BAB I
PENDAHULUN
A.
Latar Belakang Masalah
Terjadinya peningkatan peranan pemerintah baik dalam
kuantitatif maupun kualitatif merupakan konsekuensi eksistensi sebuah Negara
hukum modern. Factor terpenting untuk mendukung efektivitas peranan pemerintah
adalah factor control yuridis yang efektif untuk mencegah terjadinya mal
administrasi maupun berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Hal tersebut
mendasari konsepsi keberadaan PTUN yang merupakan pelembagaan control terhadap
tindakan pemerintahan. PTUN diciptakan untuk menyelesaikan sengketa anatara pemerintah
dan warga negaranya yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dan adanya
tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak warga negaranya.
Dengan demikian fungsi dari PTUN sebenarnya adalah
sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah dengan
rakyat sebagai akibat dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya keputusan Tata
Usaha Negara
Adapun dalam proses pengajuan gugatan oleh penggugat
kepada tergugat melalui PTUN di sini ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan
yaitu pemeriksaan dengan acara biasa, pemeriksaan dengan acara singkat,
pemeriksaan dengan acara cepat.
B.
Identifikasi Masalah
Dari
latar belakang diatas maka dapat ditarik identifikasi masalah yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan pemeriksaan
acara biasa, pemeriksaan acara cepat dan pemeriksaan dengan acara singkat?
2. Berikan contoh kasusu dan analisisnya!
BAB II
DESKRIPSI MATERI
A.
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pemeriksaan dengan acara biasa diatur mulai Pasal
108 UU PTUN. Jika tidak terdapat alasan khusus yang memenuhi criteria Pasal
98-99 UU PTUN. Sengketa di PTUN akan diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa.
Batas waktu pemeriksaan acara biasa tidak boleh lewat waktu enam bulan sejak
tanggal registrasi sengketa tata usaha negara oleh kepaniteraan PTUN.
1. Perihal ketidakhadiran penggugat dan
tergugat di persidangan
Apabila penggugat atau kuasanya tidak hadir pada
persidangan pada panggilan kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
meskipun setiap kali dipanggil secara patut sangsinya adalah:
a. Gugatan dinyatakan gugur.
b. Penggugat harus membayar biaya perkara.
Namun
hal tersebut tidak memungkinkan penggugat untuk memasukkan gugatannya sekali
lagi setelah membayar uang muka biaya perkara. Jika tergugat atau kuasanya
tidak hadir dalam persidangan dua kali sidang berturtu-turut atau tidak
menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun telah
dipanggil secara patut hakim ketua sidang dengan surat penetapan meminta atasan
tergugat memerintahkan tergugat hadir atau menanggapi gugatan. Setelah lewat
dua bulan sesudah penetapan itu dikirimkan dengan surat tercatat, tidak
diterima berita baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat maka hakim ketua
sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan
dengan acara pemeriksaan biasa. Putusan terhadap pokok gugatan data dijatuhkan
hanya setelah pemeriksaan menyangkut segi pembuktiannya dilakukan secara
tuntas.
2. Pencabutan/perubahan gugatan dan
perubahan jawaban
Penggugat
dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai ada tahap replik,
asalkan disertai dengan alasan yang cukup, tidak merugikan kepentingan
tergugat, hal tersebut harus dipertimbangkan secara seksama oleh hakim.
Perubahan yang diperkenankan disini adalah[1]:
a. Perubahan gugatan hanya dalam arti
menambah alasan yang menjadi dasar gugatan sampai dengan tingkat replik.
b. Penggugat tidak boleh menambah
tuntutannya yang akan merugikan penggugat dalam pembelaannya.
c. Perubahan yang diperkenankan adalah
perubahan yang bersifat megurangi tuntutan semula.
Sebaliknya tergugat juga dapat mengubah alasan yang
mendasari jawabannya hanya pada tahap duplik dengan syarat disertai alasan yang
ckup, tidak merugikan kepentingan penggugat, hal tersebut dipertimbangkan
dengan seksama oleh hakim.
3. Masuknya pihak ketiga dalam pemeriksaan
Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang
berkepentinga dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan
dalam masuk dalam sengketa dan bertindak sebagai:
a. Pihak yang membela haknya.
b. Peserta yang bergabung dengan salah satu
pihak yang bersengketa.
Kemungkinan masuknya pihak ketiga dalam sengketa TUN
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Masuknya pihak ketiga pada sengketa yang
sedang berjalan dilakukan atas dasar kemauan sendiri ingin mempertahankan atau
membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh keputusan
pengadilan.
b. Masuknya pihak ketiga dalam sengketa TUN
yang sedang berjalan karena permintaan salah satu pihak dengan maksud agar
pihak ketiga itu selama peruses bergabung dengan dirinya untuk memperkuat
posisi hukumnya dalam sengketa TUN tersebut.
c. Masuknya pidak ketiga dalam sengketa TUN
yang sedang berjalan atau prakarsa hakim yang memeriksa sengketa TUN tersebut.
Permohonan untuk masuknya pihak ketiga tersebut
dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan dengan putusan yang dicantumkan
dalam berita acara sidang.
4. Hukum acara PTUN tidak mengenal
rekonvensi
Sehubungan dengan gugatan yang diajukan penggugat
dalam HAPTUN tidak dikenal adanya rekonvensi dengan alasan sebagai berikut:[2]
a. Negara memiliki exorbitante rechten (hak
istimewa) sedangkan penggugat tidak.
b. Negara memiliki paksaan secara fisik
sedangkan peggugat tidak.
c. Perkara administrasi Negara pada
hakikatnya tidak menunda kegiatan pelaksanaan administrasi Negara yang
tindakannya dipersoalkan.
d. Tidak adanya sita jaminan dan
pelaksanaan yang dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun masih ada upaya
hukum lain.
Sengan demikian, jawaban tergugat sifatnya hanya
untuk menggapai dalil-dalil gugatan penggugat, tidak diperkenankan melakukan
rekonvensi.
5. Eksepsi
Eksepsi tentang kewenangan absolute pengadilan dapat
dianjukan setiap waktu selama pemeriksaan. Eksepsi tentang kewenangan relative
pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi
tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. Eksepsi yang dapat
dilakukan dalam sengketa TUN oleh tergugat ada dua kelompok yaitu:[3]
a. Eksepsi prosesual ialah eksepsi yang
didasarkan atas hukum acara.
b. Eksepsi yang didasarkan atas hukum
materil.
6. Pemeriksaan sengketa
Dimulai dengan membacakan isi
gugatan dan surat jawaban oleh hakim ketua sidang. Demi kelancaran pemeriksaan
hakim ketua sidang berhak memberikan petunjuk kepada para pihak yang
bersengketa mengenai upaya hukum yang dapat digunakan oleh mereka. Apabila
suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu hari sidanga, pemeriksaan
dilanjutkan pada hari sidang berikutnya. Apabila selama sengketa pemeriksaan
ada tindakan yang harus dilakukan dan memerlukan biaya, biaya tersebut harus dibayar terlebih
dahulu oleh pihak yang mengajukan permohonan untuk dilakukkanya tindakan
tersebut.
7. Pembuktian
Pembuktian merupakan tahapan yang sangat menentukan
putusan dalam proses peradilan. Hukum pembuktia mengenal beberapa teori system
pembuktian yaitu:[4]
a. Conviction-in time yaitu menentukan sah
atau tidaknya KTUN semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim.
b. Conviction raisonee yaitu keyakinan
hakim dibatasi dan harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas.
c. Pembuktian menurut Undang-undang secara
positif.
d. Pembuktian menurut Undang-undang secara
negative.
8. Kesimpulan para pihak
Jika pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan kedua
belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa
kesimpulan masing-masing. Suatu kesimpulan biasanya berisi hal seperti
kesimpulan jawab-menjawab, kesimpulan dan bukti-bukti tertulis, kesimpulan dan
saksi, dan lain-lain.
9. Asas keaktifan hakim
Eksistensi TUN merupakan syarat mutlak dalam konsep
Negara hukum karena menjadi indicator kualitas demokrasi dalam pembagian
kekuasaan Negara. Salah satu asas yang problematic dalam system PTUN adalah
asas keaktifan hakim. Dalam implementasinya ternyata justru seringkali dalam
pembuktian beban pembuktian lebih cenderung dibebankan kepada penggugat dalam
hal dalil-dalil gugatan disangkal oleh tergugat.
Visi asas keaktifan hakim untuk menempatkan hukum
acara pembuktian dalam keseimbangan kedudukan antara para pihak menjadi gagak
manakala asas keaktifan hakim ini tidak di implementasikan secara konsisten.
Asas keaktifan hakim seharusnya merupakan instrument vital dalam pelaksanaan
fungsi PTUN untuk menjangkau aspek kebenaran materiil substani keputusan TUN
baik dari sisi produserial maupun kewenangan.
B.
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat Dan Acara Singkat
1. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam Pasal 98
dan 99 UU PTUN. Apabila terdapat kepentingan penggugat yang mendesak maka
penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat. Prosedur pemeriksaan cepat dalam peradilan TUN yaitu:
a. Ketua pengadilan dalam jangka waktu 14
hari setelah diterimanya permohonan tersebut, mengeluarkan penetapan tentang
dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
b. Dalam hal permohonan tersebut dikabulkan
ketua pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan
tersebut menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui proses
peeriksaan persiapan.
c. Terhadap penetapan perihal dikabulkan
atau tidaknya permohonan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pemeriksaan dengan acar cepat dilakukan oleh hakim
tunggal. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak
ditentukan tidak melebihi 14 hari.
2. Pemeriksaan Dengan Acara Singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat adalah prosedur
acara yang dipergunakan untuk memeriksa perlawanan dari penggugat terhadap
penetapan ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan. Acara singkat ini
digunakan untuk pemeriksaan perlawanan dan pemutusan terhadap upaya perlawanan.
Jika perlawanan dibenarkan oleh pengadilan maka penetapan yang mendismis
gugatan penggugat gugur demi hukum.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pemeriksaan Acara Biasa, Pemeriksaan Acara Cepat Dan
Pemeriksaan Dengan Acara Singkat
1. Pemeriksaan Acara Biasa
Apabila gugatan telah dip roses melalui 3 tahap
pemeriksaan pra-persidangan di atas dan ditetapkan dapat diperiksa dengan acara
biasa, barulah gugatan akan diperiksa melalui persidangan dengan acara biasa.
Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa tata usaha Negara dengan 3 orang
hakim. Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
Panggilan terhadap para pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila
masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirmkan dengan surat
tercatat. Jika salah satu pihak berkedudukan atau berada diluar wilayah
Republik Indonesia, ketua pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan
dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan
tersebut kepada Departemen Luar Negeri RI.
a. Pengajuan Gugatan
Ketika Pasal 53 ayat
(1) belum diadakan perubahan dengan UU No. 9 Tahun 2004, dengan SEMA Nomor 2
Tahun 1991 telah diberikan petunjuk lebih lanjut bahwa gugatan dapat juga
diajukan melalui pos[5]. Dengan
demikian pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut[6]:
1) Gugatan diajukan langsung oleh penggugat
Gugatan yang diajukan
langsung oleh penggugat diterima oleh panitera, tetapi tidak langsung
dimasukkan ke dalam daftar perkara sebelum penggugat membayar uang muka biaya
perkara yang besarnya ditaksir oleh Panitera yaitu sekurang-kurangnya sebesar
Rp 50.00,00.
Penjelasan Pasal 59
ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan uang muka biaya perkara adalah biaya
yang dibayar lebih dahulu sebagai uang panjar oleh pihak penggugat terhadap
perkiraan biaya yang diperlukan dalam proses berperkara seperti biaya
kepaniteraan, biaya materai, biaya sanksi, biaya ahli, biaya alih bahasa, biaya
pemeriksaan ditempat lain dari ruang siding, dan biaya lain yang diperlukan
bagi pemutuan sengketa atas perintah hakim.
Setelah uang muka biaya
perkara dibayar, gugatan dimasukkan dalam daftar perkara untuk mendapatkan
nomor perkara dan gugatan baru diproses untuk selanjutnya[7].
Jadi, dalam
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara melalui gugatan pembayaran uang muka
biaya perkara sifatnya adalah imperative. Tanpa adanya pembayaran uang muka
biaya perkara, gugatan tidak akan diproses lebih lanjut.
2) Gugatan diajukan melalui pos oleh
penggugat
Dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991 ditentukan bahwa dalam hal gugatan
diajukan melalui pos, panitera harus memberitahu tentang pembayaran uang muka
biaya perkara kepada penggugat dengan diberi waktu paling lama 6 bulan bagi
penggugat itu untuk memenuhinya dan kemudian diterima di Kepaniteraan terhitung
sejak tanggal dikirimnya surat pemberitahuan tersebut.
Setelah lewat
tenggang waktu enam bulan tersebut dan uang muka biaya perkara belum diterima
dikeaniteraan, maka gugatan tidak akan didaftar. Gugatan yang dikirim melali
pos yang belum dipenuhi pembayaran uang muka biaya perkara tersebut, dianggap
sebagai surat biasa, akan tetapi kalau sudha jelas merupakan suatu surat gugat,
maka haruslah tetap disimpan di Panitera Muda Bidang Perkara dan harus dicatat
dalam Buku Pembantu Register dengan mendasarkan pada tangga diterimanya gugatan
tersebut, agar dengan demikian ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55 tidak
terlampaui.
Dengan demikian
gugatan yang diajukan penggugat melalui pos baru akan diperoses lebih lanjut
jika telah dibayar uang muka biaya perkara yang ditafsir oleh panitera.
Apabila
penggugat tidak mampu membayar uang muka biaya perkara maka sesuai dengan Pasal
60 ayat (1) menentukan bahwa penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan untuk bersengketa secara Cuma-Cuma. Permhonn untuk bersengketa
dengan Cuma-Cuma oleh penggugat diajukan bersama-sama engan surat gugatan
kepada Ketua Pengadilan dengan dilampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu dari
Kepala Desa atau Lurah di tempat kediaman penggugat. Permohonan ini tidak ada
upaya hukum yang dapat diambil atau dipergunakan.
Untuk mengetahui
apa yang dimaksud dengan Pengadilan yang Berwenang dalam perumusan Pasal 53
ayat (1) tersebut, disamping harus memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang
kompetensi relative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, juga harus
memperhatikan ketentuan tentang sengketa Tata Usaha Negara yang harus
diselesaikan melalui upaya administrative yang tersedia.
b. Penelitian Administrative
Ketentuan
mengenai penelitian administrative secara tegas tidak terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Oleh Mahkamah Agung telah diberi petunjuk
mengenai yang mempunyai wewenang untuk melakukan penelitian administrative
adalah panitera, wakil panitera, dan panitera muda perkara sesuai dengan
pembagian tugas yang diberikan. Adapun yang menajadi odjek dari penelitian
administrative hanya segi formalnya saja, missal segi formal dari surat kuasa
apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 56, tetapi tidak
sampai menyangkut segi materiil dari gugatan.
Dalam tahap
penelitian administrative ini panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk
seperlunya dan dapat meminta kepada penggugat untuk memperbaiki yang dipandang
perlu. Panitera tidak berhak menolak
pendaftaran perkara dengan dalil apapun juga yang berkaitan dengan masalah
gugatan. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya, maka setelah perkara
dimasukkan dalam daftar perkara dn memperoleh nomor perkara oleh staf
Kepaniteraan dibuatkan resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukn kepada
Ketua Pengadiln dengan bentuk formal dan isinya pada pokoknya adalah sebagai
berikut[8]:
1) Siapa subjek gugatan dan apakah
penggugat maju sendiri ataukah diwakili oleh kuasa;
2) Apa yang menjadi objek gugatan dan
apakah objek gugatan tersebut termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara yang memenuhi unsure-unsur Pasal 1 butir 3;
3) Apakah yang menjadi alasan-alasan
gugatan dan apakah alas an tersebut memenuhi unsure Pasal 53 ayat (2) butir a
dan b;
4) Apakah yang menjadi petitum atau isi
gugatan yaitu hanya pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara saja, ataukah ditambah
pula dengan tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi.
c. Rapat Permusyawaratan
Setelah surat gugatan
dan resume gugatan diterima oleh ketua pengadilan dari panitera, maka oleh
ketua pengadilan surat gugatan tersebut diperiksa dalam rapat permusyawaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1): “dalam rapat permusyawaratan,
ketua pengadilan berwenang untuk menentukan dengan suatu penetapan yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu
dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal:
1) Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak
termasuk dalam wewenang pengadilan;
2) Syarta-syarat gugatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah
diberitahu dan diperingatkan;
3) Gugatan tersebut tidak didasarkan pada
alasan yang layak;
4) Apa yang dituntut dalam gugatan
sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara;
5) Gugatan yang diajukan sebelum waktunya
atau telah lewat waktunya.
Pelaksanaan
rapat permusyawaratan keputusan TUN menentukan bahwa pemeriksaan
dismissal dilakukan oleh ketua pengadilan dan ketua dapat menunjuk seorang
hakim sebgai Raportir. Pemeriksaan dalam rapat permusywaratan hanya terpusat
pada apakah gugatan memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan yang
disebut dalam Pasal 62 ayat (1). Apabila dipandang perlu, pada waktu dilakukan
pemeriksaan dalam rapat permusyawaratan, ketua Pengadilan berwenang memanggil
dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum ketua pengadilan mengeluarkan
penetapan dismissal. Jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua
pengadilan tersebut menunjukkan bahwa gugatan tidak memenuhi satu atau beberapa
atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) maka ketua
pengadilan mengeluarkan penetapan yang menunjuk hakim untuk memeriksa gugatan
dengan acara biasa.
d. Pemeriksaan Persiapan
Sesuai
dengan Pasal 63 ayat (1) sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimuka umum
dimulai, Majelis Hakim yang telah ditetapkan oelh Ketua Pengadilan wajib
mengadakan oemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas
atau untuk mematangkan perkara. Pemeriksaan persiapan ini dapat pula dilakukan
oleh Hakim anggota yang ditunjuk oleh Ketua Majelis sesuai dengan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Ketua Majelis. Oleh karena pemeriksaan persiapan dilakukan
sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, maka pemeriksaan persiapan dapat
dilakukan di ruangan musyawarah dalam siding tertutup untuk umum.
Dalam
pemeriksaan persiapan, memanggil penggugat untuk menyempurnakan gugatanya atau
tergugat untuk dimintai keterangan tentang keputusan yang digugat tidak selalu
harus didengar dengan terpisah. Setelah hakim merasa bahwa gugatan sudah
lengkap dan sudah pula memperoleh kejelasan tentang duduk perkaranya maka hakim
baru akan menentukan hari siding untuk memeriksa gugatan di muka umum.
2. Acara Pemeriksaan Singkat
Sebagaimana
dalam acara pemeriksaan biasa, jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh
ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan menunjukkan bahwa gugatan tidak
memenuhi semua ketentuan dari Pasal 62 ayat (1) maka ketua pengadilan
mengeluarkan penetapan yang menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa gugatan dengan
acara biasa. Sebaliknya jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua
pengadilan tersebut menunjukkan bahwa gugatan memenuhi salah satu atau beberapa
atau semua ketentuan maka dengan menunjuk pada ketentuan yang terapat dalam
Pasal 62 ayat (1) ketua pengadilan lalu mengeluarkan penetapan yang dilengkapi
dengan pertimbangan-pertimbangan yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima
atau tidak berdasar yang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dan Panitera
Kepala. Sebagaimana menurut Martiman Prodjohamidjojo yaitu:[9]
a. Jika pokok gugatan nyata-nyata tidak
termasuk dalam wewenang pengadilan maka gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima.
b. Jika syarat dalam Pasal 56 ayat (1)
tidak dipenuhi oleh penggugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima dan
jika syarat materiilnya tidak dipenuhi maka gugatan dinyatakan tidak berdasar.
c. Jika gugatan tidak didasarkan pada
alasan-alasan yang layak maka gugatan dinyatakan tidak berdasar.
d. Jika apa yang dituntut sebenarnya sudah
dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima.
e. Jika gugatan yang diajukan sebelumnya
waktunya atau lewat waktu, maka gugatan dunyatakan tidak dapat diterima.
Penetapan tersebut bisa dikenal dengan penetapan
dismissal disamping merupakan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tidak
diterima atau tidak berdasar. Terhadap penetapan dismissal tersebut penggugat
dapat mengajukan upaya hukum berupa perlawanan ke pengadilan dalam tenggang
waktu 14 hari setelah penetapan dismissal diucapkan. Dengan demikian penggugat
yang mengajukan perlawanan sama halnya dengan penggugat ketika mengajukan
gugatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada
ketentuan yang harus diikuti oleh pengadilan dalam menyelesaikan gugatan
perlawanan dengan acara pemeriksaan singkat, kecuali Pasal 62 ayat (6) yang
menentukan bahwa terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan
upaya hukum. Oleh karena itu, Mahkamah Agung kemudian memberikan beberapa
pendapat sebagai berikut:
a. Yang memeriksa gugatan perlawanan adalah
Majelis Hakim.
b. Pemeriksaan gugatan perlawanan oleh
Majelis Hakim tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan persiapan.
c. Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan
secara tertutup, akan tetapi putusannya harus diucapkan dalam siding yang
terbuka untuk umum.
d. Dalam memeriksa gugatan perlawanan
setidak-tidaknya baik penggugat atau tergugat didengar dalam persidangan tanpa
memeriksa pokok gugatan seperti memeriksa bukti-bukti, saksi ahli, dan
sebagainya.
e. Terhadap putusan gugatan perlawanan
tidak tersedia upaya hukum apapun baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum
luar biasa.
f. Dalam hal pihak pelawan mengajukan
permohonan banding atau upaya hukum lainnya maka panitera berkewajiban membuat
akta penolakan banding.
Jika setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata
perlawanan yang diajukan oleh penggugat tersebut dibenarkan oleh hakim, maka
hakim menjatuhkan putusan bahwa perlawanan diterima atau berdasar. Sebaliknya
jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata perlawanan yang diajukan oleh
penggugat tersebut tidak dibenarkan oleh hakim , maka hakim menjatuhkan putusan
bahwa perlawanan tidak diterima atau ditolak. Penetapan dismissal yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut dengan sendirinya berlaku pula untuk
pokok sengketa Tata Usaha Negara yang disebutkan dalam gugatan. Walaupun adanya
penetapan dismissal yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap penggugat masih
dapat mengajukan gugatan lagi dengan syarat dasar gugatannya baru yang berbeda
dengan dasar gugatan pada gugatan yang telah mendapatkan penetapan dismissal
tersebut.
3. Acara Pemeriksaan Cepat
Cara
pemeriksaan dengan acara cepat yaitu sebagai berikut:
a. Pengajuan Gugatan
Pengajuan gugatan dalam pemeriksaan dengan acara
cepat adalah sama dengan pengajuan gugatan dalam pemeriksaan dengan acara biasa
dengan perbedaan bahwa dalam gugatan yang diajukan oleh penggugat disebutkan
adanya alasan-alasan agar pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara
dipercepat yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1). Dalam Pasal
tersebut diatas dapat diketahui bahwa agar dapat dilakukan pemeriksaan dengan
acara cepat, pengajuan gugatan harus memenuhi syarat-syarat:
1) Dalam surat gugat harus sudah dimuat
atau disebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar dari penggugat untuk
mengajukan permohonan agar pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara.
2) Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh
penggugat tersebut dapat ditarik kesimpulan adanya kepentingan dari penggugat
yang cukup mendesak bahwa pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara
tersebut memang perlu dipercepat.
Perlu diketahui bahwa alasan-alasan yang dikemukakan
oleh penggugat tersebut tidak hanya sekedar kepentingan dari penggugat bahwa
pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan perlu dipercepat,
tetapi kepentingan dari penggugat yang dimaksud harus merupakan kepentingan
yang cukup mendesak. Kepentingan penggugat dianggap cukup mendesak apabila kepentingan
itu menyangkut keputusan Tata Usaha Negara yang berisikan misalnya perintah
pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat. Kepentingan
penggugat yang cukup mendesak mempunyai sifat kasuistis sehingga Ketua
Pengadila diberikan kebebasan untuk membuat penilaian terhadap alasan-alasan
yang diajukan oleh penggugat dalam permohonannya agar sengketa TUN dapat
dipercepat pemeriksaannya.
b. Penelitian Administratif
Seperti halnya pada pemeriksaan
dengan acara pemeriksaan biasa, pada pemeriksaan acara cepat juga dilakukan
penelitian admiistratif. Penelitian administartif yang dilakukan pada
pemeriksaan dengan acara cepat samma dengan penelitian administrative yang
dilakukan pada acara pemeriksaan dengan acara biasa.
c. Rapat Permusyawaratan
Pasal 98 ayat (2) menentukan bahwa
Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan
supaya pemeriksaan sengketa TUN dipercepat, mengeluarkan penetapan tentang
dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
Ketua Pengadilan adalah yang
berwenang untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan supaya
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dipercepat. Selain oleh Ketua pengadiln
penetapan tentang permohonan penggugat dipercepat dapat pula dikeluarkan oleh
hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan sebelum pokok perkara diperiksa.
Sebelum ketua pengadilan
mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan
penggugat, ketua pengadilan akan melakukan pemeriksaan dalam rapat
permusyawaratan terhadap gugatan yang sudah diadakan penelitian administrative
oleh staf kepaniteraan. Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua
Pengadilan tersebut dapat berupa:
1) Permohonan dari penggugat tidak
dikabulkan
Jika permohonan dari penggugat tidak dikabulkan
ketua pengadilan akan mengeluarkan penetapan bahwa permohonan dari penggugat
tersebut ditolak atau tidak dikabulkan. Terhadap penetapan ketua Pengadilan
tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum.
2) Permohonan dari penggugat dikabulkan
Jika permohonan dari penggugat dikabulkan, Ketua
Pengadilan akan mengeluarkan penetapan berupa permohonan dari penggugat
diterima dan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan
tersebut ketua pengadilan menetapkan tentang hari, tempat, dan waktu sidang
tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan. Dengan penetapan, Ketua
Pengadilan menunjuk hakim tunggal untuk melakukan pemeriksaan dengan acara
pemeriksaan cepat (Pasal 99 ayat (1)).
B.
Contoh Kasus dan Analisisnya
Masalah Kepegawaian, antara lain: pemberhentian PNS
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1979, hukuman disiplin PNS
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun 1980 (dahulu), sedangkan untuk
saat ini masalah hukuman disiplin PNS akan mendasarkan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 yang telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku
lagi Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1979, mutasi PNS yang dilatarbelakangi ketidakharmonisan
hubungan antara atasan-bawahan, pengisian jabatan struktural, pengangkatan
sekretaris desa menjadi PNS , penolakan terhadap penyandang cacat untuk
mengikuti tes CPNS , masalah poligami PNS atau perceraian PNS dan Pemberhentian
PNS karena menjadi anggota/pengurus partai politik.
Untuk masalah pengangkatan sekretaris desa menjadi
PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007, persoalan yang
diperiksa di PTUN pada umumnya meliputi 2 (dua) hal yaitu : pertama, sekretaris
desa yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PNS tetapi tidak mau menjadi PNS
sehingga menggugat SK PNS nya dengan perhitungan secara matematis jika ia tetap
sebagai sekretaris desa non PNS maka usia pensiunnya akan lebih lama dan
penghasilannya dari bengkok lebih besar dibandingkan dengan PNS golongan II/a.
Alasan kedua yaitu sekretaris desa yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi
PNS, akan tetapi tidak memperoleh hak berupa tunjangan kompensasi dari
Bupati/Walikota yang pada umumnya karena ketiadaan dana didalam APBD. Hal
tersebut diakibatkan adanya ketentuan didalam Pasal 10 ayat (2) dan (3) PP
Nomor 45 Tahun 2007 yang pada pokoknya menyebutkan Sekretaris Desa yang tidak
diangkat menjadi PNS diberikan tunjangan kompensasi yang dihitung berdasarkan
masa kerja selama yang bersangkutan menjadi sekeretaris desa sebagai berikut :
1. Masa kerja 1 (satu) sampai dengan 5
(lima) tahun ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
2. Masa kerja lebih dari 5 (lima) tahun
dihitung sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per tahun dengan ketentuan
secara komulatif paling tinggi sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta
rupiah);
Terhadap PNS yang diberhentikan dengan hormat atau
tidak dengan hormat tersebut tetap diberikan hak-haknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai berikut:
1. Bagi PNS yang diberhentikan dengan
hormat dengan hak pensiun, berhak menerima pensiun, tunjangan hari tua dan
tabungan perumahan dari Bapertarum.
2. Bagi PNS yang diberhentikan dengan
hormat tanpa hak pensiun dan PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat berhak
menerima pengembalian nilai tunai iuran pensiun, tunjangan hari tua dan tabungan
perumahan dari Bapertarum.
Dahulu, terhadap masalah pemberhentian PNS
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil sering terjadi salah persepsi oleh Pegawai yang
bersangkutan ataupun kuasanya dengan mengira pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil sebagai bentuk jenis hukuman disiplin berat berdasarkan Pasal 6
ayat (4) huruf c dan d Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil sehingga ada upaya banding administrasi
yang berpuncak pada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK).
Sedangkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil baik
dengan hormat maupun tidak dengan hormat yang didasarkan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tidak ada upaya banding administrasi sehingga
upaya hukum yang dapat digunakan adalah langsung mengajukan gugatan di PTUN.
Hal tersebut dapat diketahui dari kewenangan BAPEK
sebagaimana disebutkan didalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun
1980 tentang Badan Pertimbangan Kepegawaian yaitu :
1. Memeriksa dan mengambil keputusan
mengenai keberatan yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina,
golongan ruang IV/a ke bawah tentang hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, sepanjang mengenai
hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
2. Memberikan pertimbangan kepada Presiden
mengenai usul penjatuhan hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Tingkat I,
golongan ruang IV/b keatas serta pembebasan dari jabatan bagi Pejabat Eselon I,
yang diajukan oleh Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negera dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Saat ini dengan berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan PP Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Pertimbangan kepegawaian, maka tugas BAPEK saat ini adalah sebagaimana
Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 2011 yaitu :
1. Memberikan pertimbangan kepada Presiden
atas usul penjatuhan hukuman disiplin berupa pemindahan dalam rangka penurunan
jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri, dan pemberhentian tidak dengan hormat
sebagai PNS, bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I dan pejabat
lain yang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh Presiden;
2. Memeriksa dan mengambil keputusan atas
banding administratif dari PNS yang dijatuhi hukuman disiplin berupa
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai PNS oleh pejabat pembina kepegawaian dan/atau
gubernur selaku wakil pemerintah.
BAB
IV
KESIMPULAN
Pemeriksaan Acara Biasa apabila gugatan
telah dip roses melalui 3 tahap pemeriksaan pra-persidangan di atas dan
ditetapkan dapat diperiksa dengan acara biasa, barulah gugatan akan diperiksa
melalui persidangan dengan acara biasa. Pengadilan memeriksa dan memutus
sengketa tata usaha Negara dengan 3 orang hakim. Pengadilan bersidang pada hari
yang ditentukan dalam surat panggilan. Panggilan terhadap para pihak yang
bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan
yang dikirmkan dengan surat tercatat. Jika salah satu pihak berkedudukan atau
berada diluar wilayah Republik Indonesia, ketua pengadilan yang bersangkutan
melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang
beserta salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri RI.
Pemeriksaan Dengan Acara Singkat
pemeriksaan dengan acara singkat adalah prosedur acara yang dipergunakan untuk
memeriksa perlawanan dari penggugat terhadap penetapan ketua pengadilan dalam
rapat permusyawaratan. Acara singkat ini digunakan untuk pemeriksaan perlawanan
dan pemutusan terhadap upaya perlawanan. Jika perlawanan dibenarkan oleh
pengadilan maka penetapan yang mendismis gugatan penggugat gugur demi hukum.
Pemeriksaan dengan acara cepat
diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU PTUN. Apabila terdapat kepentingan penggugat
yang mendesak maka penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan
supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahan
Buku:
Harahap,
2000.
Lihat butir 1 angka 7 huruf b pada Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991.
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acar Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
Cetakan II, 1996.
Prodjohamidjojo, 1993.
R. Wiyono, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Djaya Jogjakarta,
Yogyakarta, 1996.
Zairi Harahap, Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
Bahan Internet:
http://contohkasusPTUN.html.
http://pemeriksaancepat.html.
[1] W. Riawan Tjandra, Peradilan
Tata Usaha Negara, Universitas Atma Djaya Jogjakarta, Yogyakarta, 1996.
Hlm. 103.
[2] Prodjohamidjojo, 1993. Hlm. 67.
[3] Prodjohamidjojo, 1993. Hlm. 69-70.
[4] Harahap, 2000. Hlm. 256-258.
[5] Lihat butir 1 angka 7 huruf b pada Surat Edaran Mahkamah Agung No.
2 Tahun 1991.
[6] R. Wiyono, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hlm. 145.
[7] Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) UU PTUN.
[8] R. Wiyono, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hlm. 148.
[9] Martiman Prodjohamidjojo, Hukum
Acar Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan II,
1996, hlm. 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar