BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakng Masalah
Anak-anak
yang telah terlibat secara aktif dalam kegiatan ekonomi untuk menjalankan
peranannya sebagai pekerja, bukanlah suat fenomena baru di indonesia. Meskipun
di satu sisi di akui adanya upaya-upaya dari berbagai pihak yang bermaksud
untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang terpaksa bekerja, akan
tetapi tidaklah dapat dipungkiri bahwa usaha itu beumlah mencapai hasil yang
maksimal. Pada kenyataannya masih saja banyak anak-anak yang bekerja, mengarah
pada bentuk pengeksploitasian anak dan berbagai insiden perlakuan salah pada
anak. Salah satu hal yang seringkali dianggap sebagai kurang berhasilnya uay
tersebut adalah kurang tepatnya titik pandang yang dipergunakan oleh
masing-masing pihak di dalam menangani persoalan pekerja anak.
Sebagaimana
secara tegas dicantumkan di dalam Psal 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 1948 yang
membahas mengenai adanya larangan bagi anak-anak untuk bekerja. Akan tetapi
berdasarkan Peraturan Mentri Tenga Kerja Nomor Per-01/MEN/1987 tentang
perlindungan bagi anak yang terpka bekerja, larangan tersebut tidak lagi
bersifat absolut tetapi ada pengecualian-pengecualian tertentu yang membuka
kesempatan dipekerjakannya seorang anak.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
hak pekerja anak sebagai anak di atur dalam Undang-Undang?
2. Bagaimana
hak anak untuk bekerja menurut pandangan Hak Asasi Manusia?
BAB II
TNJAUAN TEORITIS
A.
Hak Anak
Anak
adalah amanah dan karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada seorang pria dan
seorang wanita yang telah melakukan perkawinan yang sah, sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena
setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPE/1998 Tentang Hak Asasi
Manusia. Menurut Konvensi Hak Anak bahwa anak adalah setiap
manusia yang berusia dibawah 18 tahun bahkan UUPA No. 23 Tahun 2002
mendefinisikan anak sejak di dalam kandungan untuk lebih memberikan
perlindungan yang menyeluruh terhadap anak.
Hak
setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan dalam suatu
perkawinan yang sah, merupakan hak asasi manusia. Pasal 1 Angka (1)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia memberikan defenisi
tentang hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara
hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Lembaga
keluarga yang dibentuk melalui perkawinan yang sah menciptakan subjek hukum
baru yang disebut “orangtua”, yaitu individu yang mendapatkan tanggungjawab
sebagai seorang Ayah dan seorang Ibu. Tujuan mulia dibentuknya sebuah keluarga
dari hasil perkawinan yang sah yaitu untuk melanjutkan keturunan, yang disebut
dengan “anak”. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak juga mengatur kewajiban orangtua terhadap anak, yaitu
dinyatakan dalam pasal 26 bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab
untuk:
a.
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;
b.
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c.
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.”
Pasal
13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak menegaskan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali, atau
pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan;
dan perlakuan salah lainnya. Dalam hal orangtua, wali atau pengasuh anak
melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Ketentuan
pasal 26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak sesuai dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap anak
berhak untuk mengetahui siapa orangtuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orangtuanya sendiri. Ketentuan pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sesuai dengan ketentuan Pasal 58 Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental,
penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan
orangtua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggungjawab atas
pengasuh anak tersebut (ayat 1). Dalam hal orangtua, wali atau pengasuh anak
melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan
buruk dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap
anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman ayat (2).
Akan
tetapi apabila orangtua menyalahgunakan kewenangannya terhadap anaknya sehingga
melakukan kezaliman terhadap anaknya yaitu melakukan segala bentuk kekerasan
fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual; maka
terhadap orangtua tersebut dikenakan pemberatan hukuman sesuai dengan Pasal 26
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia[1].
Adapun
beberapa hak-hak anak diantaranya :
1. Hak & kebebasan sipil.
2. Hak atas lingkungan keluarga.
3. Hak atas kesehatan &
kesejahteraan dasar.
4. Hak atas
pendidikan, waktu luang & kegiatan budaya.
5. Hak atas perlindungan khusus.
Orangtua/wali bertanggungjawab untuk memenuhi hak
anak. Negara (Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, DPR termasuk DPRD, dan
Mahkamah Agung/pengadilan) berkewajiban memenuhi, melindungi dan menghormati
hak anak).
B. Prinsip Perlindungan Hak Anak Dalam CRC
Pada tanggal
28 November 1989 Majelis Umum PBB telah mensahkan Konvensi Hak Anak (KHA) atau
CRC (Convention on the Right of the Child). Setahun setelah itu Konvensi Hak
Anak disahkan maka pada tanggal 25 Agustus 1990 dan pemerintah Indonesia meratifiikasi
Konvensi tersebut melalui keputusan presiden No. 36 tahun 1990 dan mulai
berlaku sejak 5 Okober 1990. Dengan ikutnya Indonesia dalam mensahkan konvensi
tersebut maka Indonesia terikat dengan Konvensi Hak Anak dengan segala
konsukuensinya. Artinya setiap yang menyangkut tentang kehidupan anak harus
mengacu kepada Konvensi Hak Anak dan tak ada pilihan lain kecuali melaksanakan
dan menghormati Konvensi Hak Anak. Dan apabila Indonesia tidak melaksanakan dan
menghormatinya maka akan memiliki pengaruh negatif dalam hubungan
internasional.
Dalam
mewujudkan pelaksanaan dari Konvensi Hak Anak tersebut maka pemerintah
Indonesia telah juga membuat aturan dalam upaya melindungi anak. Aturan hukum
tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002.
Ada 3
prinsip dasar dalam CRC yaitu:
1.
Non Discrimination.
Prinsip
dasar yang pertama ini dimaksudkan bahwa penyelenggaraan dan kesejahteraan
serta perlindungan terhadap anak adalah tidak adanya diskriminasi dalam bentuk
apapun, tanpa memandang suku, ras, adat budaya, status, jenis kelamin, agama
dan golongan. Dalam UU KPA No. 23 Tahun 2002 pasal 13 dan 17, bahwa
perlindungan anak dari diskriminasi adalah hak yang dilindungi hukum dan bagi
yang melanggar hak tersebut akan dipidana, khususnya dalam bidang pengasuhan
anak.
2.
The Best of Interest of Child
Prinsip
dasar yang kedua dimaksudkan bahwa asas kepentingan terbaik bagi anak adalah
harus dijadikan pertimbangan utama. Hal ini termaktub dalam pasal 3 ayat 1 KHA.
Konsekwensinya adalah apapun bentuk tindakan, perbuatan yang menyangkut anak
harus dilakukan oleh kita sebagai warga Negara Indonesia termasuk badan
eksekutif, yudikatif maupun legislative.
3.
Survival and Development of Child
Prinsip
dasar ketiga adalah hak asasi untuk hidup, kelangsungan hidup dan hak untuk
berkembang bagi anak. Dalam CRC atau dalam KHA ditegaskan adanya jaminan bagi
kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Setiap anak memiliki hak kehidupan
yang melekat (inherent right of life) yang secara maksimal akan dijamin. Hak
asasi mendasar inilah hak untuk hidup dan kelangsungan hidup; yaitu hak akan
identitas dan kewarganegaraan (KHA pasal 7). Pemberian hak identitas di negeri
kita dikenal dengan akte kelahiran. Akte kelahiran menjadi bukti otentik yang
memiliki kekuatan hukum atas jati diri seseorang.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Hak
Pekerja Anak Sebagai Anak
Dalam
hubungannya dengan pihak lain (orang tua maupun pemerintah) anak-anak
seringkali ditempatkan didalam posisi yang subordinat, sebagai suatu makhluk
yang di pandang belum mempunyai kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Oleh karena itu, anak-anak harus selalu dilindungi dan diarahkan serta
dibimbing sehingga mereka dapat tumbuh secara wajar. Kondisi seperti ini
meskipun tidak dapat diabaikan seringkali mendatangkan kebaikan-kebaikan
tertentu di dalam perkembangan anak. Namun dapat juga memposisikan anak rentan
tehadap pelanggaran haknya. Hal ini di dukung dengan adanya patrenalistik yang
seolah-olah anak hanya mempunyai kewajiban saja tanpa mempunyai hak. Apabila
sedang berhadapan dengan orang tua atau pemerintah, maka hanya memandang
merekalah yang tahu apa yang terbaik bagi anak-anaknya.
Masa
anak-anak merupakan hadiah terbaik bagi anak-anak. Masa dimana mereka dapat
bermain dan bercanda secara bebas dan berkesempatan untuk belajar semaksimal
mungkin. Dalam konteks perkembangan anak, terlibat dalam suatu permainan
bukanlah sekedar bermain, justru dengan bermain itulah sebenarnya anak belajar
untuk menjadi pintar dalam berbagai macam hal. Selama ini seringkali diyakini
bahwa masa anak-anak adalah masa untuk pematangan fisik, kecerdasan, emosional,
sosial dan pematangan susila. Waktu mereka seharusya dilewatkan dengan
kegembiraan dan permainan, belajar dan tumbuh sehat. Hidup mereka harus
memperluas wawasan dan menerima pengalaman baru. Oleh karena itu, setiap anak
perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan
wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Menurut
para psikolog, sekitar 20% dari perkembangan kognitif anak diukur dengan
tingkat kecerdasan mereka berkembang pada usia 1 tahun, 50% pada usia 4 tahun,
80% pada usi 8 tahun, 92%pada usia 13 tahun. Dengan demikian, lingkungan awal
termasuk sekolah, mempunyai peran yang lebih penting bagi perkembangan mental
anak daripada lingkungan akhir dlam proses perkembangan. Hal iniah yang
sepertinya dicoba untuk direalisir melalui UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak. Undang-undang tersebut berusaha memberikan jaminan atau hak
terhadap anak, yang meliputi:
1. Anak
berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih
sayang baik dalam kelarganya maupun didalam asuhan, khususnya untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar.
2. Anak
berhak atas pelayanan untuk mengebangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya,
sesuai dengan kebudayaan dn kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang
baik dan berguna.
3. Anak
berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun
sesudah dilahirkan.
4. Anak
berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Pemberian
jaminan dan hak-hak diatas adalah dalam rangka perwujudan kesejahteraan anak.
Pihak yang pertama kali mempunyai tanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan
anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial adalah orang tua (Pasal 9 UU
Kesejahteraan Anak).
Pengakuan
dan perlindungn hak-hak anak bertujuan agar mereka daat tumbuh dan berkembang
secara wajar sebagai anak, serta menghindari sejauh mungkin anak-anak dari
berbagai ancaman dan gangguan. Meskipun undang-undang tersebut bermaksud untuk
menjamin, memelihara dan mengamankan kepentingan anak secara wajar, namun
sepertinya belumlah mengakui eksistensi pekerja anak, sebagai suatu kelompok
anak-anak yang sebenarnya mengalami hambatan.
B.
Hak
Anak Untuk Bekerja Menurut Pandangan Hak Asasi Manusia
Di
indonesia, perhatian dari berbagai pihak terhadap pekerja anak, memperlihatkan
tendensi yang semakin meningkat. Hal ini antara lain nampak dengan
diratifikasinya konvensi hak-hak anak pada tahun 1990 melalui Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990, ikut sertanya indonesia dalam konferensi ILO
tentang pekerja anak yang menghsilkan konvensi No. 138 Tahun 1973, dan dengan
diundangkannya bebagai macam peraturan perundang-undangan yang bermaksud
memberikan perlindungn terhadap anak-anak yang terpaksa bekerja.
Hanya
saja hal tersebut seringkali mengabaikan satu pertanyaan awal yang sehausnya
terlontar, yaitu apakah anak memang mempunyai hak untuk bekerja? Menurut UU No.
12 Tahun 1948 disebutkan, bahwa pemerintah melarang secara mutlak tanpa
pengecualian apapun bagi anak-anak untuk bekerja. Akan tetapi, meskipun telah
diperkuat dengan sanksi-sanksi pidana, adanya larangan tersebut tidaklah dapat
berlaku secara efektif. Pada tataran normatif, ketidakefektifan tersebut ialah
disebabkan sikap ambivalen atau tidak serius dari pemerintah sendiri. Sikap ini
tercermin dalam aspek penegakan hukumnya. Ketentuan diatas dimaksudkan akan
diberlakukan secara bertahap dengan peraturan pemerintah. Peraturan tersebut
adalah Ordonansi tahun 1925 tentang Maatregelen
ter Beperking van de Kinderbeid en de Nachtarbeid van de Vrowen (Peraturan
Tentang Pembatasan Pekerjaan Anak dan Pekerja Wanita pada Malam Hari),
sebagaimana tercantum didalam staatblaad Tahun
1925 Nomor 647 dan Ordonansi Tahun 1926 tentang peraturan pekerjaan anak dan
orang muda di kapal (tercantum dalam Staatblaad
Tahun 1926 Nomor 87).
Pada
tataran sosiologis empiris, di sebagian masyarakat sendiri, munculnya pekerja
anak seringkali tidak menimbulkan reaksi sosial yang negatif. Hal ini
disebabkan karena adanya suatu aksiom kutural yang memandang bahwa
memperkerjakan anak pada usia dini bukanlah ssemata-mata bentuk eksploitasi
terhadap anak, akan tetapi justru merupakan suatu rangkaian proses yang memang
harus dilalui oleh seorang anak untuk belajar bertanggung jawab, menimba
pengalaman sebagai persiapan mereka, agar mempunyai bekal untuk kehiduannya
kelak.
Munculnya
pekerja anak disebabkan karena adaya tekaan ekonomi yang memeksa mereka untuk
terlibat secara aktif dalam kegiatan ekonomi. Sebagian orang tua mengirimkan
anaknya untuk bekerja, dalam kenyataannya mereka tidak menghendaki anak mereka
untuk bekerja dalam usia dini. Keikutsertaan anak dalam pendidikan merupakan
hal yang relatif lebih penting dan sebagai hal yang penting untuk hidup yang
lebih baik bagi anak-anak mereka daripada bekerja.
Dapat
diketahui bahwa yang menyebabkan munculnya pekerja anak adalah kebutuhan akan
pekerja anak yang bagi para pengusaha dipandang mempunyai produktifitas tinggi
dan upah rendah serta mudah diatur pekerjaan-pekerjaan yang didominasi oleh
pekerja dewasa, merupakan daya tarik yang luar biasa bagi anak untuk terjun
kedalam pasaran tenaga kerja.
Kondisi
empiris tersebut mendorong pemerintah untuk lebih bersikap tidak konsisten
dalam melarang anak unuk bekerja. Sikap ini terlefleksi di Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor PER-C1/MEN/1987 tentang Perlindungan bagi Anak yang Terpaksa
Bekerja, yang tidak lagi melarang secara absolut bagi anak-anak untuk bekerja,
akan tetapi hanya melakukan pembatasan-pembatasan dalam keadaan apa dan untuk
pekerjaan apa saja anak-anak itu dilarang bekerja. Pemikiran yang demikian
pulalah yang kemudian tercermin di dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan.
Dengan
adanya prinsip survival, anak-anak yang dalam keadaan sulit harus memperoleh
bantuan terbaik untuk dapat melangsungkan hidup mereka. Meskipun demikian, hak
anak dalam mencari nafkah untuk hidupnya sendiri maupun untuk keluarganya dapat
dijadikan alasan yang kuat untuk mempertanyakan berbagai kebijakan penghapusan
pekerja anak, karena tidak semua pemerintah mampu memberikan bantuan kepada
semua keluarga yang mengalami kesulitan.
C.
Contoh
Kasus
PRT
ABG Disiksa Majikan Sabtu, 25 Februari 2006
Bogor,
Warta Kota
Seorang
pembantu rumah tangga (PRT), Ratna Maryati (13), melarikan diri dari rumah majikannya
di Kampung Ciheuleut RT 06/08, Baranangsiang, Bogor Timur, setelah disiksa di
kamar mandi. Anak baru gede (ABG) itu kemudian diselamatkan para tetangga,
sedangkan majikannya, Rosyati alias Iyet ditangkap polisi, Jumat (24/2). Penyiksaan
yang dilakukan Iyet terhadap Ratna, kemarin, adalah untuk kesekian kalinya.
Selama 7 bulan bekerja, sudah tak terhitung lagi siksaan yang diterima Ratna.
Perempuan bertubuh mungil itu pernah dipukuli dengan wajan, dihajar dengan gayung,
hingga disundut rokok.
Penyiksaan
terakhir terjadi kemarin. Ketika itu, ada seseorang yang ingin membeli es batu,
lalu dia mengambilkannya di lemari es. Karena kesulitan mengambil, Ratna
berupaya dengan mencongkelnya menggunakan obeng. Ternyata upaya itu mengakibatkan
goresan di bagian pendingin lemari es. Mengetahui hal itu, Iyet murka. Saat itu
juga sang majikan menyeret Ratna ke kamar mandi. Di sana ia menghantam kepala
Ratna dengan gayung berkali-kali. Belum puas melampiaskan emosinya, Iyet lalu
menyiram tubuh gadis ABG tersebut dengan air bak mandi. Tak hanya itu. Ratna
juga didorong hingga jatuh terlungkup di kloset duduk. Tanpa ampun, kepala
Ratna dibenamkan ke lubang kloset sambil dipukuli tubuhnya.
Setelah
puas, Iyet meninggalkan Ratna di kamar mandi. Ia membiarkan pembantunya
menangis meraung-meraung sambil menahan sakit. Saat sang majikan naik ke lantai
dua rumahnya, Ratna pun kabur dan melaporkannya ke warga Kampung Ciheuleut.
Warga yang mendengar cerita Ratna menjadi gusar dan berencana untuk mengepung serta merusak rumah Iyet yang juga membuka usaha fotokopi. Tetapi niat itu dibatalkan. Warga lalu menyembunyikan Ratna di sebuah warung sambil membuat strategi untuk menangkap Iyet.
Warga yang mendengar cerita Ratna menjadi gusar dan berencana untuk mengepung serta merusak rumah Iyet yang juga membuka usaha fotokopi. Tetapi niat itu dibatalkan. Warga lalu menyembunyikan Ratna di sebuah warung sambil membuat strategi untuk menangkap Iyet.
Seorang
tetangga Iyet yaitu Suciwati melaporkan peristiwa tragis itu ke Mapolsekta
Bogor Timur, Jalan Pajajaran. Tidak lama kemudian polisi datang ke lokasi dan
menangkap Iyet. Bersama Ratna, ia dibawa ke Mapolresta Bogor, Jalan
Kedunghalang, Bogor Utara[2].
Dari
contoh kasus di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa hak pekerja ank dala hal
ini telah dilanggar. Meskipun Undang-undang telah mengatur mengenai hak pekerja
anak serta hak-hak anak, namun masih saja ada pelanggaran hak asasi manusia di
dalamnya.
BAB
IV
PENUTUP
Simpulan
Dalam
hubungannya dengan pihak lain (orang tua maupun pemerintah) anak-anak
seringkali ditempatkan didalam posisi yang subordinat, sebagai suatu makhluk
yang di pandang belum mempunyai kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Oleh karena itu, anak-anak harus selalu dilindungi dan diarahkan serta
dibimbing sehingga mereka dapat tumbuh secara wajar. Kondisi seperti ini
meskipun tidak dapat diabaikan seringkali mendatangkan kebaikan-kebaikan
tertentu di dalam perkembangan anak. Namun dapat juga memposisikan anak rentan
tehadap pelanggaran haknya. Hal ini di dukung dengan adanya patrenalistik yang
seolah-olah anak hanya mempunyai kewajiban saja tanpa mempunyai hak. Apabila
sedang berhadapan dengan orang tua atau pemerintah, maka hanya memandang
merekalah yang tahu apa yang terbaik bagi anak-anaknya.
Di
indonesia, perhatian dari berbagai pihak terhadap pekerja anak, memperlihatkan
tendensi yang semakin meningkat. Hal ini antara lain nampak dengan
diratifikasinya konvensi hak-hak anak pada tahun 1990 melalui Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990, ikut sertanya indonesia dalam konferensi ILO
tentang pekerja anak yang menghsilkan konvensi No. 138 Tahun 1973, dan dengan
diundangkannya bebagai macam peraturan perundang-undangan yang bermaksud
memberikan perlindungn terhadap anak-anak yang terpaksa bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Muladi, Hak Asasi Manusia-Hkikat, Konsep, dan
Implikasinya dalam Persfektif Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009.
Perlindungan-hak-asasi-anak-dalam-perundang-undangan-indonesia-bagian-2-489319.html.
[1]
Perlindungan-hak-asasi-anak-dalam-perundang-undangan-indonesia-bagian-2-489319.html,
di unduh pada 13 Mei 2012, pukul 16.30.
[2]http://marselagiovani89.blogspot.com/2010/03/pekerja-rumah-tangga-anak-di-indonesia.html.
di unduh pada 14 November 2012. Pukul. 15.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
untuk kritik dan saran saya ucapkan terimasih