BAB I
PENDAHULUAN
A. Background Of The
Problem
Paying taxes is a
manifestation of state obligations and the role of the taxpayer to directly and
jointly implement the tax obligations for financing state and national
development. As per the philosophy of tax laws, paying taxes is not only an
obligation, but it is the right of every citizen to participate in the form of
participation to finance the state and national development. Responsibility for
payment of tax liability, as a matter of state obligations in the field of
taxation are the community members themselves to meet those obligations. This
is in accordance with the self-assessment system adopted in the Indonesian Tax
System.
The existence of tax is the main source of
income of a country, because it is a
strategic issue that has always
been the observation of society. Especially
now that the discussion has been made the new
tax bill that would replace
Law. 16/2000 on General
Provisions and Tax Procedures. Indonesia's
population of 215 million
people is an abundance of potential tax. Ironically, until 2004 the number
of taxpayers / tax payers only reaches the soul 3.67006
million, comprising 2,622,184 individual taxpayers and other taxpayers 1047876 entity. This
indicates that tax policy is not strong
enough to carry in
addition to extending the tax collection
process taxpayer less intensively
conducted.
As for taxation is required in terms
of the existence of a rule of
law that it should be cherished in the tax system. as will be described in this
paper regarding the certainty in the tax law.
B. Formulation Of The Problem
Of the background above formulation
of the problem can be drawn as follows:
1.
What is meant by the rule of law?
2. how the Rule of Law
And Justice In Tax Law?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KEPASTIAN HUKUM
A.
Pengertian Kepastian
Hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan
logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang
ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma,
reduksi norma atau distorsi norma.
Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan
dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat
dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis,
padangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah
dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia
lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan
suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari
jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia
secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam
pikiran pembuat aturan. Barangkali juga pernah dilakukan untuk mengelola
keberingasan para koboy Amerika ratusan tahun lalu.[1]
Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme
yang dikumandangkan Rene Descarte (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika
yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan
oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari
peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak
dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan
dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan)
dapat dimauti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia
menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara
kuantitatif dari hukuman-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.
Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan
dihadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi,
tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan
realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi
fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial
masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata
law and order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban
sosial. Law and order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the
order by the law (ctt: law dalam pengertian peraturan/legal).[2]
Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan
terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian
hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara
benar-benar. Demikian juga dengan mekanika Newton. Bahkan Mekanika Newton pun
sudah dua kali dihantukkan dalam perkembangan ilmu alam itu sendiri, yaitu
Teori Relativitas dari Einstein dan Fisika Kuantum.[3]
B.
Kepastian
Hukum Dan Keadilan Dalam Hukum Pajak[4]
Kepastian hukum dalam syarat-syarat pembuatan undang-undang perpajakan
yaitu sebagai berikut:
1.
Asas Falsafah Hukum
Undang-undang
perpajakan harus mengabdi kepada keadilan, baik dalam arti perundang-undangan,
maupun pelaksanaannya. Oleh karena itu, harus memperhatikan teori-teori,
seperti teori bakti, teori asuransi, teori kepentingan, teori gaya pikul, dan
teori gaya beli.
2.
Asas Yuridis
Hukum pajak
harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan bagi
negara dan warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak dinegara hukum haruslah
berdasarkan undang-undang agar tercapai kepastian hukum. Hal-hal yang perlu
dipastikan ialah:
a.
Hak-hak aparatur perpajakan harus
dijamin agar dapat dilaksanakan tugasnya dengan lancar.
b.
Wajib pajak harus mendapatkan jaminan
hukum agar tidak dilakukan dengan semena-mena oleh aparatur perpajakan. Wajib
pajak tidak hanya dituntut memenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi hak-hak
wajib pajak juga diperhatikan.
c.
Adanya jaminan terhadap keberhasilan
diri wajib pajak maupun perusahaannya.
3.
Asas Ekonomi
Kebijakan
pemungutan pajak harus diusahakan agar jangan sampai menghambat lancarnya
produksi dan perdagangan. Dengan perkataan lain, keseimbangan dalam kehidupan
ekonomi harus selalu diperhatikan.
4.
Asas Finansial
Sesuai dengan
fungsi budgeter, maka biaya untuk pemungutan pajak harus seminimal mungkin, dan
hasil pemungutan pajak hendaknya cukup untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran
negara. Harus pula diperhitungkan saat pengenaan pajak hendaknya sedekat
mungkin dengan terjadinya perbuatan, peristiwa, keadaan yang menjadi dasar
pengenaan pajak. Adam smith dalam teorinya “the four maxim’s” mengemukakan
asas-asas yang harus diperhatikan dalam pengenaan pajak adalah sebagai berikut:
5.
Asas Equality
Dalam suatu
negara tidak diperbolehkan mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib
pajak. Pengenaan pajak terhadap subjek pajak hendaknya dilakukan seimbang
dengan kemampuannya.
6.
Asas Certainity
Pajak yang
harus dibayar oleh wajib pajak harus pasti untuk menjamin adanya kepastian
hukum, baik mengenai subjek, objek, besarnya pajak, maupun saat pembayarannya.
7.
Asas Convenience
Biaya pemungutan pajak hendaknya seminimal mungkin, artinya biaya
pemungutan pajak harus lebih kecil dari pemasukan pajaknya.
Keadilan Pajak merupakan pengertian yang sangat luas
dan pelik. Dalam hubungan ini dikemukakan pengertian secara khusus, yaitu
pengertian keadilan dalam hukum pajak. Salah satu sendi keadilan dalam hukum
pajak adalah “perlakuan yang sama” kepada wajib pajak, yang tidak membedakan
kewarganegaraan, baik pribumi, maupun asing, dan tidak membedakan agama, aliran
politik, dan sebagainya. Namun, apabila ada pertentangan kepentingan antara
kepastian hukum pajak dan prinsip keadilan pajak, maka dalam hal ini yang harus
didahulukan adalah kepastian hukum guna menjamin pelaksanaan pajak kepada
setiap wajib pajak.
1.
Sanksi Perpajakan
2.
Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi adalah sanksi yang ditetapkan oleh undang-undang
kepada wajib pajak karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang perpajakan, yaitu:
a.
Denda (Pasal 7, Undang-Undang No. 6
tahun 1983).
b.
Bunga (Pasal 8, Ayat (1), (2), (3)
dan pasal 15, Ayat (1), (2), Undang-Undang No.6 Tahun 1983).
c.
Kenaikan (Pasal 13, ayat (1), (2),
(3) dan Pasal 15, Ayat (1), (2), Undang-undang No.6 Tahun 1983).
3.
Sanksi Pidana
Sanksi pidana adalah sanksi yang ditetapkan oleh undang-undang kepada
wajib pajak karena melakukan tindakan pidana, yaitu berupa kurungan (Pasal 38,
39, dan 41 Undang-Undang N0. 6 Tahun 1983); denda (Pasal 38, 39, dan 41
Undang-Undang No. 6 Tahun 1983).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Potensi
Gugatan Wajib Pajak
Berdasarkan Ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang KUP, hak untuk
melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda dan kenaikan dan biaya
penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung
sejak penerbitan STP, SKPKB serta Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding
serta Putusan Peninjauan Kembali, dengan tentu saja, mempertimbangkan hal-hal
yang dapat menangguhkan daluwarsa penagihan sebagaimana diatur dalam Pasal 22
ayat (2) Undang-Undang KUP. Hal ini mengandung makna bahwa kewenangan Negara
untuk melakukan tindakan penagihan dibatasi waktunya, yaitu hanya dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun.
Dengan statuta limitasi tersebut berarti pula bahwa Wajib Pajak
memperoleh hak untuk terbebas dari kewajiban Pembayaran utang pajak atau dengan
kata lain Wajib Pajak tidak dapat lagi dipaksa untuk membayar kewajiban
pajaknya karena sudah daluwarsa.
Akan tetapi berdasarkan asas praduga rechmatige, yang pada dasarnya
mengandung arti bahwa suatu kebijakan/keputusan yang dihasilkan pemerintah masih
tetap sah dan mengikat sepanjang belum ada yang mencabut atau membatalkannya,
Wajib Pajak tidak secara serta merta dapat “memanfaatkan” hak tersebut sebelum
adanya keputusan tentang penghapusan piutang pajak. Artinya sepanjang Wajib
Pajak belum menerima keputusan penghapusan utang pajak dari Menteri
Keuangan, ia masih berpotensi untuk dilakukan penagihan aktif. Mengenai tata
cara penghapusan piutang pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
68/PMK.03/2012 Tantang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan
Besarnya Piutang Pajak. ( lihat contoh Keputusan Penghapusan Piutang Pajak).
Apakah hal ini berarti bahwa dengan tidak dikeluarkannya keputusan penghapusan
piutang/utang mengakibatkan hak dari Wajib Pajak yang dijamin berdasarkan Undang-undang
menjadi tertunda untuk jangka waktu yang tidak terbatas?
Perlu disadari, bahwa apabila keputusan Menteri Keuangan tentang
penghapusan piutang pajak karena daluwarsa tidak segera diterbitkan,
Wajib Pajak dapat saja mengajukan gugatan tata usaha negara kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang PTUN yang pada dasarnya
mengatur bahwa :
1.
Ayat (1) Apabila Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
2.
Ayat (2) Jika suatu Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon,
sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, Maka Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan
dimaksud.
3.
Ayat (3) Dalam hal peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat
bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Artinya bahwa keterlambatan dalam memberikan keputusan penghapusan
utang/piutang karena lewat waktu kepada Wajib Pajak bukan merupakan halangan
bagi Wajib Pajak dalam memperoleh haknya untuk dibebaskan dari sejumlah utang
pajak. Sehingga menurut penulis, penerbitan keputusan tentang penghapusan piutang
pajak merupakan hal yang perlu kita perhatikan untuk segera diterbitkan
sedangkan penelitian mengenai penyebab terjadinya piutang pajak yang daluwarsa
dapat dilakukan kemudian, karena Undang-Undang telah secara tegas menyatakan
jangka waktu penagihan.
Keadaan ini akan semakin memperjelas tentang kedudukan Hak dan Kewajiban
dari Negara dan Wajib Pajak, sehinga diharapkan akan menciptakan suatu
kepastian hukum, terlebih lagi hal ini merupakan perwujudan komitmen Good
Governance dari Diten Pajak (Kementerian Keuangan) yang akan menggiring pada
peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dengan menghormati ketentuan yang ada, yang
pada akhirnya akan mewujudkan atmosphir perpajakan di Indonesia yang jauh lebih
baik.
B.
Contoh Kasus
[1]http://tbn0.google.com/images?q=tbn:KesJ5pdG2y5tZM:http://docsouth.unc.edu/neh/hildreth/slave238a.jpg
[2]http://tbn0.google.com/images?q=tbn:xJyx4s5A4gtYNM:http://www.communitymx.com/contet/source/1D850/L_O_logo.jpg
[3]http://tbn0.google.com/images?q=tbn:fpDCvmzcz2UelM:http://www.royal.gov.uk/files/images/MTnew_state_law_intro.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar