BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqoda artinya
mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat.
Dikatakan ikatan (al-robath) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua
ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya, hingga
keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat
pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya.
Menurut Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat Fathurrahman Djamil,
istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam
KUH Perdata.
Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan, perjanjian
dan permufakatan (ittifaq). Dalam kaitan ini peranan Ijab (pernyataan
melakukan ikatan) dan Qobul (pernyataan menerima ikatan)
sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai
dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang
disepakati tersebut.
Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad merupakan ikatan
secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama
berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam
hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam
suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
B.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
memenuhi tugas dalam mata kuliah Hukum bank.
2.
Ingin
mengetahui lebih dalam mengenai Akad dalam perbankan sayari’ah.
3.
Agar
menjadi bahan latihan dalam pembuatan makalah supaya lebih baik lagi dalam membuat
makalah.
C.
Kegunaan Penulisan
1.
Untuk
memperdalam pemahaman mengenai Akad dalam perbankan syari’ah.
2.
Untuk
menambah khazanah dalam ilmu Hukum perbankan syari’ah.
D.
Identifikasi masalah
1.
Apakah pengertian dari akad...?
2.
Apa saja asas-asas dalam akad perbankan syari’ah...?
3.
Bagaimana kah rukun akad perbankan syari’ah...?
4.
Apa saja jenis-jenis akad dalam perbankan syari’ah...?
5.
Apa saja yang membatalkan akad...?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Akad
Menurut Fiqh Islam akad berarti
perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq).Dalam kaitan ini
peranan Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qobul (pernyataan
menerima ikatan) sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan
qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari
akad yang disepakati tersebut.
Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad merupakan ikatan
secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama
berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam
hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam
suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
Kontrak
atau Akad dalam bahasa arab adalah ‘uqud jamak dari ‘aqd, yang secara bahasa
artinya, mengikat,bergabung, mengunci, menahan, atau dengan kata lain membuat
suatu perjanjian. Di dalam Hukum Islam, aqd artinya: “Gabungan atau penyatuan dari
penawaran (Ijab) dan penerimaan (qabul)” yang sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama,
sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang
disebutkan oleh pihak pertama.
Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat
pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya.
Menurut Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat Fathurrahman Djamil,
istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam
KUH Perdata.
Menurut
pengertian umum, akad adalah segala sesuatu yang di laksanakan dengan perikatan
antar dua pihak atau lebih melalui proses ijab qabul yang di dasarkan pada
ketentuan hukum islam yang memiliki akibat hukum kepada para pihak dan objek
yang di perjanjikan.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengertian akad
Kontrak
atau Akad dalam bahasa arab adalah ‘uqud jamak dari ‘aqd, yang secara bahasa
artinya, mengikat,bergabung, mengunci, menahan, atau dengan kata lain membuat
suatu perjanjian. Di dalam Hukum Islam, aqd artinya: “Gabungan atau penyatuan dari
penawaran (Ijab) dan penerimaan (qabul)” yang sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama,
sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang
disebutkan oleh pihak pertama.[1]
Dalam
bank sayariah akad yang di lakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi
karena dilakukan berdasarkan hukum islam. Produk apa pun yang di hasilkan oleh
perbankan, termasuk di dalamnya perbankan syariah, tidak akan lepas dari proses
transaksi yang dalam fiqh muamalah nya di sebut dengan aqad kata jamaknya al-uqud.
2. Asas-asas
Ada
beberapa asas al-uqud yang harus di lindungi dan di jamin dalam wadah
undang-undang perbankan syariah.[2]
Asas-asas yang di maksudkan adalah :
a. Asas ridha’iyyah
( rela sama rela )
Yang dimaksud asas ridha’iyyah adalah bahwa transaksi ekonomi islam dalam bentuk apa
pun yang di lakukan perbankan dengan pihak lain terutama nasabah harus di
dasarkan atas prinsip rela sama rela yang hakiki. Asas ini di dasarkan pada
sejumlah al-qur’an dan al-hadist, terutama surat an-nisa ayat 29. Atas dasar
asas an-taradhin, maka semua bentuk
transaksi yang mengandung unsur paksaan (ikrah
) harus i tolak dan batal demi hukum. Itulah sebabnya mengapa islam
mengharamkan bentuk transaksi ekonomi apa pun yang mengandung unsur kebathilan
(al-bathil ).
b. Asas mafaat
Maksudnya adalah bahwa akad yang di lakukan
oleh bank dengan nasabah berkenaan dengan hal-hal (objek) yang bermanfaat bagi
kedua belah pihak. Itulah sebabnya islam mengharamkan akad berkenaan dengan
hal-hal yang bersifat mudharat/mafsadat.
c. Asas keadilan
Dimana para pihak yang bertransaksi (bank dan
nasabah) harus berlaku dan di perlakukan adil dalam konteks pengertian yang
luas dan konkret. Hal ini di dasarkan pada sejumlah ayat al-qur’an yang
menjunjung tinggi keadilan dan dan anti kedzaliman, termasuk pengertian
kedzaliman dalam bentuk riba seperti tersurat dalam QS. Al-hadid ayat 25.
d. Asas saling menguntungkan
Setiap akad yang di lakukan oleh para pihak
harus bersifat memberi keuntungan bagi mereka. Itulah sebabnya islam pun
mengharamkan transaksi yang mengandung unsur gharar (penipuan), karena hanya
menguntungkan salah satu pihak saja dan merugikan pihak lain.
Selain asas-asas tersebut ada beberapa hal
lain yang harus di perhatikan dalam suatu akad yaitu :[3]
a. Akad yang di lakukan para pihak (bank dan
nasabah) bersifat mengikat (mulzim).
b. Para pihak yang melakukan akad harus memiliki
itikad baik (husnun-niyah). Asas
ini sangat penting di perhatikan dan
akan turut menentukan kelangsungan dari pelaksanaan akad itu sendiri.
c. Memerhatikan ketentuan-ketentuan atau tradisi
ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ekonomi selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip perekonomian yang telah di atur oleh islam, dan tidak
berlawanan dengan asas-asas al-uqud.
d. Pada dasarnya para pihak memiliki kebebasan
untuk menetapkan syarat-syarat yang di tetapkan dalam akad yang mereka lakukan,
sepanjang tidak menyalahi ketentuan yang berlaku umum dan semangat moral
perekonomian dalam islam.
3. Rukun akad
Rukun akad ada tiga, yaitu:
1.Sighah
yaitu
pernyataan ijab dan qabul dari kedua belah pihak, boleh
dengan lafaz atau ucapan, boleh juga dilakukan dengan tulisan, sighah, haruslah selaras
antara ijab dan qabul-nya.
Apabila satu pihak menawarkan (ijab) benda A dengan harga seratus rupiah, pihak
lain haru menerima (qabul) dengan menyebutkan benda A senilai seratus rupiah
pula, bukan benda B yang harganya 150 rupiah.
Dalamsighah kedua belah pihak harus jelas
menyatakan penawarannya dan pihak yang lain harus dengan jelas menerima
tawarannya (transparansi), qabul harus langsung diucapkan setelah ijab
diucapkan, ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa
adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab ditawarkan hari ini dan dijawab
2 hari kemudian itu tidaklah sah, ijab dan qabul juga harus di lakukan di dalam
satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus di dalam
satu majelis yang sama.
2. Aqidan
yaitu
pihak-pihak yang akan melakukan akad, kedua belah pihak yang akan melaksanakan
akad ini harus sudah mencapai usia akil-baligh (sesuai hukum yang berlaku di suatu
negara), harus dalam keadaan waras (tidak gila) atau mempunyai akal yang sehat,
harus dewasa (rushd) dan dapat bertanggung jawab dalam
bertindak, tidak boros, dan dapat dipercaya untuk mengelola masalah keuangan
dengan baik.
3. Mahal
al-aqd atau objek
akad
Yaitu jasa, atau benda-benda yang berharga dan objek
akad tersebut tidak dilarang oleh syariah. Objek akad yang dilarang (haram)
oleh hukum Islam adalah: 1. Alkohol, 2. Darah, 3. Bangkai, 4. Daging babi.
4. Jenis-jenis akad
Dalam kaitannya dengan praktek perbankan
Syari’ah dan ditinjau dari segi maksud dan tujuan dari akad itu sendiri dapat
digolongkan kepada dua jenis yakni Akad Tabarru dan Akad Tijari.
1.
Akad tabarru
Akad Tabarru yaitu akad yang
dimaksudkan untuk menolong sesama dan murni semata-mata mengharap ridha dan
pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari return, ataupun
suatu motif. Yang termasuk katagore akad jenis ini diantaranya adalah Hibah, Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah,
Rahn dan Qirad.
Selain itu menurut penyusun
Eksiklopedi Islam termasuk juga dalam kategori akad Tabarru seperti Wadi’ah, Hadiah, hal ini karena
tiga hal tersebut merupakan bentuk amal perbuatan baik dalam membantu
sesama,oleh karena itu dikatakan bahwa akad Tabarru adalah suatu transaksi yang
tidak berorientasi komersial atau non profit oriented. Transaksi model ini pada
prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersial akan tetapi lebih
menekankan pada semangat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu alal birri
wattaqwa).
Dalam akad ini pihak yang berbuat
kabaikan (dalam hal ini pihak bank) tidak mensyaratkan keuntungan apa-apa.
Namun demikian pihak bank itu dibolehkan meminta biaya administrasi untuk
menutupi (cover the cost) kepada nasabah (counter-part)tetapi tidak
boleh mengambil laba dari akad ini.
2.
Akad tijari
Akad Tijari adalah akad yang berorientasi pada
keuntungan komersial ( for propfit oriented) Dalam akad ini
masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Di
dalam Bank Syari’ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya;
Murabahah, Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya
bittamlik, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.
1. Murobahah (Defered Payment Sale)
Menurut definisi Ulama Fiqh
Murobahah adalah akad jual beli atas barang tertentu. Dalam transasksi
penjualan tersebut penjual menyebutkan secara jelas barang yang akan dibeli
termasuk harga pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil.
Dalam perbankan Islam, Murobahah
merupakan akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang
memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan
keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Selain itu murobahah juga
merupakan jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli dengan nasabah
dengan cara cicilan.
Dalam hal ini bank membiayai
pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang
tersebut dari pemasok kemudian mejualnya kepada nasabah dengan menambahkan
biaya keuntungan (cost-plus profit) dan ini dilakukan melalui
perundingan terlebih dahulu antara bank dengan pihak nasabah yang bersangkutan.
Pemilikan barang akan dialihkan
kepada nasabah secara propisional sesuai dengan cicilan yang sudah dibayar.
Dengan demikian barang yang dibeli berfungsi sebagai agunan sampai seluruh
biaya dilunasi.
2. Mudhorobah
Secara teknis Mudhorobah adalah
akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal)
menyediakan seluruh (100 %) modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudhorobah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak.
Landasan syari’ah antara lain al-Qur’an
surat al-Muzammil ayat 20, Surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqoroh
ayat 198. Dari Al-Hadits riwayat Thabrani dan Ibnu majah serta Ijma para
sahabat.
Secara umum Mudhorobah
terbagi kepada dua jenis, pertama mudharabah muthlaqah dan mudharabah
muqayyadah.
Yang dimaksud mudharabah
muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul mal dengan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan
daerah bisnis.
Sedangkan mudhorobah muqayyadah
adalah kebalikan dari mudhorobah muthlaqoh. Si mudhorib dibatasi dengan batasan
jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini biasanya
mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia
usaha.
3. Ijaroh
Pengertian secara etimologi ijaroh
disebut juga al-ajru (upah) atau al-iwadh (ganti). Ijarah disebut juga sewa,
jasa atau imbalan. Sedangkan menurut Syara’ Ijaroh adalah salah satu bentuk
kegiatan Mu’amalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa
dan mengontrak atau menjual jasa, atau menurut Sayid Sabiq; Ijaroh ini adalah
suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Menurut Ulama Fiqh Imam Hanafi
Ijarah adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Sedangkan
menurut Ulama Syafi’i Ijaroh adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang
dituju, tertentu, bersifat mubah dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan
tertentu. Sementara menurut Ulama Maliki dan Hambali Ijaroh adalah pemilikan
manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Berdasarkan definisi dari para
Ulama Madzhab tersebut, terdapat kesamaan pandangan bahwa adanya unsur penting
dalam pembiayaan Ijarah yakni adanya manfaat pada barang yang
disewakan baik yang bersifat jasa, dan adanya imbalan atas
nilai yang disepakati dalam transaksi tersebut.
4. Ijaroh Muntahiya Bittamlik
Transaksi ini adalah sejenis
perpaduan antara akad (kontrak) jual beli dengan akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan inilah
yang membedakan denga ijarah biasa.
Adapun bentuk akad ini bergantung
pada apa yang disepakati kedua belah pihak yang berkontrak. Misalnya al-ijarah
dan janji menjual; nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-ijarah; harga
barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan itu dipindahkan.
Aplikasinya dalam perbankan
syari’ah dioprasionalisasikan dalam bentuk operasing lease maupun financial
lease. Akan tetapi pada umumnya bank-bank tersebut lebih menggunakan ijarah
muntahiya bittamlik ini karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu
bank pun tidak direpotkan mengurus pemeliharaan aset, baik saat leasing
maupun sesudahnya.
5. Salam, Ba’i (Infron of
Payment Sale).
Salam secara etimologi berarti
salaf (pendahuluan) yang bermakna akad atau penjualan/pembuatan sesuatu yang
disepakati dengan kriteria tertentu dalam tempo (tanggungan), sedang
pembayarannya disegerakan.
Bai’i salam adalah suatu jasa
pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli barang, sedang pembayarannya
dilakukan dimuka bukan berdasarkan fee melainkan berdasarkan keuntungan
(margin). Dengan kata lain ba’i salam adalah suatu jasa free-paid
purchase of goods.
Menurut para Fuqaha menamai Ba’i
Salam dengan Al-Mahawij (barang-barang mendesak). Praktik jual beli ini
dilakukan dengan tanpa ada barangnya di tempat, sementara dua pihak melakukan
jual beli, secara mendesak.
Dasar hukum Ba’i salam ini sama
dengan dasar hukum jual beli yang disyari’atkan dalam al-Qur’an, seperti Firman
Alloh dalam surat al-Baqarah 282 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka
hendaklah kamu menuliskannya”
6. Istishna (Purchase
by order or Manufacture)
Istishna adalah suatu transaksi
jual beli antara mustashni’ (pemesan) dengan shani’i (produsen) dimana barang
yang akan diperjual belikan harus dipesan terlebih dahulu dengan kriteria
yang jelas.
Secara etimologis, istishna itu
adalah minta dibuatkan. Dengan demikian menurut jumhur ulama istishna sama
dengan salam, karena dari objek/barang yang dipesannya harus dibuat terlebih
dahulu dengan ciri-ciri tertentu seperti halnya salam. Bedanya terletak pada
sistem pembayarannya, kalau salam pembayarannya dilakukan sebelum barang
diterima, sedang istishna boleh di awal, di tengah atau diakhir setelah pesanan
diterima.
7. Musyarokah
Musyarokah adalah akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Musyarokah ada dua jenis; pertama
musyarokah pemilikan dan kedua musyarokah akad (kontrak). Musyarokah pemilikan
tercipta karena warisan,wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan
pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini,
kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi
pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
8. Sharf (Valas/Money Changer)
Sarf menurut arti kata adalah
penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli.
Sedangkan menurut istilah adalah suatu akad jual beli mata uang (valuta) dengan
valuta lainnya, baik dengan sesama mata uang yang sejenis atau mata uang
lainnya.
Menurut definisi ulama sarf
adalah memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis,
seperti jual beli dinar dengan dinar, dinar dengan dirham atau dirham dengan
dirham. Transaksi Sarf pada dunia perekonomian dewasa ini banyak dijumpai pada
bank-bank devisa valuta asing atau money changer, misalnya jual beli rupiah
dengan dolar Amerika Serikat (US$) atau mata uang lainnya.
Dasar hukum diperbolehkan jual
beli Sarf menurut interpretasi para ulama adalah sabda Rosululloh SAW yang
diriwayatkan Jamaah Ahli hadits dari Ubadah bin Samit kecuali Bukhari
menyatakan : Yang maksudnya “ .....jual beli emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gadum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur,
(apabila) satu jenis (harus) kuialitas dan kuantitasnya dan dilakukan secara
tunai. Apabila jenisnya berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu dengan
syarat-syarat secara tunai.
8. Muzaro’ah (Harvest Yield Profit Sharing)
Al-Muzaro’ah adalah akad kerja
sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik
lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Muzaro’ah sering diidentikkan
dengan mukhabarah. Dimana antara keduanya ada sedikit perbedaan antara lain,
apabila benih dari pemilik lahan maka dinamakan muzara’ah, tetapi bila benih
dari si penggarap maka dinamakan mukhobaroh.
Landasan hukum syari’ahnya antara
lain Al-Hadits riwayat dari Ibnu Umar bahwa Rosululloh SAW pernah memberikan
tanah di Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk
digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman. Begitu juga
Ijma sebagaimana dikatakan Abu Ja’far “ Tidak ada satu rumah pun
di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian
hasil 1/3 dan ¼. Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali kwh,say
Sa’ad bin Abi Waqash ra, Ibnu Mas’ud,say Umar bin Abdul Aziz ra, Qasim, Urwah
keluarga Abu bakar ra dan keluarga Ali kwh.
9. Mukhobaroh
Sebagai disebutkan di atas bahwa
Mukhobaroh sering diidentikkan dengan muzaro‘ah, oleh karena itu pembahasan
akad ini mirip dengan pembahasan muzaro’ah hanya saja dari segi benih yang
digunakan adalah berasal dari si penggarap tanah.
10. Barter
Yang dimaksud akad barter ini
pemberian secara sukarela suatu barang atau jasa sebagai imbalan atas perolehan
suatu barang atau jasa yang berlainan sifatnya, atas dasar persetujuan bersama.
Misalnya, A dan B masing-masing mempunyai barang, A menyukai barang milik B,
dan sebaliknya. Jadi secara nalar keinginan mereka untuk melakukan pertukaran
mendapatkan persetujuan yang diperlukan. Karenanya, didalam pertukaran terjadi
pergantian kepemilikan atas barang-barang dari satu ke lain individu.
Sebagai contoh, seseorang
mempunyai 1 kilogram apel yang ditukarkan dengan mangga milik sahabatnya.
Melalui proses ini, yang dimiliki sekarang ialah satu kilogram apel yang
sebelumnya adalah kepunyaan orang lain. Bentuk kepemilikan atas apel itu
merupakan (hiazat), atau aktifitas produktif atau jasa.
Kepemilikan melalui barter ini
disebut sebagai kepemilikan tingkat kedua. sebab, kepemilikan atas 1 kilogram
mangga sebelumnya mengharuskan adanya kepemilikan atas satu kilogram apel,
apakah melalui perolehan aktifitas produktif atau jasa.
Di dalam barter, dua nilai
dihadapkan satu dengan yang lain, dan perolehan atas satu nilai yang terwujud
dalam satu barang mensyaratkan penanggalan satu nilai lainnya. Namun demikian,
prasyarat yang menjamin transfer kepemilikan adalah perolehan terdahulu atas
barang didapatkan melalui langkah-langkah umum hiazat, (aktifitas produktif
atau jasa).
Demikian juga suatu jasa
kemungkinan besar dapat ditukar dengan jenis jasa yang lain. Contoh seorang
dokter dan seorang tukang cat dapat saja bersepakat, bahwa sebagai ganti biaya
pengobatan yang diberikan dokter, tukang cat mencat bangunan milik dokter.
Sehingga dokter akan menjadi pemilik kerja tukang cat untuk jangka waktu
tertentu dan tunduk pada semua ketetapan yang disepakati bersama. Dalam kasus
ini kepemilikan dokter atas kerja tukang cat merupakan unsur pembentuk
kepemilikan tingkat dua, dan setiap pembatalan sepihak atas persetujuan itu
akan menjurus kepada pelanggaran.
E. Batalnya akad
Batalnya
suatu akad di sebabtkan oleh hal-hal berikut :[4]
1.
Tidak terjadi
akad disebabkan kedua belah pihak membatalkan
2.
Terdapat
persyaratan yang di langgar oleh salah satu pihak
3.
Salah satu pihak
tidak cakap melakukan akad
4.
Kalimat yang di
gunakan dalam berakad cacat
5.
Objek akad
merupakan barang yang di larang oleh agama dan ketentuan yang berlaku
6.
Barang yang
telah di akad kan mengalami kerusakan dan masih dalam garansi / khiyar
7.
Karena ada
paksaan penipuan dan kehilafan
8.
Habis masa
kontrak maka akad batal dengan sendirinya atau hapus
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Pengetian akad
Kontrak atau Akad dalam bahasa arab adalah ‘uqud jamak dari ‘aqd, yang secara bahasa
artinya, mengikat,bergabung, mengunci, menahan, atau dengan kata lain membuat
suatu perjanjian. Di dalam Hukum Islam, aqd artinya: “Gabungan atau penyatuan dari
penawaran (Ijab) dan penerimaan (qabul)” yang sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama,
sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang
disebutkan oleh pihak pertama.
2. Asas-asas
Ada
beberapa asas al-uqud yang harus di lindungi dan di jamin dalam wadah
undang-undang perbankan syariah. Asas-asas yang di maksudkan adalah :
a.
Asas ridha’iyyah
( rela sama rela )
b.
Asas mafaat
c.
Asas keadilan
d.
Asas saling menguntungkan
3. Rukun akad
1.
Sighah
2. Aqidan
3. Mahal al-aqd atau objek akad
4. Jenis-jenis akad
Dalam kaitannya dengan praktek perbankan
Syari’ah dan ditinjau dari segi maksud dan tujuan dari akad itu sendiri dapat
digolongkan kepada dua jenis yakni Akad Tabarru dan Akad Tijari.
a. Akad
tabarru
Akad Tabarru yaitu akad yang
dimaksudkan untuk menolong sesama dan murni semata-mata mengharap ridha dan
pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari return, ataupun
suatu motif. Yang termasuk katagore akad jenis ini diantaranya adalah Hibah, Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah,
Rahn dan Qirad.
b.
Akad tijari
Akad Tijari adalah akad yang berorientasi pada
keuntungan komersial ( for propfit oriented) Dalam akad ini
masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Di
dalam Bank Syari’ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya;
Murabahah, Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya
bittamlik, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.
5.
Batalnya
akad
Batalnya
suatu akad di sebabtkan oleh hal-hal berikut :
1.
Tidak terjadi
akad disebabkan kedua belah pihak membatalkan
2.
Terdapat
persyaratan yang di langgar oleh salah satu pihak
3.
Salah satu pihak
tidak cakap melakukan akad
4.
Kalimat yang di
gunakan dalam berakad cacat
5.
Objek akad
merupakan barang yang di larang oleh agama dan ketentuan yang berlaku
6.
Barang yang
telah di akad kan mengalami kerusakan dan masih dalam garansi / khiyar
7.
Karena ada
paksaan penipuan dan kehilafan
8.
Habis masa
kontrak maka akad batal dengan sendirinya atau hapus
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.Dr H. M. Amin
Suma, SH,.MA ekonomi syariah sebagai alternatif sistem ekonomi konvensional, jurnal
hukum bisnis (agustus 2002).
Gemala Dewi, SH aspek-aspek hukum dalam perbankan dan
perasuransian syari’ah di indonesia, kencana,jakarta 2006.
Muhammad asro.muhammad
kholid , fiqh perbankan ,pustaka
setia, bandung.2011.
[2] Prof.Dr
H. M. Amin Suma, SH,.MA “ekonomi syariah sebagai alternatif sistem ekonomi
konvensional,” jurnal hukum bisnis (agustus 2002) : 16.
[3] Gemala
Dewi, SH “aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syari’ah di
indonesia”, kencana,jakarta 2006.hlm.102
[4] Muhammad
asro.muhammad kholid , “ fiqh perbankan “,pustaka setia, bandung. Hal. 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar