Senin, 09 Desember 2013

hukum perbankan (akad)

                
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqoda artinya mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-robath) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan  salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUH Perdata.
Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq). Dalam kaitan ini peranan Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qobul (pernyataan menerima ikatan) sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.
Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.

B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Hukum bank.
2.      Ingin mengetahui lebih dalam mengenai Akad dalam perbankan sayari’ah.
3.      Agar menjadi bahan latihan dalam pembuatan makalah supaya lebih baik lagi dalam membuat makalah.

C.    Kegunaan Penulisan
1.      Untuk memperdalam pemahaman mengenai Akad dalam perbankan syari’ah.
2.      Untuk menambah khazanah dalam ilmu Hukum perbankan syari’ah.

D.    Identifikasi masalah
1.      Apakah pengertian dari akad...?
2.      Apa saja asas-asas dalam akad perbankan syari’ah...?
3.      Bagaimana kah rukun akad perbankan syari’ah...?
4.      Apa saja jenis-jenis akad dalam perbankan syari’ah...?
5.      Apa saja yang membatalkan akad...?



BAB II
TINJAUAN TEORITIS


Akad
Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq).Dalam kaitan ini peranan Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qobul (pernyataan menerima ikatan) sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.

Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
Kontrak atau Akad dalam bahasa arab adalah ‘uqud jamak dari ‘aqd, yang secara bahasa artinya, mengikat,bergabung, mengunci, menahan, atau dengan kata lain membuat suatu perjanjian. Di dalam Hukum Islam, aqd artinya: “Gabungan atau penyatuan dari penawaran (Ijab) dan penerimaan (qabul)” yang sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang disebutkan oleh pihak pertama.
Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUH Perdata.
Menurut pengertian umum, akad adalah segala sesuatu yang di laksanakan dengan perikatan antar dua pihak atau lebih melalui proses ijab qabul yang di dasarkan pada ketentuan hukum islam yang memiliki akibat hukum kepada para pihak dan objek yang di perjanjikan.









BAB III
PEMBAHASAN

1.      Pengertian akad
Kontrak atau Akad dalam bahasa arab adalah ‘uqud jamak dari ‘aqd, yang secara bahasa artinya, mengikat,bergabung, mengunci, menahan, atau dengan kata lain membuat suatu perjanjian. Di dalam Hukum Islam, aqd artinya: “Gabungan atau penyatuan dari penawaran (Ijab) dan penerimaan (qabul)” yang sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang disebutkan oleh pihak pertama.[1]
Dalam bank sayariah akad yang di lakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena dilakukan berdasarkan hukum islam. Produk apa pun yang di hasilkan oleh perbankan, termasuk di dalamnya perbankan syariah, tidak akan lepas dari proses transaksi yang dalam fiqh muamalah nya di sebut dengan aqad  kata jamaknya al-uqud.
2.      Asas-asas
 Ada beberapa asas al-uqud yang harus di lindungi dan di jamin dalam wadah undang-undang perbankan syariah.[2] Asas-asas yang di maksudkan adalah :
                       
a.       Asas ridha’iyyah ( rela sama rela )
Yang dimaksud asas ridha’iyyah adalah bahwa transaksi ekonomi islam dalam bentuk apa pun yang di lakukan perbankan dengan pihak lain terutama nasabah harus di dasarkan atas prinsip rela sama rela yang hakiki. Asas ini di dasarkan pada sejumlah al-qur’an dan al-hadist, terutama surat an-nisa ayat 29. Atas dasar asas an-taradhin, maka semua bentuk transaksi yang mengandung unsur paksaan (ikrah ) harus i tolak dan batal demi hukum. Itulah sebabnya mengapa islam mengharamkan bentuk transaksi ekonomi apa pun yang mengandung unsur kebathilan (al-bathil ).

b.      Asas mafaat
Maksudnya adalah bahwa akad yang di lakukan oleh bank dengan nasabah berkenaan dengan hal-hal (objek) yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Itulah sebabnya islam mengharamkan akad berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudharat/mafsadat.




c.       Asas keadilan
Dimana para pihak yang bertransaksi (bank dan nasabah) harus berlaku dan di perlakukan adil dalam konteks pengertian yang luas dan konkret. Hal ini di dasarkan pada sejumlah ayat al-qur’an yang menjunjung tinggi keadilan dan dan anti kedzaliman, termasuk pengertian kedzaliman dalam bentuk riba seperti tersurat dalam QS. Al-hadid ayat 25.

d.      Asas saling menguntungkan
Setiap akad yang di lakukan oleh para pihak harus bersifat memberi keuntungan bagi mereka. Itulah sebabnya islam pun mengharamkan transaksi yang mengandung unsur gharar (penipuan), karena hanya menguntungkan salah satu pihak saja dan merugikan pihak lain.
Selain asas-asas tersebut ada beberapa hal lain yang harus di perhatikan dalam suatu akad yaitu :[3]
a.       Akad yang di lakukan para pihak (bank dan nasabah) bersifat mengikat (mulzim).
b.      Para pihak yang melakukan akad harus memiliki itikad baik (husnun-niyah). Asas ini  sangat penting di perhatikan dan akan turut menentukan kelangsungan dari pelaksanaan akad itu sendiri.
c.       Memerhatikan ketentuan-ketentuan atau tradisi ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ekonomi selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian yang telah di atur oleh islam, dan tidak berlawanan dengan asas-asas al-uqud.
d.      Pada dasarnya para pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan syarat-syarat yang di tetapkan dalam akad yang mereka lakukan, sepanjang tidak menyalahi ketentuan yang berlaku umum dan semangat moral perekonomian dalam islam.

3.      Rukun akad

Rukun akad ada tiga, yaitu:

 1.Sighah
 yaitu pernyataan ijab dan qabul dari kedua belah pihak, boleh dengan lafaz atau ucapan, boleh juga dilakukan dengan tulisan, sighah, haruslah selaras antara ijab dan qabul-nya. Apabila satu pihak menawarkan (ijab) benda A dengan harga seratus rupiah, pihak lain haru menerima (qabul) dengan menyebutkan benda A senilai seratus rupiah pula, bukan benda B yang harganya 150 rupiah.




 Dalamsighah kedua belah pihak harus jelas menyatakan penawarannya dan pihak yang lain harus dengan jelas menerima tawarannya (transparansi), qabul harus langsung diucapkan setelah ijab diucapkan, ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab ditawarkan hari ini dan dijawab 2 hari kemudian itu tidaklah sah, ijab dan qabul juga harus di lakukan di dalam satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus di dalam satu majelis yang sama.
2. Aqidan
            yaitu pihak-pihak yang akan melakukan akad, kedua belah pihak yang akan melaksanakan akad ini harus sudah mencapai usia akil-baligh (sesuai hukum yang berlaku di suatu negara), harus dalam keadaan waras (tidak gila) atau mempunyai akal yang sehat, harus dewasa (rushd) dan dapat bertanggung jawab dalam bertindak, tidak boros, dan dapat dipercaya untuk mengelola masalah keuangan dengan baik.

3. Mahal al-aqd atau objek akad
Yaitu  jasa, atau benda-benda yang berharga dan objek akad tersebut tidak dilarang oleh syariah. Objek akad yang dilarang (haram) oleh hukum Islam adalah: 1. Alkohol, 2. Darah, 3. Bangkai, 4. Daging babi.

4.      Jenis-jenis akad
Dalam kaitannya dengan praktek  perbankan Syari’ah dan ditinjau dari segi maksud dan tujuan dari akad itu sendiri dapat digolongkan kepada dua jenis yakni Akad Tabarru dan Akad Tijari.

1.      Akad tabarru
Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong sesama dan murni semata-mata mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari return, ataupun suatu motif. Yang termasuk katagore akad jenis ini diantaranya adalah Hibah,  Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn  dan Qirad.

Selain itu menurut penyusun Eksiklopedi Islam termasuk juga dalam kategori akad Tabarru seperti Wadi’ah, Hadiah, hal ini karena tiga hal tersebut merupakan bentuk amal perbuatan baik dalam membantu sesama,oleh karena itu dikatakan bahwa akad Tabarru adalah suatu transaksi yang tidak berorientasi komersial atau non profit oriented. Transaksi model ini pada prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersial akan tetapi lebih menekankan pada semangat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu alal birri wattaqwa).

Dalam akad ini pihak yang berbuat kabaikan (dalam hal ini pihak bank) tidak mensyaratkan keuntungan apa-apa. Namun demikian pihak bank itu dibolehkan meminta biaya administrasi untuk menutupi (cover the cost) kepada nasabah (counter-part)tetapi tidak boleh mengambil laba dari akad ini.


2.      Akad tijari
Akad Tijari adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit oriented) Dalam akad ini masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Di dalam Bank Syari’ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya; Murabahah, Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya bittamlik, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.

1.       Murobahah  (Defered Payment Sale)
Menurut definisi Ulama Fiqh Murobahah adalah akad jual beli atas barang tertentu. Dalam transasksi penjualan tersebut penjual menyebutkan secara jelas barang yang akan dibeli termasuk harga pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil.
Dalam perbankan Islam, Murobahah merupakan akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Selain itu murobahah juga merupakan jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli dengan nasabah dengan cara cicilan.
Dalam hal ini bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli  barang tersebut dari pemasok kemudian mejualnya kepada nasabah dengan menambahkan biaya keuntungan (cost-plus profit) dan ini dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu antara bank dengan pihak nasabah yang bersangkutan.
Pemilikan barang akan dialihkan kepada nasabah secara propisional sesuai dengan cicilan yang sudah dibayar. Dengan demikian barang yang dibeli berfungsi sebagai agunan sampai seluruh biaya dilunasi.

2.      Mudhorobah
Secara teknis Mudhorobah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudhorobah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Landasan syari’ah antara lain al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, Surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqoroh ayat  198. Dari Al-Hadits riwayat Thabrani dan Ibnu majah serta Ijma para sahabat.
Secara umum  Mudhorobah terbagi kepada dua jenis, pertama mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
Yang dimaksud mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul mal dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
Sedangkan mudhorobah muqayyadah adalah kebalikan dari mudhorobah muthlaqoh. Si mudhorib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini biasanya mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.

3.  Ijaroh
Pengertian secara etimologi ijaroh disebut juga al-ajru (upah) atau al-iwadh (ganti). Ijarah disebut juga sewa, jasa atau imbalan. Sedangkan menurut Syara’ Ijaroh adalah salah satu bentuk kegiatan Mu’amalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa dan mengontrak atau menjual jasa, atau menurut Sayid Sabiq; Ijaroh ini adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Menurut Ulama Fiqh Imam Hanafi Ijarah adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.  Sedangkan menurut Ulama Syafi’i Ijaroh adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Sementara menurut Ulama Maliki dan Hambali Ijaroh adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Berdasarkan definisi dari para Ulama Madzhab tersebut, terdapat kesamaan pandangan bahwa adanya unsur penting dalam pembiayaan Ijarah yakni adanya manfaat pada barang yang disewakan  baik yang bersifat jasa, dan adanya imbalan atas nilai yang disepakati dalam transaksi tersebut.

4. Ijaroh Muntahiya Bittamlik
Transaksi ini adalah sejenis perpaduan antara akad (kontrak) jual beli dengan akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan inilah yang membedakan denga ijarah biasa.
Adapun bentuk akad ini bergantung pada apa yang disepakati kedua belah pihak yang berkontrak. Misalnya al-ijarah dan janji menjual; nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-ijarah; harga barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan itu dipindahkan.
Aplikasinya dalam perbankan syari’ah dioprasionalisasikan dalam bentuk operasing lease maupun financial lease. Akan tetapi pada umumnya bank-bank tersebut lebih menggunakan ijarah muntahiya bittamlik ini karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu bank pun  tidak direpotkan mengurus pemeliharaan aset, baik saat leasing maupun sesudahnya.

            5. Salam, Ba’i  (Infron of Payment Sale).
Salam secara etimologi berarti salaf (pendahuluan) yang bermakna akad atau penjualan/pembuatan sesuatu yang disepakati dengan kriteria tertentu dalam tempo (tanggungan), sedang pembayarannya disegerakan.
Bai’i salam adalah suatu jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli barang, sedang pembayarannya dilakukan dimuka bukan berdasarkan fee melainkan berdasarkan keuntungan (margin). Dengan kata lain ba’i salam adalah suatu jasa free-paid purchase of goods.
Menurut para Fuqaha menamai Ba’i Salam dengan Al-Mahawij (barang-barang mendesak). Praktik jual beli ini dilakukan dengan tanpa ada barangnya di tempat, sementara dua pihak melakukan jual beli, secara mendesak.
Dasar hukum Ba’i salam ini sama dengan dasar hukum jual beli yang disyari’atkan dalam al-Qur’an, seperti Firman Alloh dalam surat al-Baqarah 282 yang artinya :

Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya”

6. Istishna (Purchase by order or Manufacture)
Istishna adalah suatu transaksi jual beli antara mustashni’ (pemesan) dengan shani’i (produsen) dimana barang yang akan diperjual belikan harus dipesan terlebih dahulu dengan  kriteria yang jelas.
Secara etimologis, istishna itu adalah minta dibuatkan. Dengan demikian menurut jumhur ulama istishna sama dengan salam, karena dari objek/barang yang dipesannya harus dibuat terlebih dahulu dengan ciri-ciri tertentu seperti halnya salam. Bedanya terletak pada sistem pembayarannya, kalau salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima, sedang istishna boleh di awal, di tengah atau diakhir setelah pesanan diterima.
7. Musyarokah
Musyarokah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Musyarokah ada dua jenis; pertama musyarokah pemilikan dan kedua musyarokah akad (kontrak). Musyarokah pemilikan tercipta karena warisan,wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.

8. Sharf (Valas/Money Changer)
Sarf menurut arti kata adalah penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli. Sedangkan menurut istilah adalah suatu akad jual beli mata uang (valuta) dengan valuta lainnya, baik dengan sesama mata uang yang sejenis atau mata uang lainnya.
Menurut definisi ulama sarf adalah memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis, seperti jual beli dinar dengan dinar, dinar dengan dirham atau dirham dengan dirham. Transaksi Sarf pada dunia perekonomian dewasa ini banyak dijumpai pada bank-bank devisa valuta asing atau money changer, misalnya jual beli rupiah dengan dolar Amerika Serikat (US$) atau mata uang lainnya.



Dasar hukum diperbolehkan jual beli Sarf menurut interpretasi para ulama adalah sabda Rosululloh SAW yang diriwayatkan Jamaah Ahli hadits dari Ubadah bin Samit kecuali Bukhari  menyatakan : Yang maksudnya “ .....jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gadum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur, (apabila) satu jenis (harus) kuialitas dan kuantitasnya dan dilakukan secara tunai. Apabila jenisnya berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu dengan syarat-syarat secara tunai.

8. Muzaro’ah (Harvest Yield Profit Sharing)
Al-Muzaro’ah adalah akad kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Muzaro’ah sering diidentikkan dengan mukhabarah. Dimana antara keduanya ada sedikit perbedaan antara lain, apabila benih dari pemilik lahan maka dinamakan muzara’ah, tetapi bila benih dari si penggarap maka dinamakan mukhobaroh.
Landasan hukum syari’ahnya antara lain Al-Hadits riwayat dari Ibnu Umar bahwa Rosululloh SAW pernah memberikan tanah di Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman. Begitu juga Ijma sebagaimana  dikatakan Abu Ja’far “ Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan ¼. Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali kwh,say Sa’ad bin Abi Waqash ra, Ibnu Mas’ud,say Umar bin Abdul Aziz ra, Qasim, Urwah keluarga Abu bakar ra dan keluarga Ali kwh. 

9. Mukhobaroh
Sebagai disebutkan di atas bahwa Mukhobaroh sering diidentikkan dengan muzaro‘ah, oleh karena itu pembahasan akad ini mirip dengan pembahasan muzaro’ah hanya saja dari segi benih yang digunakan adalah berasal dari si penggarap tanah.

10. Barter
Yang dimaksud akad barter ini pemberian secara sukarela suatu barang atau jasa sebagai imbalan atas perolehan suatu barang atau jasa yang berlainan sifatnya, atas dasar persetujuan bersama. Misalnya, A dan B masing-masing mempunyai barang, A menyukai barang milik B, dan sebaliknya. Jadi secara nalar keinginan mereka untuk melakukan pertukaran mendapatkan persetujuan yang diperlukan. Karenanya, didalam pertukaran terjadi pergantian kepemilikan atas barang-barang dari satu ke lain individu.
Sebagai contoh, seseorang mempunyai 1 kilogram apel yang ditukarkan dengan mangga milik sahabatnya. Melalui proses ini, yang dimiliki sekarang ialah satu kilogram apel yang sebelumnya adalah kepunyaan orang lain. Bentuk kepemilikan atas apel itu merupakan (hiazat), atau aktifitas produktif atau jasa.
Kepemilikan melalui barter ini disebut sebagai kepemilikan tingkat kedua. sebab, kepemilikan atas 1 kilogram mangga sebelumnya mengharuskan adanya kepemilikan atas satu kilogram apel, apakah melalui perolehan aktifitas produktif atau jasa.
Di dalam barter, dua nilai dihadapkan satu dengan yang lain, dan perolehan atas satu nilai yang terwujud dalam satu barang mensyaratkan penanggalan satu nilai lainnya. Namun demikian, prasyarat yang menjamin transfer kepemilikan adalah perolehan terdahulu atas barang didapatkan melalui langkah-langkah umum hiazat, (aktifitas produktif atau jasa).
Demikian juga suatu jasa kemungkinan besar dapat ditukar dengan jenis jasa yang lain. Contoh seorang dokter dan seorang tukang cat dapat saja bersepakat, bahwa sebagai ganti biaya pengobatan yang diberikan dokter, tukang cat mencat bangunan milik dokter. Sehingga dokter akan menjadi pemilik kerja tukang cat untuk jangka waktu tertentu dan tunduk pada semua ketetapan yang disepakati bersama. Dalam kasus ini kepemilikan dokter atas kerja tukang cat merupakan unsur pembentuk kepemilikan tingkat dua, dan setiap pembatalan sepihak atas persetujuan itu akan menjurus kepada pelanggaran.

E.     Batalnya akad
Batalnya suatu akad di sebabtkan oleh hal-hal berikut :[4]
1.      Tidak terjadi akad disebabkan kedua belah pihak membatalkan
2.      Terdapat persyaratan yang di langgar oleh salah satu pihak
3.      Salah satu pihak tidak cakap melakukan akad
4.      Kalimat yang di gunakan dalam berakad cacat
5.      Objek akad merupakan barang yang di larang oleh agama dan ketentuan yang berlaku
6.      Barang yang telah di akad kan mengalami kerusakan dan masih dalam garansi / khiyar
7.      Karena ada paksaan penipuan dan kehilafan
8.      Habis masa kontrak maka akad batal dengan sendirinya atau hapus









BAB IV
KESIMPULAN


1.        Pengetian akad
Kontrak atau Akad dalam bahasa arab adalah ‘uqud jamak dari ‘aqd, yang secara bahasa artinya, mengikat,bergabung, mengunci, menahan, atau dengan kata lain membuat suatu perjanjian. Di dalam Hukum Islam, aqd artinya: “Gabungan atau penyatuan dari penawaran (Ijab) dan penerimaan (qabul)” yang sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaran yang disebutkan oleh pihak pertama.

2.       Asas-asas
 Ada beberapa asas al-uqud yang harus di lindungi dan di jamin dalam wadah undang-undang perbankan syariah. Asas-asas yang di maksudkan adalah :
a.       Asas ridha’iyyah ( rela sama rela )
b.      Asas mafaat
c.       Asas keadilan
d.      Asas saling menguntungkan

3.       Rukun akad
 1. Sighah
 2. Aqidan
 3. Mahal al-aqd atau objek akad

4.       Jenis-jenis akad
Dalam kaitannya dengan praktek  perbankan Syari’ah dan ditinjau dari segi maksud dan tujuan dari akad itu sendiri dapat digolongkan kepada dua jenis yakni Akad Tabarru dan Akad Tijari.
a.      Akad tabarru
Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong sesama dan murni semata-mata mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari return, ataupun suatu motif. Yang termasuk katagore akad jenis ini diantaranya adalah Hibah,  Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn  dan Qirad.
b.      Akad tijari
Akad Tijari adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit oriented) Dalam akad ini masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Di dalam Bank Syari’ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya; Murabahah, Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya bittamlik, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.

5.       Batalnya akad
Batalnya suatu akad di sebabtkan oleh hal-hal berikut :
1.      Tidak terjadi akad disebabkan kedua belah pihak membatalkan
2.      Terdapat persyaratan yang di langgar oleh salah satu pihak
3.      Salah satu pihak tidak cakap melakukan akad
4.      Kalimat yang di gunakan dalam berakad cacat
5.      Objek akad merupakan barang yang di larang oleh agama dan ketentuan yang berlaku
6.      Barang yang telah di akad kan mengalami kerusakan dan masih dalam garansi / khiyar
7.      Karena ada paksaan penipuan dan kehilafan
8.      Habis masa kontrak maka akad batal dengan sendirinya atau hapus






























DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr H. M. Amin Suma, SH,.MA  ekonomi syariah sebagai alternatif sistem ekonomi konvensional, jurnal hukum bisnis (agustus 2002).
Gemala Dewi, SH aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syari’ah di indonesia, kencana,jakarta 2006.
Muhammad asro.muhammad kholid , fiqh perbankan ,pustaka setia, bandung.2011.









[2] Prof.Dr H. M. Amin Suma, SH,.MA “ekonomi syariah sebagai alternatif sistem ekonomi konvensional,” jurnal hukum bisnis (agustus 2002) : 16.
[3] Gemala Dewi, SH “aspek-aspek hukum dalam perbankan dan perasuransian syari’ah di indonesia”, kencana,jakarta 2006.hlm.102
[4] Muhammad asro.muhammad kholid , “ fiqh perbankan “,pustaka setia, bandung. Hal. 82

Tidak ada komentar: