang pada pokoknya menyebutkan Sekretaris Desa yang tidak diangkat menjadi PNS diberikan tunjangan kompensasi yang dihitung berdasarkan masa kerja selama yang bersangkutan menjadi sekeretaris desa sebagai berikut :
1.      Masa kerja 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
2.      Masa kerja lebih dari 5 (lima) tahun dihitung sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per tahun dengan ketentuan secara komulatif paling tinggi sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah);
Terhadap PNS yang diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat tersebut tetap diberikan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai berikut:
1.      Bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, berhak menerima pensiun, tunjangan hari tua dan tabungan perumahan dari Bapertarum.
2.      Bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat tanpa hak pensiun dan PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat berhak menerima pengembalian nilai tunai iuran pensiun, tunjangan hari tua dan tabungan perumahan dari Bapertarum.
Dahulu, terhadap masalah pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sering terjadi salah persepsi oleh Pegawai yang bersangkutan ataupun kuasanya dengan mengira pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagai bentuk jenis hukuman disiplin berat berdasarkan Pasal 6 ayat (4) huruf c dan d Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil sehingga ada upaya banding administrasi yang berpuncak pada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK).
Sedangkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tidak ada upaya banding administrasi sehingga upaya hukum yang dapat digunakan adalah langsung mengajukan gugatan di PTUN.
Hal tersebut dapat diketahui dari kewenangan BAPEK sebagaimana disebutkan didalam  Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 1980 tentang Badan Pertimbangan Kepegawaian yaitu :
1.      Memeriksa dan mengambil keputusan mengenai keberatan yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina, golongan ruang IV/a ke bawah tentang hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, sepanjang mengenai hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
2.      Memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai usul penjatuhan hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b keatas serta pembebasan dari jabatan bagi Pejabat Eselon I, yang diajukan oleh Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negera dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Saat ini dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan PP Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan kepegawaian, maka tugas BAPEK saat ini adalah sebagaimana Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 2011 yaitu :
1.      Memberikan pertimbangan kepada Presiden atas usul penjatuhan hukuman disiplin berupa pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS, bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I dan pejabat lain yang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh Presiden;
2.      Memeriksa dan mengambil keputusan atas banding administratif dari PNS yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS oleh pejabat pembina kepegawaian dan/atau gubernur selaku wakil pemerintah.










BAB IV
KESIMPULAN

Pemeriksaan Acara Biasa apabila gugatan telah dip roses melalui 3 tahap pemeriksaan pra-persidangan di atas dan ditetapkan dapat diperiksa dengan acara biasa, barulah gugatan akan diperiksa melalui persidangan dengan acara biasa. Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa tata usaha Negara dengan 3 orang hakim. Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan. Panggilan terhadap para pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirmkan dengan surat tercatat. Jika salah satu pihak berkedudukan atau berada diluar wilayah Republik Indonesia, ketua pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri RI.
Pemeriksaan Dengan Acara Singkat pemeriksaan dengan acara singkat adalah prosedur acara yang dipergunakan untuk memeriksa perlawanan dari penggugat terhadap penetapan ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan. Acara singkat ini digunakan untuk pemeriksaan perlawanan dan pemutusan terhadap upaya perlawanan. Jika perlawanan dibenarkan oleh pengadilan maka penetapan yang mendismis gugatan penggugat gugur demi hukum.
Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU PTUN. Apabila terdapat kepentingan penggugat yang mendesak maka penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.




DAFTAR PUSTAKA

Bahan Buku:
Harahap, 2000.
Lihat butir 1 angka 7 huruf b pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991.
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acar Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan II, 1996.
Prodjohamidjojo, 1993.
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Djaya Jogjakarta, Yogyakarta, 1996.
Zairi Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,  PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.

Bahan Internet:
http://contohkasusPTUN.html.
http://pemeriksaancepat.html.







[1] W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Djaya Jogjakarta, Yogyakarta, 1996. Hlm. 103.
[2] Prodjohamidjojo, 1993. Hlm. 67.
[3] Prodjohamidjojo, 1993. Hlm. 69-70.
[4] Harahap, 2000. Hlm. 256-258.
[5] Lihat butir 1 angka 7 huruf b pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991.
[6] R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hlm. 145.
[7] Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) UU PTUN.
[8] R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hlm. 148.
[9] Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acar Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan II, 1996, hlm. 56. 

Tidak ada komentar: