BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dewasa
ini, Syi’ah dan politik seringkali diletakkan sebagai dua kata yang tidak
mungkin dipisahkan.Dibanding dengan paham Sunni, Syi’ah dianggap lebih
politis.Dilihat dari aspek sejarahnya pun, Syi’ah memang lahir karena faktor
politik, yakni menyangkut masalah siapa yang berhak menggantikan kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW sepeninggal beliau.Masalah politik (kekuasaan) dalam Islam
inilah yang menjadi sumber “perpecahan” antara Sunni dan Syi’ah.
Sebagaimana
diketahui, secara historis sistem pemerintahan Syi’ah mengacu pada sistem
imamah, yaitu suatu doktrin politik yang menyebutkan bahwa pemerintahan Islam
sepeninggal Nabi SAW adalah hak mutlak ahlul bait (keluarga Nabi SAW.) yakni
Ali bin Abi Thalib dan sebelas keturunannya. Hal ini dianggap tidak memberikan
peluang bagi pihak lain untuk mendapat hak yang sama, yaitu hak untuk dipilih
sebagai pemimpin negara.Dikalangan Syi’isme dikenal istilah konsep Wilayat
al-Faqih (kekuasaan para faqih), atau ahli hukum Islam.Dengan sistem baru ini,
maka Islam Syi’ah telah mengawali babak baru sistem pemerintahan yang cukup
demokratis. Oleh sebab itu, dapat dimengerti jika pemerintahan Islam di Iran
menggunakan sistem “republik”, yaitu Republik Islam Iran.
Untuk
lebih memahami mengenai Wilayah Faqih makan dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai Apa itu Wilayah Faqih, Sejarah Wilayah Faqih, Fungsi, Tugas dan
wewenang nya, Tujuan adanya Wilayah Faqih dan Klasifikasinya Serta Negara yang
mengaplikasikan Wilayah Faqih.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Wilayah Al-Faqih ?
2. Bagaimana
Sejarah Wilayah Al-Faqih ?
3. Apa
saja fungsi, tugas dan wewenang Wilayah Al-Faqih ?
4. Apa
Tujuan adanya Wilayah Al-Faqih ?
5. Apasaja
Klasifikasi Wilayah Al-Faqih ?
6. Negara
manakah yang menerapkan system Wilayah Al-Faqih ?
BAB
II
PEMBAHASAN
WILAYAH AL-FAQIH
A. Pengertian
Wilayah Al-Faqih
Untuk
memahami konsep wilayatul faqih terlebih dahulu kami sebutkan bahwa Istilah
wilayatul faqih terdiri dari dua kata, yaitu wilayat dan faqih.
Istilah
Wilayah dalam bahasa Arab disamakan dengan beberapa akar kata, yaitu: “wali,
walayah, dan mawla”. wali merujuk pada tiga makna: teman, setia/ berbakti, dan
Pendukung atau Penyokong. wilayah berarti: 1) kekuasaan (tertinggi) dan
penguasaan, 2) kepemimpinan dan pemerintahan.
Dalam
KBBI wilayah di artikan dengan daerah (kekuasaan, pemerintahan, pengawasan, dan
sebagainya). Dan ada juga yang memaknakannya untuk mendapatkan pengertian
‘pengendalian atau kontrol, penguasaan, jabatan, hakim, dan kekuasaan tertinggi
yang menunjukkan otoritas wali (sang pembawa wilayah) atas mawla ‘alayh (orang
yang bergantung pada atau menjadi objek wilayah).
Selanjutnya
kata yang kedua (Faqih) secara bahasa berarti orang yang memiliki pengetahuan
mendalamatau muslim yang sudah mencapai tingkat tertentu dalam ilmu dan
kesalehan. Dalam kamus istilah Ushul fiqh, Faqih itu berarti orang yang
mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliyah, yang di peroleh dengan jalan
mengadakan penyelidikan terhadap dalil-dalilnya yang tafsil. Atau dalam redaksi
yang umum diartikan sebagai Ahli hukum islam.
Menurut
Jalaludin Rahmat, Seorang faqih di isyaratkan harus mengetahui semua peraturan
Allah, mampu membedakan sunnah yang sahih dan yang palsu, yang mutlak dan yang
terbatas, yang umum dan yang khusus. Ia juga harus mampu menggunakan akalnya
untuk membedakan hadis dari situasi lain, situasi taqiyyah dan situasi lain,
serta memahami kriteria yang telah ditetapkan.[1]
Dari
pengertian kedua kata tersebut dapat di simpulkan bahwa wilayatul faqih adalah
kekuasaan yang dipinpin oleh seorang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan
dan hukum islam Atau dengan redaksi lain bahwa wilayatul faqih adalah sebagai
sebuah otoritas yang diserahkan kepada para fuqaha (para faqih) yang berilmu
tinggi sehingga mereka dapat mengarahkan dan memberi nasihat pada umat muslim
selama tidak hadirnya imam maksum. Adapun otoritas ini didapat dari Imam yang
merupakan al-Hujjah (dari Allah), oleh karenanya adalah wajib untuk mentaati
perintah-perintahnya sebagai otoritas tunggal yang sah.[2]
B. Sejarah
Wilayah Al-Faqih
Pada awalnya Setelah
imam yang terakhir menghilang masa itu disebut masa kegaliban, dalam masa
kegaliban ini, menurut para syiah, imam mahdi hidup namun tidak nampak. Yang
pada suatu saat akan muncul kembali ke dunia untuk membawa persamaan dan
keadilan memenuhi bumi dengan kedamaian setelah
dihancurkan oleh ketidak adilan dan perang. Setelah berakhirnya masa
tersebut, tepatnya masa moderen yang ditandai dengan kolonialisme yang melanda
negri-negri muslim di dunia, hampir seluruh negri berada di bawah penjajahan
barat, dan dunia islam tidak mampu bangkit dari kemunduran.
Akibat pengaruh
dari kemunduran islam tersebut banyak pemikir-pemikir islam yang mencoba meniru
barat, sebaliknya pun ada yang yang menolak dan menginginkan kemurnian islam.
Dalam periode ini ada tiga kecenderungan pemikiran politik islam.
1.
Integralisme
2.
Interseksion
3.
Sekuralisme
Golongan yang
pertama kemudian menginginkan penegakan cita-cita syariat yang berdemokrasi
dengan melanjutkan kepeminpinan imamah dengan suatu kekuasaan yang diberikan
otoritasnya kepada seorang faqih, yaitu dengan konsep wilayatul faqih. Konsep
ini menggambarkan unsur perwakilan rasional berdasarkan pilihan rakyat, yang
berbeda dengan diangkatnya Imam oleh Allah (nash). Tetapi faktor
utama (kekuasaan individual) tetap tidak berubah. Baik Imamah maupun
perwakilan Imam digunakan untuk mengabsahkan kelompok-kelompok yang berkuasa.
Perjuangan
menegakan wilayatul faqih
Setelah masa
tersebut, doktrin politik syiah dikalangan pemikir intergralistik dengan
mengonsep sebuah teori wilayatul faqih, namun konsep tersebut belum di
realisasikan.Barulah konsep tersebut di perkenalkan oleh Ayatullah Rohullah
Khomeini yang merancang berdirinya Republik Islam Pertama di seluruh dunia yang
menciptakan suatu masyarakat yang berlandaskan Al-Quran dan sunah.
Ayatullah Khomeinimulai
mengumandangkan konsepsi Republik Islam di Iran pada masa kepemimpinan
Syah Iran yang bergelar Raja Diraja (Syahansyah) Mohammad Reza Pahlevi.Yang menobatkan
diri dan negaranya sebagai Polisi Teluk Persia, dan penguasaan tersebut di dikung oleh amerika dan
negara-negara kapitalis serta zionis.
Akibat dari
kepemimpinan Raja Diraja Ayatullah Khomeini dan para pendukung berdirinya
sebuah negara yang berlandaskan sariat islam melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan tersebut yang menyerukan Republik Islam Iran yang sebagaimana
dirumuskan dalam konsep wilayatul paqih, tragedi tersebut kemudian dikenal
dengan Revolisi Islam Iran.
Akibat revolusi
tersebut, iran menjadi jelmaan konsep politik syiah degan pimpinan seorang
Fakih yaitu Ayatullah Khomeini yang merupakan fakih pertama dalam sejarah
kepemimpinan Wilayatul Fakih. Dan setelah diterimanaya konstitusi iran melalui
referendum 1 dan 2 desember 1979 iran kemudian melangkah menuju normalisasi
kehidupan politik berlandaskan syariat islam sampai sekarang.[3]
C. Fungsi,
tugas dan wewenang Wilayah Al-Faqih
1. Fungsi
Melihat
pada kontinuitas kepemimpinan ilahiah, yang melalui jalur kenabian, kemudian
dilanjutkan melalui garis imamah, dan juga ulama (faqih), maka fungsi
kepemimpinan mencakup empat hal yaitu :[4]
a. Fungsi
legislatif yakni menemukan dan menerangkan syariat (hukum) yang datang dari
sisi Allah dan menjadi sumber rujukan hukum. Kita ketahui bahwa tidak semua
orang mampu untuk menggali khazanah wahyu Tuhan padahal kita di tuntut untuk
menjalankan aturan Tuhan. Karenanya bagi yang tidak paham dianjurkan untuk bertanya
pada yang memahami
b. Fungsi
yudikatif yakni memutuskan dan menyelesaikan berbagai perselisihan yang
terjadi. Hal ini karena disatu sisi manusia merupakan makhluk sosial, namun di
sisi lain hubungan sosial itu tidak selamanya harmonis.Untuk itu diperlukan
orang yang dapat menyelesaikan permasalahan.
c. Fungsi
eksekutif yakni memimpin dan mengatur masyarakat atau membentuk pemerintahan.
Dalam suatu komunitas, agar hubungan diantara sesamanya harmonis maka
diperlukan adanya pemimpin yang menegakkan hukum-hukum.
d. Fungsi
edukatif yakni menjadi pembimbing dan pendidik umat untuk mensucikan mereka
menuju kesempurnaan kemanusiaan yang sesuai dengan aturan ilahiah.
2. Tugas
Melihat pada empat fungsi kepemimpinan di atas, maka
tugas-tugas para faqih(ulama) membutuhkan kompetensi yang tinggi dan teruji
baik dari sisi kompetensi intelektual maupun kompetensi kepribadian dan
keterampilan memimpin.Adapun menurut ‘Ain Najaf sebagaimana dikutip oleh
Jalaluddin Rahmat, tugas para faqih adalah sebagai berikut:[5]
1) Tugas
intelektual (al-‘amal al-fikry); ia harus mengembangkan berbagai pemikiran
sebagai rujukan umat. Ia dapat mengembangkan pemikiran ini dengan mendirikan
majelis-majelis ilmu, pesantren, atau hauzah; menyusun kitab-kitab yang
bermanfaat bagi manusia yang meliputi ilmu Alquran, al-hadis, aqaid, fiqih,
ushul fiqh, ilmu-ilmu aqliyah, matematika, tarikh, ilmu bahasa, kedokteran,
biologi, kimia dan fisika; membuka perpustakaan-perpustakaan ilmiah.
2) Tugas bimbingan keagamaan; ia harus menjadi
rujukan (marja’‘) dalam menjelaskan halal dan haram. Ia mengeluarkan fatwa
tentang berbagai hal yang berkenaan dengan hukum-hukum Islam.
3) Tugas komunikasi dengan umat (al-ittishal bi
al-ummah); ia harus dekat dengan umat yang dibimbingnya. Ia tidak boleh
terpisah dan membentuk kelas elit. Akses pada umat diperolehnya melalui
hubungan langsung, mengirim wakil ke setiap daerah secara permanen, atau
menyampaikan khutbah.
4) Tugas
menegakkkan syi‘ar Islam; ia harus memelihara, melestraikan dan menegakkan
berbagai manifestasi ajaran Islam. Ini dapat dilakukannya dengan membangun
masjid, meramaikannya dan menghidupkan ruh Islam di dalamnya; dengan
menyemarakkan upacara-upacara keagamaan dan merevitalisasikan maknanya dalam
kehidupan aktual; dan dengan menghidupkan sunah Rasulullah Saw. sambil
menghilangkan bid‘ah-bid‘ah jahiliyah dalam pemikiran dan kebiasan umat.
5) Tugas
mempertahankan hak-hak umat; ia harus tampil membela kepentingan umat, bila
hak-hak mereka dirampas. Ia harus berjuang “meringankan penderitaan mereka dan
melepaskan belenggu-belenggu yang memasung kebebasan mereka”
6) Tugas
berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim; faqih(ulama) adalah
mujahidin yang siap menghadapi lawan-lawan Islam bukan saja dengan pena dan
lidah, tetapi juga dengan tangan dan dadanya. Mereka selalu mencari syahadah
sebagai kesaksian atas komitmennya yang total terhadap Islam.
Jika
rumusan tugas dan tanggung jawab faqih di atas titik tekannya bersifat umum,
maka pada tataran yang lebih khusus, setelah terbentuknya Republik Islam dan
setelah terpilihnya wali faqih, maka menurut Muhammad Baqir al-Shadr, wali
faqihsecara resmi mewakili Islam. Mujtahid yang memegang otoritas tersebut
adalah wakil umum Imam Mahdi a.s. yang hak-hak hukumnya sebagai berikut :[6]
a. Ia
merupakan pilar utama pemerintahan, yang memperoleh kedudukannya melalui
otoritasnya. Ia adalah pemimpin tertinggi angkatan bersenjata.
b. Dia
memutuskan apakah suatu konstitusi yang dikonsepsikan sesuai atau tidak dengan
hukum Islam.
c. Dialah
yang secara final menyetujui hukum-hukum sosial yang berlaku dalam
perundang-undangan bebas.
d. Jika
timbul perbedaan terhadap poin-poin di atas, maka wali al-faqihmenunjuk hakim
pengadilan untuk memutuskan isu-isu tersebut.
e. Ia
mendirikan lembaga-lembaga peradilan di seluruh pelosok negeri untuk mendengar,
memutuskn kasus-kasus dan untuk memelihara kepentingan-kepentingan dari
partai-partai yang dirugikan.
3. Wewenang
mutlak wilayah al-faqih
Gambaran
fungsi, tanggung jawab, dan kekuasaan faqih yang diuraikan di atas setidaknya
memberikan suatu garis demarkasi akan keabsolutan wewenang faqih yang nyaris
tak terbatas, sebab menjadi mendataris resmi nabi dan para imam as. terutama
Imam Mahdi afs. Imam Khumaini, peletak sistematis konsep wilayah al-faqih
menegaskan bahwa kewenangan seorang fakih yang adil sama dengan wilayah nabi
saaw. dan para imam as. meskipun kedudukan (maqam) nabi dan imam jelas tidak
sama dengan maqam-nya para fakih. Namun, yang menjadi dasar pikir kewenangan
fakih adalah fungsinya bukan kedudukannya (maqam).
Dengan ini,
maka jelaslah bahwa seorang fakih memiliki semua tanggung jawab dan kekuasaan
atas seluruh teritorial dan individual manusia.Kewenangan ini dalam tata
politik syiah disebut dengan wilayah al-faqih al-mutlaqah (kewenangan faqih
secara mutlak).] Kemutlakan ini memiliki dua cakupan:
Pertama,
masyarakat seluruhnya, atas siapa sang fakih menggenggam wilayah(mawla
‘alayhim). Di sini fakih memiliki kekuasaan (kewenangan) atas tiap-tiap
individu baik muslim maupun non-muslim, mujtahid maupun muqallid, bahkan
terhadap dirinya sendiri.
Kedua, masalah-masalah di mana ia (fakih) menggenggam
kekuasaan. Pada posisi ini, fakih mempunyai otoritas dalam semua urusan
masyarakat dan dapat mengeluarkan peraturan, perintah, dan larangan untuk
mereka sesuai dengan yang diwajibkan bagi semuanya.Penggunaan otoritas fakih
seputar masalah-masalah yang diperintahkan—baik itu mewajibkan atau
mengharamkan—bersifat mengikat secara syariat.
Lebih lanjut tentang wilayah al-mutlaqah, Sayid Ali Khemenei
menjelaskan :
“Yang dimaksud dengan
wewenang mutlak (wilayah al-muthlaqah) bagi fakih yang memenuhi persyaratan
ialah bahwa Islam, yang merupakan agama murni dan pamungkas agama-agama samawi
dan yang kekal hingga hari kiamat, adalah agama yang memerintah dan mengatur
masyarakat. Karenanya, harus ada penguasa, hakim Syar’i, dan pemimpin di tengah
masyarakat Islam yang terdiri dari semua lapisan agar dapat menjaga umat dari
musuh-musuh Islam dan muslimin serta menjaga sistem mereka, menegakkan
keadilan, mencegah yang kuat agar tidak menindas yang lemah, dan menyediakan
sarana-sarana kebudayaan, politik, dan sosial bagi kemajuan dan perkembangan
mereka.”.
Penjelasan dan uraian ini dengan gamblang telah menggariskan
wewenang mutlakwali faqih untuk dipatuhi oleh seluruh kaum muslim (syiah).
Namun, perlu pula ditegaskan bahwa wewenang yang dimiliki oleh fakih tersebut,
dalam batas-batas hukum Islam yang keberlakuannya dan pelaksanaannya bukan
hanya bagi masyarakat namun juga bagi fakih itu sendiri. Artinya, seorang
fakih, dengan wewenang mutlaknya, tidaklah akan menjadi pemimpin tataliter dan
otoriter yang diktator sehingga bebas dari pelaksanaan hukum-hukum Tuhan, sebab
dalam menggunakan kekuasaannya seorang fakih harus memahami dan
mempertimbangkan beragam faktor, seperti ketepatan, kebutuhan, prioritas, dan
kondisional persyaratan pelaksanaan
hukum-hukum yang diputuskannya.[7]
D. Tujuan Adanya kekuasaan Wilayatul Faqih
Konsep wilayatul
faqih merupakan sebuah kekuasaan yang dikontekstualisasikan oleh
golongan syi’ah setelah ghaibnya imam yang kedua belas. Dan itu berawal dari
munculnya pemikiran integralistik di zaman modern yang menyatakan bahwa agama
dan negara haruslah disandingkan demi untuk mencapai kemaslahatan umat muslim
yang telah banyak dipengaruhi oleh kemajuan pemikiran barat. Jadi dapat di simpulkan
bahwa tujuan-tujuan adanya konsep wilayatul faqih adalah sebagai berikut:[8]
1) Untuk
merealisasikan pelaksanaan syari’ah dalam sebuah pemerintahan.
2) Untuk
mencapai kemaslahatan umat islam (sebagai tujuan umum dari teory politik islam)
3) Untuk
mencapai sebuah Negara yang menjamin keadilan sosial, dan demokrasi serta
kemerdekaan yang murni. Karena islam dan juga pemerintahan berlandaskan islam
adalah penomena Ilahi, yang akan menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.
4) Untuk
memusnahkan pemikiran-pemikiran barat yang tidak sesuai dengan ajaran islam,
dan juga menormalisasikan kembali pemikiran-pemikiran umat muslim yang telah
terpengaruh oleh kemajuan politik barat yang menyebabkan konsepsi islam jadi
terpuruk dalam kebekuan.
Dan
banyak lagi tujuan lain didirikannya konsep wilayatul faqih tersebut yang tidak
dapat penulis uraikan semuanya. Baik tujuan khusus dari wilayatul faqih
tersebut dan maupun tujuan teory politik islam secara umum.
E. Klasifikasi
Wilayah Al-Faqih
Menurut Murtadha Muthahhari,
kualifikasi-kualifikasi utama seorang pemimpin selama kegaiban Imam Mahdi
adalah :[9]
1. Beriman
kepada Allah, wahyu-wahyu-Nya, dan ajaran-ajaran Nabi-Nya. (Q.S. An-Nisa: 141)
2. Jujur,
taat kepada hukum-hukum Islam, dan sungguh-sungguh dalam pelaksanaannya. (Q.S.
Yunus: 124; Q.S. 38; 26)
3. Pengetahuan
Islam yang memadai, sesuai dengan kedudukannya yang mulia (Q.S. Al-Baqarah: 35)
4. Cukup
kompeten memegang posisi tersebut dan bebas dari setiap cacat yang tidak sesuai
dengan kepemimpinan Islam.
5. Standar
hidupnya sama dengan hidup orang-orang yang berpenghasilan rendah.
Selain itu, ada juga yang
berpendapat bahwa untuk menjadi refresentasi tertinggi dari pemerintahan Islam
seorang Faqih disyaratkan sebagai berikut:[10]
1.
Ia harus orang yang saleh dan mempunyai
berbagai kualitas penting untuk menjadi mujtahid mutlak, yakni
seorang mujtahid peringkat pertama yang sepenuhnya berkompoten untuk
menguraikan hukum secara terperinci dan sampai kepada keputusan-keputusan
mandiri.
2.
Kecenderungan pemikirannya harus
menunjukkan keyakinan yang kokoh terhadap pemerintahan Islam dan menyadari
pentingnya membela pemerintahan Islam.
3.
Otoritas keagamaannya harus diterima dan
diakui sesuai dengan tradisi-tradisi syiah sepanjang sejarah.
4.
Dia harus memberikan dukungan kepada
mayoritas anggota-anggota dewan konsultatif Wilayah al-Faqih. Di
samping itu, sejumlah “para pelayan agama” yag jumlahnya di tentukan dalam
konstitusi, seperti para ulama, pelajar-pelajar pusat keagamaan, Imam shalat
berjamaah, para khatib, dan pemikir-pemikir Islam harus mendukung syarat-syarat
keterpilihannya.
Dari gambaran
tersebut, jelaslah, untuk menjadi seorang faqih bukanlah suatu pemberian
gratis, melainkan usaha yang panjang, berat, dan penuh kesungguhan,
sehingga berkat perjuangannya, seseorang akan memiliki ketaatan, keahlian-keahlian
administrative dan belas kasih yang merupakan kemestian bagi seorang faqih yang
akan menduduki posisi kepemimpinan dan harus membuktikan dirinya lolos dari
seleksi alamiah yang berlaku di dunia syiah.
Dengan dasar-dasar ini, sebagai pemimpin umat, secara
teoritisasi umum dalam sistem politik syiah, dirumuskan syarat untuk menjadi
seorang wali faqih, yaitu harus memenuhi tiga kompetensi, yaitu :[11]
1. Faqahah;
yaitu mujtahid mutlak yang mampu menetapkan kesimpulan tentang hukum-hukum
syara` dari sumber-sumbernya. .
2. ‘Adalah, yaitu
tetap teguh menjalankan syariat Islam dan memilki pribadi yang bersih, saleh
dan takwa sehingga menjadikan dirinya tidak mengikuti nafsu dan kecenderungan
duniawi.
3. Kafa’ah;
yaitu memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas sehingga terampil mengurus
kehidupan umat, memahami kebutuhan zaman, mengurusi permasalahan sosial,
politik, administratif, kemanan, ekonomi, dan sebagainya yang merupakan
unsur-unsur penting dalam sebuah negara.
Sebagai usulan
konkritnya, untuk memenuhi ketiga kompetensi di atas, disusunlah usaha bersama
dalam mengkader pribadi-pribadi yang memiliki potensi keunggulan dalam
bidang-bidang tersebut.Beragam disiplin ilmu menjadi acuan formal, sebagai
penilaian dan penentuan keberhasilan seseorang memenuhi persyaratan menjadiwali
faqih.Contohnya, untuk mengasah kemampuan faqahahdiperlukan
pembelajaran ilmu fiqih dan ushul fiqih, untuk kemampuan adalah diperoleh
melalui ajaran dan amalan irfani (tasawuf); dan untuk kafaah didapat
dengan mempelajari secara sungguh-sungguh pemikiran filsafat dan ilmu-ilmu
sosial.
Jadi, dalam bentuk praktisnya, ketiga rumusan tersebut
ditafsirkan dengan aneka pemikiran dan bentuk formalitas dalam sebuah Negara,
sebab wali faqih adalah realitas sosial yang ditentukan oleh masyarakat Muslim
dan eksistensinya didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam. Jika
ditemukan hanya seorang pribadi yang memilik ketiga kompetensi tersebut secara
baik maka secara otomatis ia memiliki restu ilahiah untuk menduduki posisi
pemimpin Islam (wali faqih). Jika, dalam kasus di mana terdapat lebih
dari satu orang untuk dipilih sebagai pemegang posisi wali
al-faqih, masyarakat mempunyai hak untuk memilih salah seorang di
antara mereka melalui suatu referendum.
F. Wilayah
Al-Faqih Dalam Konstitusi IRAN[12]
Secara
konstitusional Iran adalah Negara yang berbentuk Republik Islam.Republik
mengindikasikan sistem pemerintahan, sedangkan Islam menjelaskan isi sistem
tersebut.Artinya, sebagai republik, Iran berarti memakai sistem demokrasi yang
warga negara memiliki hak untuk memilih pemimpinnya sejalan dengan konstitusi
yang berlaku.Berdasarkan hal itu, Republik Islam adalah sistem pemerintahan
yang seluruh warga negaranya mempunyai hak untuk memilih kepala Negara mereka
untuk masa jabatan tertentu, dan ajaran-ajaran serta prinsip-prinsip Islam
menjadi inti dan dasarnya.
Dengan
demikian Republik Islam Iran (RII) merupakan Negara yang mengadaptasi sistem
politik modern dan sistem politik Islam sekaligus. Ini membuktikan bahwa Islam
yang sempurna dan baku bukanlah agama yang bisa usang hanya dimakan usia dan
ketinggalan zaman dikarenakan ide-ide yang senantiasa berubah dan berkembang.
Hanya saja, yang membuat unik dan khas bahkan asing, baik bagi sistem politik
modern maupun politik Islam, adalah konsep kepemimpinan ahli agama (ulama)
dalam tata politik Republik Islam Iran, yang disebut dengan konsep wilayah
al-faqih.
Jadi,
meskipun setelah revolusi pada 1979, para pengusung revolusi Islam di Iran
dengan penuh kesadaran memilih Negara Islam, akan tetapi tetap dengan
mengadaptasi politik modern. Di satu segi, hal ini jelas merupakan kenyataan
bahwa para mullah di Iran, tidak tertutup dari gagasan politik baru, dan
sekaligus membantah tuduhan bahwa para tokoh revolusi Iran bermaksud menarik
Iran mundur kembali ke abad pertengahan. Republik dipilih tentu karena bentuk
pemerintahan ini dianggap bisa menjadi wadah bagi pemahaman mereka tentang tata
cara pengaturan negara modern yang sejalan dengan konsep Islam mengenai masalah
ini.
Dengan
demikian, konstitusi Iran telah menciptakan negara dengan model Islam raja
filosof Plato, tetapi ia menempatkan pemimpinnya dalam sistem parlementer
modern. Konsep republik, yang diterapkan dalam Republik Islam Iran, telah
dimodifikasi dengan konsep Wilayah al-Faqih, atau pemerintahan
para ulama.Modifikasi ini menyentuh tiga sendi sistem republik, meliputi
institusi-institusi yang biasa disebut sebagai Trias Politika.Hal ini dirasa
perlu, mengingat pada sistem ini konsep kepemimpinan Islam – apakah itu
namanya wilayah atau Imamah – tidak cukup
terwakili di dalamnya.Ada batas-batas, sebagaimana diatur menurut konsep Trias
Politika, yang di dalamnya kekuasaan eksekutif sepenuhnya ditundukkan terhadap
kekuasaan legislatif.Demikian pula, kekuasaan yudikatif mempunyai
batas-batasnya sendiri yang membuat mereka tidak leluasa menerapkan hukum
Islam.
Satu-satunya
ciri khas dari konstitusi ini, menurut sudut pandang Barat sekuler, adalah
desakan untuk menjadikan hukum Islam sebagai landasan yang menjadi sumber bagi
seluruh prinsip hukum dan peran ulama dalam membimbing para pembuat hukum agar
hukum yang dibuat mereka tidak melenceng. Konstiusi ini juga menentukan peran
yang luar biasa dari “pemimpin”.Pada awalnya, pasca Revolusi Iran, posisi ini
diamanahkan kepada Ayatullah Khomeini.
Lembaga-lembaga Tinggi IRAN[13]
1.
Wali Faqih/Rahbar
Unik sekaligus khas, sesuai dengan prinsip wilayah
al-faqih, kepemimpinan tertinggi di Republik Islam Iran berada di tangan
seorang ulama yang disebut rahbar dan jugawali fakih. Akan
tetapi, dalam Wilayah al-faqih bukanlah berarti bahwa yang
berada di puncak pimpinan adalah seorang faqih dan secara
langsung menjalankan pemerintahan. Peran seorang faqih dalam
Negara Islam yang rakyatnya mengakui Islam sebagai prinsip dan ideologinya adalah
peran seorang ideolog dan bukan penguasa.Kewajiban seorang ideolog adalah
melakukan pengawasan terhadap sejauh mana ideologi itu telah dilaksanakan
secara benar.
Jadi, Wali Faqih atau Rahbar merupakan
jabatan pemimpin tertinggi revolusi Islam Iran (Rahbar-e Enqelab-e
Jumhuri-e Islami-e Iran) yang membawahi semua institusi pemerintahan
Islam Iran termasuk presiden (eksekutif), parlemen (legislatif), pengadilan
(yudikatif), pasukan elit pengawal revolusi (IRGC), angkatan bersenjata, dan
pasukan relawan (basiij). Sejak meninggalnya Imam Khumaini pada tahun
1989 hingga saat ini, jabatan ini diduduki oleh Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali
Khamenei, setelah dipilih oleh Dewan Ahli Rahbari (Majlise Khubregane
Rahbari) yang terdiri atas sejumlah ulama senior yang memahami masalah
kepemimpinan dalam Islam.
Wali faqih atau rahbar ini
diangkat oleh sebuah majelis ulama yang disebut Dewan Ahli (Majlis
Khubregan; The Assembly of Experts).Dewan ahli itu sendiri di angkat oleh
rakyat melalui pemilihan umum. Hal ini ditunjukkan oleh konstitusi Iran, di
mana Pasal 107 menyebutkan, bahwa ahli-ahli yang dipilih rakyat akan menunjuk
salah seorang faqih yang memenuhi syarat untuk menjadi
pemimpin guna mengemban jabatan. Jika tidak ada seseorang yang memenuhi
persyaratan, Dewan Ahli yang sama akan menunjuk tiga atau lima marja’’ yang
memiliki persyaratan yang diperlukan untuk membentuk Dewan Faqih.
Dewan Ahli (Majlis-i Khubregan) yang disebut-sebut dalam pasal
ini beranggotakan 72 ahli hukum Islam yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum yang khusus dipersiapkan untuk tujuan ini.
2. Kekuasaan
Eksekutif : Presiden
Pemimpin yang menempati psosisi
tertinggi selanjutnya di Iran adalah presiden.Presiden memegang otoritas
tertinggi Negara yang bertanggungjawab untuk mengimplementasikan konstitusi dan
sebagai kepala pemerintahan untuk menjalankan kekuasaan eksekutif. Ia
dipilih setiap empat tahun sekali. Tugas-tugas pokoknya adalah menjadi kepala
pemerintahan, menjalankan konstitusi Negara, dan mengkoordinir lembaga tinggi
negara yakni eksekutif, legislative, dan yudikatif. Presiden merupakan pejabat
tertinggi Pemerintah Iran dalam hubungan dengan dunia internesional.Ia
menandatangani seluruh perjanjian. Dan ia juga berhak mengangkat Perdana
Menteri setelah Parlemen memberikan persetujuannya. Kapan saja ia meminta
kabinet untuk bersidang, langsung di bawah pimpinannya.
3. Kekuasaan
Legislatif : Parlemen
Dalam pemerintahan RII Parlemen menjadi salah satu bagian
integral dari Negara yang memiliki kedudukan setingkat lembaga eksekutif dan
bertanggung jawab atas ketetapan dan pembuatan undang-undang di Iran.Hanya saja
setiap produk undang-undang yang mereka rumuskan haruslah diuji oleh Dewan
Pelindung Konstitusi untuk mendapatkan legalitas tentang kesesuaiannya dengan
syariat Islam. Jadi, selain parlemen yang memang memiliki tugas berkenaan
dengan undang-undang Negara, maka ada beberapa lembaga penting yang terkait
dengan pembuatan dan pengujian undang-undang, diantaranya :
a) Dewan
Pelindung Konstitusi (Guardian Council)
Dewan Pelindung merupakan salah satu lembaga negara yang paling
penting dan berada di bawah pengawasan langsung dari pemimpin tertinggi.Lembaga
Dewan Pelindung dibentuk dengan tujuan untuk melindungi aturan-aturan Islam dan
konstitusi.Dewan terdiri dari 12 anggota; enam di antaranya adalah para ahli
hukum (Islam) yang telah mencapai gelar ayatullah dan enam lainnya adalah ahli
hukum biasa yang diusulkan oleh Dewan Pengadilan Tinggi dan disetujui parlemen.
Otoritas tertinggi dalam lembaga ini berada di tangan para ayatullah, yang
ditunjuk oleh Pemimpin Tertinggi, kini adalah Ayatullah Khamenei, untuk masa
bakti selama enam tahun.
Dewan Pelindung konstitusi ini memiliki posisi penting dan
menentukan dalam pembuatan undang-undang Negara.Tanpa persetujuan Dewan ini,
seluruh kegiatan parlemen tidaklah sah. Saran-saran dari Dewan ini harus
dituruti dan bila tidak dilaksanakan, maka seluruh keputusan parlemen akan
batal. Selain itu, tugas utama Dewan Pelindung Konstitusi adalah melindungi
Islam, melaksanakan referendum-referendum, pemilihan presiden dan pemilihan
anggota parlemen.
b) Dewan
Permusyawaratan Islam (Syura-ye Negahban; Islamic
Consultative Assembly)
Untuk mengawasi perundang-undangan Negara agar tidak menyimpang
dari ajaran Islam, maka di Iran di bentuk sebuah Dewan Wali yang terdiri dari
ulama yang beranggotakan 270 orang.Lembaganya disebut Syura-ye Negahban yang
anggotanya para faqih, dan dipilih oleh rakyat secara pemilihan
umum.
Tugas Dewan ini adalah menguji undang-undang yang dibuat oleh
parlemen; apakah undang-undang itu bertentangan dengan kehendak Tuhan atau
tidak?Kadang-kadang, mereka juga membuat rancangan undang-undang, yang
sumbernya adalah syariat Islam, lalu disodorkan kepada parlemen untuk
dirumuskan ke dalam peraturan yang lebih spesifik dan praktis.Dengan demikian,
untuk menjadi sebuah hukum positif diperlukan pengesahan dari Dewan
ini.Meskipun demikian, lembaga ini bukanlah legislatif.
4. Kekuasaan
Yudikatif : Kehakiman
Konsep Wilayah al-Faqih dalam Republik
Islam Iran telah memberikan sistem peradilan yang independen.Lembaga peradilan
dalam menjalankan tugasnya mengacu pada konstitusi yang bertugas mengusahakan
terciptanya keadilan untuk setiap orang. Bab III Pasal 34 Konstitusi Iran Menyebutkan:
“Mengusahakan
terlaksananya keadilan adalah hak setiap orang yang tidak dapat diperdebatkan
lagi, dan untuk tujuan ini, semua orang berhak untuk mengajukan perkaranya
kepada pengadilan yang berwenang. Pengadilan tersebut harus terbuka bagi semua
orang dan tak seorang pun akan dilarang untuk menempuh jalan lain untuk
mengambil tindakan yang sah sesuai dengan haknya menurut undang-undang. (UUD
RII Bab III Pasal 34)
Kemudian untuk pelaksanaan hukum tersebut,
dibentuklah sebuah dewan yang disebut Dewan Kehakiman Agung, yang terdiri dari
tiga unsur yaitu : Ketua Mahkamah Agung Kasasi, Penuntut Umum Negara, dan Tiga
Hakim adil yang berpengalaman dalam ilmu agama dan hukum agama yang diangkat
oleh pengadilan Negara. Anggota-anggota dewan dipilih untuk masa jabatan lima
tahun dan boleh dipilih kembali jika memenuhi syarat yang ditentukan
undang-undang.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
1.
Pengertian Wilayah Al-Faqih
wilayatul
faqih adalah kekuasaan yang dipinpin oleh seorang yang ahli dalam bidang ilmu
pengetahuan dan hukum islam Atau dengan redaksi lain bahwa wilayatul faqih
adalah sebagai sebuah otoritas yang diserahkan kepada para fuqaha (para faqih)
yang berilmu tinggi sehingga mereka dapat mengarahkan dan memberi nasihat pada
umat muslim selama tidak hadirnya imam maksum.
2.
Sejarah Wilayah Al-Faqih
Konsep Wilaya Al-Faqih berawal dari menghilangnya imam ke-12
yaitu Imam Mahdi yang keberadaannya belum diketahui sehingga muncullah konsep
Wilayah Al-Faqih ini yang dipelopori oleh Imam Khomaini yang menyerukan konsep
ini di Negara iran untuk pertama kalinya sampai sekarang.
3.
Fungsi, Tugas Dan Wewenang Wilayah Al-Faqih
a.
Fungsi Wilayah Al-Faqih
diantaranya: Fungsi legislatif ; Fungsi yudikatif ;
Fungsi
eksekutif ; Fungsi edukatif.
b.
Tugas
Faqih : Tugas intelektual ; Tugas bimbingan keagamaan; ; Tugas
komunikasi dengan umat (al-ittishal bi al-ummah);Tugas menegakkkan syi‘ar Islam;
Tugas mempertahankan hak-hak umat; ; Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam
dan kaum Muslim
c.
Wewenang
Wilayah Al-Faqih :Pertama, masyarakat seluruhnya, atas
siapa sang fakih menggenggam wilayah(mawla ‘alayhim); Kedua, masalah-masalah di
mana ia (fakih) menggenggam kekuasaan.
4.
Tujuan adanya Wilayah Al-Faqih
·
Untuk merealisasikan pelaksanaan
syari’ah dalam sebuah pemerintahan.
·
Untuk mencapai kemaslahatan umat islam
(sebagai tujuan umum dari teory politik islam)
·
Untuk mencapai sebuah Negara yang
menjamin keadilan sosial, dan demokrasi serta kemerdekaan yang murni. Karena
islam dan juga pemerintahan berlandaskan islam adalah penomena Ilahi, yang akan
menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.
·
Untuk memusnahkan pemikiran-pemikiran
barat yang tidak sesuai dengan ajaran islam, dan juga menormalisasikan kembali
pemikiran-pemikiran umat muslim yang telah terpengaruh oleh kemajuan politik
barat yang menyebabkan konsepsi islam jadi terpuruk dalam kebekuan.
5.
Klasifikasi Wilayah Al-Faqih
·
Faqahah;
yaitu mujtahid mutlak yang mampu menetapkan kesimpulan tentang hukum-hukum
syara` dari sumber-sumbernya. .
·
‘Adalah, yaitu
tetap teguh menjalankan syariat Islam dan memilki pribadi yang bersih, saleh
dan takwa sehingga menjadikan dirinya tidak mengikuti nafsu dan kecenderungan
duniawi.
·
Kafa’ah;
yaitu memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas sehingga terampil mengurus
kehidupan umat, memahami kebutuhan zaman, mengurusi permasalahan sosial,
politik, administratif, kemanan, ekonomi, dan sebagainya yang merupakan
unsur-unsur penting dalam sebuah Negara.
6.
Wilayah Al-Faqih dalam Konstitusi IRAN
Secara konstitusional Iran adalah
Negara yang berbentuk Republik Islam.Republik mengindikasikan sistem
pemerintahan, sedangkan Islam menjelaskan isi sistem tersebut.Hanya saja, yang
membuat unik dan khas bahkan asing, baik bagi sistem politik modern maupun
politik Islam, adalah konsep kepemimpinan ahli agama (ulama) dalam tata politik
Republik Islam Iran, yang disebut dengan konsep wilayah al-faqih.Konsep ini
dipelopori oleh Imam Khomaini yang sepeninggal beliau kedudukan wali faqih kini
dipegang oleh Ayyatullah Khomenei.
[1] http://znst.blogspot.com/Politik
Islam. Diunduh pada tanggal 1Desember 2013 pada pukul 13.25 wib.
[2]Loc.cit,
[3]Loc.cit,
[4]http://abuthalib.wordpress.com/Wilayah-AlFaqihDiunduh
pada tanggal 24 November 2013 pada pkl.17.26 wib
[5]Loc.cit,
[6]Loc.cit,
[7]Loc.cit,
[8]http://znst.blogspot.com/2013/03/politik-islam_12.html
diunduh pada tanggal 1 Desember 2013 pada pkl.10.18 wib.
[9]Murtadha
Muthahhari. Kepemimpinan
Islam. Banda Aceh: Gua Hira, 1991, hal.22.
[11]Murtadha
Muthahari. Kenabian Terakhir. Jakarta: Lentera, 2001, hal. 166.
[12]
http://abuthalib.wordpress.com/2009/08/16/wilayah-al-faqih-dalam-konstitusi-iran/
diunduh pada tanggal 21 November 2011 pada pkl.10.03 am.
[13]Loc.cit,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
untuk kritik dan saran saya ucapkan terimasih