BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dalam
perkara pidana sebenarnay terlibat beberapa pihak. Di antara pihak-pihak yang
yang saling berhadapan itu terdapat
hakim yang tidak memihak kedua belah pihak. Sistem saling berhadapan itu
disebut sistem pemeriksaan akusator (accusatoir).
Dahulu, dipakai sitem inkisator (inquisitoir) yanag mana terdakwa menjadi
objek pemeriksaan, sedangkan hakim dan penuntut umum beradapada pihak yang
sama.
Dalam sistem saling berhadapan (adversary system) ini, ada pihak
terdakwa yang dibelakangnya terdapat penasihat hukumnya, sedangkan di pihak
lain terdapat penuntut umum yang atas nama negara menuntut pidana. Di belakang
penuntut umum ini ada polisi yang memberi data tentang hasil penyidikan
(sebelum pemeriksaan hakim).
Saksi-saksi yang diajukan biasanya
terbagi tiga, yaitu yang memberatkan terdakwa
(a charge), biasanya diajukan
oleh penuntut umum, yang meringankan terdakwa
(a de charge), biasanya
diajukan terdakwa atau penasihat hukumnya; dan ada pula saksi yang tidak
memberatkan dan tidak meringankan terdakwa, mestinya saksi golongan ketiga ini
ialah saksi ahli.
Yang terpenting di antara pihak ini
tentulah terdakwa, karena ia yang akan menjadi fokus pemeriksaan di pengadilan.[1]
B. TINJAUAN
TEORITIS
1.
Apakah yang dimaksud
tersangka atau terdakwa?
2.
Apa kedudukan tersangka
dalam KUHAP?
3.
Apa perbedaan terdakwa
dan terpidana?
4.
Apa sajakah yang
menjadi hak-hak terdakwa dalam KUHAP?
5.
Bagaimana hubungan
tersangka atau terdakwa dengan penasehat hukumnya?
C. TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk memenuhi tugas Hukum
Acara Pidana yang dipercayakan Dosen pada kami.
2.
Agar dapat mengikuti
perkuliahan secara optimal dan lancar.
3.
Dapat megembangkan
wawasan penulis.
4.
Melatih diri agar cara
penulisan dalam makalah optimal.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Tersangka
menurut KUHP adalah seorang yang karena perbuatannya/ keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, maka ia diselidiki,
di sidik dan diperisa oleh penyidik. Apabila perlu maka ia dapat dikenakan
tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
dan penggeledahan sesuai dengan undang-undang.
Kedudukan
tersangka dalam KUHAP adalah sebagai subjek, dimana dalam setiap pemeriksaan
harus diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan
harag diri tersangka tidak terlihat sebagai obyek yang ditanggali hak asasi dan
harkat martabat kemanusiaannya dengan sewenang-wenang. Seorang tersangka tidak
dapat diperlakukan dengan sekehendak hati pemeriksa dengan alas an bahwa dia
telah bersalah melakukan suatu tindak pidana, Karena sebagaimana asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocence) yang dianut dalam di dalam proses
peradilan pidana di Indonesia yang tercantum dalam pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman yaitu “setiap orang yang diditahan, disangka,
ditangkap, dituntut, dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
TERSANGKA ATAU TERDAKWA
Ada
usaha dalam KUHAP memberikan definisi “tersangka” dan “terdakwa”. Tersangka diberi definisi sebagai berikut.
“Tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya , berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana” (butir 14).
“Terdakwa
adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di
sidang pengadilana’ (butir 15).
Wetboek
van strafvordering Belanda tidak membedakan istilah tersangka dan terdakwa
(tidak lagi memakai dua istilah beklaadge
dan verdachte), tetapi hanya
memakai satu istilah untuk kedua macam pengertian itu, yaitu istilah verdachte sesudah penuntutan pararel
dengan pengertian tersangka dalam KUHAP kita. Adapun pengertian Verdachte sesudah penentutan
pararel dengan pengertian terdakwa
seperti tersebut pada butir 15 di muka. Yang sama dengan istilah KUHAP Inggris
dibedakan pengertian the suspect (sebelum
penuntutan) dan the accused (sesudah
penuntutan).
Dalam definisi btersebut terdapat
kata-kata “...karena perbuatannya atau
keadaannya...”, itu kurang tepat karena , karena kalau demikian, penyidik
sudah sudah mengetahui perbuatan tersangka sebelumnya, padahal inilah yang akan
disidik. Dalam hal ini kata yang dipakai oleh Ned. Sv. Untuk itu, yang tersebut
pada 27 ayat (2) “ ...feiten of
omstandingheden” (fakta-fakta atau keadaan-keadaan) lebih tepat karena
lebih objektif.[2]
B. KEDUDUKAN
TERSANGKA DALAM KUHAP
Salah
satu yang menjadi tolak ukur kemajuan hukum acara pidana dengan lahirnya KUHAP
adalah, bahwa KUHAP telah mengangkat dan menempatkan seorang tersangka dalam
kedudukan yang bermartabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. KUHAP menempatkan
seorang tersangka dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai
dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human
being). Sekalipun penegakan hukum itu memang mutlak menjadi suatu keharusan
yang tidak bisa ditawar, tetapi hak-hak seorang tersangka atau terdakwa tidak
boleh diabaikan atau dilanggar.
Ketegasan
KUHAP dalam mengangkat harkat dan martabat manusia terlihat dari garis-garis
landasan, asas dan prinsip KUHAP sebagai berikut.
1. Landasan Filosofis
Landasan
Filosofis KUHAP adalah berdasarkan Pancasila terutama yang berhubungan erat
dengan Ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP
mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun tersangka adalah:
Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan, semua manusia tergantung kepada
kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan,
yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata adalah kehendak dan rahmat
Tuhan. Mengandung arti bahwa :
a. Tidak
ada perbedaan asasi di antara sesama manusia.
b.
Sama-sama mempunyai
tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan
martabat sebagai manusia ciptaan Tuhan.
c. Sebagai
manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali.
d. Fungsi
atau tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam
ruang lingkup menunaikan amanat Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan
jiwa yang terkandung dalam sila Ketuhanan, cita penegakan hukum tiada lain
daripada fungsi pengabdian melaksanakan amanat Tuhan, dengan cara menempatkan
setiap manusia tersangka/terdakwa sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak dan
martabat kemanusiaan yang harus dilindungi dan mempunyai hak dan kedudukan
untuk mempertahankan kehormatan dan martabatnya.
Fungsi
penegakan hukum yang dipercayakan aparat penegak hukum berada dalam ruang
lingkup amanat Tuhan, mereka harus memilliki keberanian dan kemampuan menyimak
isyarat nilai keadilan yang konsisten dalam setiap penegakan hukum. Keadilan
yang ditegakkan aparat penegak hukum bukanlah keadilan semaunya sendiri, tetapi
merupakan wujud keadilan yang selaras dengan keinginan dan keridhoan Tuhan Yang
Maha Esa, yang mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap hukum, terhadap
diri dan hati nurani dan terhadap masyarakat nusa dan bangsa berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, diharapkan setiap aparat penegak
hukum harus terpatri semangat kesucian moral dalam setiap tindakan penegakan
hukum, mereka harus dapat mewujudkan keadilan yang hakiki.
Meskipun
pada prinsipnya keadilan itu tidak dapat diwujudkan secara murni dan mutlak.
Manusia hanya mampu menemukan dan mewujudkan keadilan yang nisbi atau relatif.
Kita menyadari bahwa untuk menegakkan keadilan menurut hukum (legal justice)
adalah sangat sulit apalagi menegakkan keadilan moral (moral justice).
Namun, untuk mencapai keadilan itu diperlukan adanya tolok ukur keadilan yang
dicita-citakan oleh masyarakat bangsa sebagaimana halnya yang dicantumkan dalam
KUHAP yaitu Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Asas legalitas (legality)
KUHAP
sebagai Hukum Acara Pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan
asas legalitas. Pelaksanaan penerapannya harus bersumber pada titik tolak the
rule of law yang berarti semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan
ketentuan hukum dan undang-undang serta menempatkan kepentingan hukum dan
perundang-undangan diatas segala-galanya sehingga terwujud kehidupan masyarakat
di bawah supremasi hukum (supremacy of law) yang harus selaras dengan
ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Dengan
demikian, setiap tindakan penegakan hukum harus tunduk di bawah ketentuan
konstitusi undang-undang yang hidup di tengah kesadaran hukum masyarakat.
Sebagai
konsekuensi dari asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan
supremasi hukum (supremacy of law), maka aparat penegak hukum dilarang
atau tidak dibenarkan:
- Bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law) maupun undue process.
- Bertindak sewenang-wenang (abuse of law).
Setiap
orang tersangka mempunyai kedudukan:
- Sama sederajat di hadapan hukum atau equality before the law.
- Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum atau equal protection the law.
- Mendapat “perlakuan keadilan” yang sama dibawah hukum, equal justice under the law.
Sebagai
pengecualian dari asas legalitas adalah asas “opportunitas” yang berarti
meskipun seorang tersangka telah bersalah menurut pemeriksaan dan penyidikan
dan kemungkinan dapat dijatuhkan hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut
tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum atau dengan kata lain
bahwa jaksa penuntut umum dapat mendeponir suatu perkara atas dasar
pertimbangan demi kepentingan umum.
Jika
kita telusuri ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, ternyata asas
“opportunitas” tidak lagi berlaku efektif karena sebagaimana yang diatur dalam
pasal 140 ayat (2) huruf (a) dihubungkan dengan pasal 14 KUHAP, yang menentukan
semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut
umum harus menuntutnya di muka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa
peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum.
Sedangkan pasal 14 huruf (h) KUHAP hanya memberi wewenang kepada penuntut umum
untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Dengan demikian, jaksa penuntut
umum tidak mendeponir suatu perkara demi kepentingan umum.
Namun
demikian, pasal 32 huruf (c) Undang-Undang Kejaksaan RI Nomor 5 Tahun 1991
menentukan bahwa kejaksaan masih berwenang melakukan deponiring dan hal
sedemikian itu masih juga dipertegas oleh Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang
menentukan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas “opportunitas”.
3. Asas Keseimbangan (Balance)
Aparat
penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum tidak
boleh berorientasi pada kekuasaan semata-mata. Pelaksanaan KUHAP harus
berdasarkan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan
perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Hal ini berarti
bahwa aparat penegak hukum harus menempatkan diri pada keseimbangan yang serasi
antara orientasi penegakan hukum dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan
kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Aparat penegak hukum dalam
melakukan penegakan hukum harus menghindari perbuatan melawan hukum yang
melanggar hak-hak asasi manusia dan setiap saat harus sadar dan berkewajiban
untuk mempertahankan kepentingan masyarakat sejalan dengan tugas dan kewajiban
menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity) dan perlindungan individu
(individual protection).
5.
Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Dalam
penjelasan umum butir 3 huruf (c) KUHAP ditegaskan bahwa:
Setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Asas praduga
tak bersalah tersebut sebelumnya juga diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok
Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970.
Asas praduga tak
bersalah ini jika ditinjau dari segi teknis juridis ataupun dari segi teknis
penyidikan merupakan penerapan acquisitoir yaitu yang menempatkan
kedudukan tersangka/terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai
subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. tersangka/terdakwa harus didudukkan dan
diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga
diri. Sedangkan obyek pemeriksaan dalam asas acquisitoir adalah
kesalahan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka ke
arah itulah pemeriksaan harus ditujukan.
Sebagai lawan
atau pengecualian dari asas acquisitoir adalah asas inquisitoir
yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat
diperlakukan secara sewenang-wenang. Sistim pemeriksaan seperti ini tidak
dibenarkan dalam KUHAP karena tersangka/terdakwa tidak diberikan kesempatan
secara wajar untuk mempertahankan hak dan kebenarannya. Mereka diperlakukan
seolah-olah telah bersalah dan tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai obyek
tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela martabat
serta kebenaran yang dimilikinya.
Hak seseorang
tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang
menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang
bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini
tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak
untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan
UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ;
asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat
dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah:
”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan
di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Rumusan kalimat
tersebut di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas
praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone
charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent
until proved guilty according to law”.
Konvenan
tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai
dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah
putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi
seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian
kesalahan seseorang berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan
dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang
berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau
tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,”
(Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap”.
Untuk mencegah
tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah
diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas
tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8
(delapan) hak, yaitu:
- hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
- hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan;
- hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
- hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan;
- hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu;
- hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan;
- hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan;
- hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan
dengan Konvenan tersebut, asas praduga
tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa
diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan
tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah,
telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan
yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang
tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan
sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap
tidak bersalah.[3]
C. PERBEDAAN
TERDAKWA ATAU TERSANGKA DAN TERPIDANA
Sebelum kita berbicara tentang hak-hak dari Tersangka
/ Terdakwa dan Terpidana, kita harus tahu dulu perbedaan antara seorang
terdakwa dengan Terpidana.
Bahwa berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1, yang
dimaksud dengan:
� Tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
� Terdakwa
adalah seorang Tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di persidangan.
� Terpidana
adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Setelah kita
mengetahui difinisi dari masing-masing status seseorang barulah kita dapat
berbicara tentang hak-haknya didalam melakukan proses hukum yang berlaku.
D. HAK-HAK
TERDAKWA DALAM KUHAP
Bagaimanapun
baiknya suatu peraturan, ia masih akan diuji dalam praktik. Kebiasaan memaksa
bahkan menyiksa tersangka agar mengaku tentu ada dan sukar sekali dihilangkan.
Contoh lain yang diberikan beliau ialah cara pemeriksaan tersangka berjam-jam,
terus-menerus, sehingga tersangka sangat payah, akhirnya mengaku.[4]
Pemeriksaan dengan paksaan sebenarnya merupakan tindak pidana (Pasal 422 KUHP).
Kebebasan
tersangka atau terdakwa dalam hal
memberikan keterangan dalam KUHAP seperti tersebut dimuka, masih perlu dihayati
oleh para penegak hukum. Bukan saja pemeriksaan atau penyidik yang harus
menyadari tugas yang harus dipikulkan kepundaknya, yaitu mencari kebenaran
materil demi kepentingan umum yang selaras dengan kepentingan individu, tetapi
juga tersangka itu sendiri harus telah dapat mengetahui dan menyadari hak-hak
dan kewajibannya yang dijamin oleh undang-undang.
Kemiskinan
dan kebodohan merupakan hambatan utama dalam menerapkan hukum yang telah
tersusun rapi dan lengkap.
Misalnya
kebebasan tersangka atau terdakwa untuk menunjuk penasihat hukumnya, baru
dinikmati sepenuhnya oleh golongan kaya dan berada dalam masyarakat, sedangkan
bagi golongan miskin dan bodoh masih merupakan jaminan di atas ketas.
Tersangka
atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP mulai dari pasal 50
sampai dengan pasal 68. Hak-hak itu meliputi yang berikut ini.
1.
Hak untuk segara
diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50 ayat (1), (2) dan (3)).
2.
Hak untuk mengetahui dengan
jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa
yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan b).
3.
Hak untuk memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim seperti tersebut dimuka
(Pasal 52).
4.
Hak untuk mendapat juru
bahasa (Pasal 53 ayat (1)).
5.
Hak untuk mendapat
bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54).
6.
Hak untuk mendapat
nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan
pada setiap tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam
pidana mati dengan biaya cuma-cuma.
7.
Hak tersangka atau
terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan
perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2)).
8.
Hak untuk menghubungi
dokter bagi tersangka atu terdakwa yang ditahan (Pasal 58).
9.
Hak untuk diberitahu
kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa
yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan
hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksud yang sama di atas (Pasal 59
dan60).
10. Hak
untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan pekara tersangka
atau terdakwa, untuk kepentingan pekerjaan atau kepentingan keluarga (Pasal
61).
11. Hak
tersangka tau terdakwa untuk berhubungan surat menyurat dengan penasihat
hukumnya (Pasal 62).
12. Hak
tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan
(Pasal 63).
13. Hak
tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge (Pasal 65).
14. Hak
tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68).
15. Hak
terdakwa (pihak yang diadili) untuk menuntut terhadap hakim yang menjadi
perkaranya (Pasal 27 ayat (1), Undang-undang Pokok Kukuasaan Kehakiman).
Disamping
hal tersebut di atas, masih ada hak-hak tersangka atau terdakwa yang lain,
seperti di bidang penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan lain-lain.
1.
Dalam Proses Penangkapan
1).Bahwa
seseorang ditangkap harus ada bukti permulaan yang cukup alasan kenapa
seseorang tersebut ditangkap.
2). Pada
saat ditangkap, yang berhak melakukan penangkapan hanyalah :
a. penyidik
yaitu:
- Pejabat polisi
Negara RI yang minimal berpangkat inspektur Dua (Ipda).
- Pejabat
pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus UU, yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan
itu).
b. penyidik
pembantu, yaitu :
- Pejabat
kepolisian Negara RI dengan pangkat minimal brigadier dua (Bripda)
- Pejabat
pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian Negara RI yang minimal berpangkat
Pengatur Muda (Golongan II/a atau yang disamakan dengan itu).
3). Pada saat
seseorang ditangkap dia dapat melakukan
- Meminta surat
tugas dari petugas kepolisian yang akan menangkap anda.
- Meminta surat
perintah penangkapannya.
- Teliti surat
perintahnya, mengenai identitasnya, alasan pengkapan, dan tempat diperiksa.
- Setelah
sesorang ditangkap maka dia berhak untuk melakukan :
- Menghubungi
dan didampingi oleh seorang penasehat hukum/pengacara.
- Segera
diperiksa oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
- Minta untuk
dilepaskan setelah lewat dari 1 X 24 jam.
- Diperiksa
tanpa tekanan seperti ; intimidasi, ditaku-takuti dan disiksa secara fisik.
2.
Dalam Proses Penahanan
Hak-hak anda
jika ditahan, antara lain adalah :
1). Menghubungi
dan didampingi pengacara.
2). Segera
diperiksa oleh penyidik setelah 1 hari ditahan.
3). Menghubungi
dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan
penangguhan penahanan atau usaha mendapat bantuan hukum.
4). Meminta atau
mengajukan pengguhan penahanan.
5). Menghubungi
atau menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan.
6). Menghubungi
atau menerima kunjungan sanak keluarga.
7). Mengirim
surat atau menerima surat dari penasehat hukum dan sanak keluarga tanpa
diperiksa oleh penyidik/penuntut umum/hakim/pejabat rumah tahanan Negara.
8). Menghubungi
dan menerima kunjungan rohaniawan.
9). Bebas dari
tekanan seperti; diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik.
3.
Dalam Proses Penggeledahan.
Hak-hak anda
bila digeledah antara lain, adalah :
1). Sebelum
digeledah, anda dan keluarga berhak ditunjukkan tanda pengenak penyidik yang
akan melakukan penggeledahan.
2). Anda berhak
untuk tidak menandatangi berita acara penggeledahan, hal itu akan dicatat dalam
berita acara dengan menyebutkan alasannya.
3). Dua (2) hari
setelah rumah anda dimasuki atau digeledah, harus dicabut berita acara dan
turunannya diberikan kepada anda.
4). Bila anda
seorang tersangka dan ditangkap polisi yang bukan penyidik, maka anda hanya
boleh digeledah (pakaian dab benda yang dibawa) bila ada dugaan keras dengan
alasan yang cukup bila anda membawa benda yang dapat disita.
5). Bila anda
seorang tersangka yang ditangkap oleh penyidik atau dibawa kepada penyidik, maka
anda bisa digeledah baik pakaian maupun badan dan tanpa perlu ada dugaan dan
alasan yang cukup.
Dalam
pemeriksaan pendahuluan maupun dalam pemeriksaan sidang pengadilan, telah
berlaku asas akusator (accuastoir).
Ialah adanya jaminan yang luas yang luas terutama dalam hal bantuan hukum. Dari
sejak pemeriksaan dimulai, tersangka sudah dapat meminta bantuan hukum, atau
disaksikan oleh penyidik atau penuntut umum. Kekecualiannya ialah kalau
tersangka didakwa melakukan delik terhadap keamanan negara. Jadi, sama dengan
di negara Belanda. Oleh karena itu bahwa di Indonesia dianut asas
akusatorterbatas (gematigd accusatoir).[5]
E. HUBUNGAN
TERSANGKA ATAU TERDAKWA DENGAN PENASIHAT HUKUMNYA.
Mangenai
hubungannya antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya ini diatur
dalam pasal 69, pasal 70, pasal 71, pasal 73 dan pasal 74 KUHAP.
Dalam
semua tingkat pemeriksaan antara penasihat hukum dengan tersangka atau terdakwa
pada dasarnya dapat untuk mengadakan hubungan, namun demikian hubungan-hubungan
tersebut ada pembatasnya, yang harus diperhatikan oleh penasihat hukum dalam
mendampingi perkara tersangka atau terdakwa dalam peranannya sebagai penasihat
hukum untuk dapat mengurangi sifat-sifat yang penyalah gunaan dilakukan oleh
hakim, jaksa dan penyidik, yang menyebabkan harkat dan hak azasi tersangka atau
terdakwa menjadi hilang dan dirugikan.
penasihat
hukum bisa memberikan pembelaannya terhadap tersangka atau terdakwa, hal ini merupakan
suatu keharusan bagi seorang penasihat hukum untuk memberikan pembelaannya
kepada tersangka atau terdakwa dalam rangka mencari suatu kebenaran yang
materiil dan obyektif yang mengarah pada jaminan dan perlindungan hak – hak
azasi manusia terutama tersangka atau terdakwa.
Dalam
tingkat pemeriksaan pendahuluan, seorang penasihat hukum harus dengan cermat
dan teliti melihat apakah terhadap penangkapan dan penahanannya itu sah atau
tidak, apabila tidak sah maka penasihat hukum demi kepentingan dari tersangka
bisa mengajukan Pra Peradilan, disamping itu apakah dalam tingkat pemeriksaan
pendahuluan ini tersangka diperlakukan sebagaimana mestinya seperti yang diatur
dalam KUHAP.
Dalam
tingkat pemeriksaan pendahuluan ini demi pembelaannya kepada tersangka, maka penasihat
hukum bisa untuk mengajukan penangguhan penahanan, fungsinya adalah
apabila pemohonan penangguhan
penahanan itu
dikabulkan maka penasihat hukum bisa mengadakan hubungan
dengan bebas dengan tersangka apabila tersangka didalam penahanan. Penasihat
hukum terhadap tersangka dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan bagi penyidik
kehadiran seorang penasihat hukum tidak ada masalah karena dalam prakteknya dipandang
membantu penyidik dalam mengungkapkan suatu kebenaran yang hakiki dan obyektif.
Suatu
harapan dari penyidik agar penasihat hukum memberikan bantuan kesadaran hukum
kepada tersangka mengenai hak-hak kewajibannya sehingga diharapkan penasihat hukum
dapat membantu kelancaran jalannya penyidikan.
Dalam
tingkat pemeriksaan di Kejaksaan, pembelaan yang dapat dilakukan oleh penasihat
hukum adalah permohonan penangguhan penahanan dan ditingkat kejaksaan ini
penasihat hukum harus dengan cermat dan teliti melihat surat dakwaan dari jaksa
penuntut umum, setelah mengetahui surat dakwaan tersebut penasihat hukum
mempersiapkan teknis dan strategi pembelaan berdasarkan pada surat dakwaan
jaksa penuntut umum.
kehadiran dari
penasihat hukum tidak ada masalah, justru jaksa selaku penuntut umum akan lebih
senang apabila dalam menuntut suatu perkara ada penasihat hukumnya sebab dengan
hadirnya penasihat hukum, maka jaksa akan berhati-hati dalam usaha bersama untuk
mencari kebenaran materiil.
Kemudian
pembelaan penasihat hukum terhadap terdakwa dalam pemeriksaan dipersidangan
adalah sebagaiberikut :
1. Mengadakan
Eksepsi atau tangkisan.
2. Mengajukan
Pledoi atau pembelaan.
3. Mengajukan
Duplik atas Replik Jaksa.
4. Mengajukan
Banding dan Kasasi.
5. Mengajukan Grasi, Amnesti, Abolisi serta
mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (herzeining) dan Rehabilitasi.
Kehadiran
dari penasihat hukum dalam proses persidangan adalah untuk meluruskan
persoalan-persoalan hukum yang diarahkan untuk menemukan kebenaran materiil
dalam persidangan bersama-sama dengan aparat penegak hukum lainnya[6].
BAB IV
KESIMPULAN
“Tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di
sidang pengadilana.
Salah
satu yang menjadi tolak ukur kemajuan hukum acara pidana dengan lahirnya KUHAP
adalah, bahwa KUHAP telah mengangkat dan menempatkan seorang tersangka dalam
kedudukan yang bermartabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. KUHAP menempatkan
seorang tersangka dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai
dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human
being). Sekalipun penegakan hukum itu memang mutlak menjadi suatu keharusan
yang tidak bisa ditawar, tetapi hak-hak seorang tersangka atau terdakwa tidak
boleh diabaikan atau dilanggar.
Tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Terdakwa adalah seorang
Tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di persidangan. Terpidana adalah
seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Kebebasan
tersangka atau terdakwa dalam hal
memberikan keterangan dalam KUHAP seperti, masih perlu dihayati oleh para
penegak hukum. Bukan saja pemeriksaan atau penyidik yang harus menyadari tugas
yang harus dipikulkan kepundaknya, yaitu mencari kebenaran materil demi
kepentingan umum yang selaras dengan kepentingan individu, tetapi juga
tersangka itu sendiri harus telah dapat mengetahui dan menyadari hak-hak dan
kewajibannya yang dijamin oleh undang-undang.
Dalam
semua tingkat pemeriksaan antara penasihat hukum dengan tersangka atau terdakwa
pada dasarnya dapat untuk mengadakan hubungan, namun demikian hubungan-hubungan
tersebut ada pembatasnya, yang harus diperhatikan oleh penasihat hukum dalam
mendampingi perkara tersangka atau terdakwa dalam peranannya sebagai penasihat
hukum untuk dapat mengurangi sifat-sifat yang penyalah gunaan dilakukan oleh
hakim, jaksa dan penyidik, yang menyebabkan harkat dan hak azasi tersangka atau
terdakwa menjadi hilang dan dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Jur
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2008.
Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta 1967.
Erni Widhayanti,
SH, Hak Hak Tersangka/ Terdakwa Di Dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1988.
http://www.duniakontraktor.com/landasan-dan-asas-perlindungan-ham-dalam-kuhap/.html.
[1] Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika
hal: 64
[2] Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika
hal: 65
[3]http://www.duniakontraktor.com/landasan-dan-asas-perlindungan-ham-dalam-kuhap/.html
[4] Wirjono prodjodikoro. Op. Cit. Hal:27
[5] Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika
hal: 71
[6] Erni Widhayanti, SH, Hak – Hak Tersangka/ Terdakwa Di Dalam KUHAP,
Liberty, Yogyakarta,
1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
untuk kritik dan saran saya ucapkan terimasih